Januari
2012
Entah apakah ini merupakan sebuah
hukuman Tuhan, atau merupakan kesempatan bagi orang-orang yang membenci
keluargaku untuk mengekspresikan kebencian mereka. Sebulan setelah ku kirim
surat terakhir padamu, warga berbondong-bondong mendatangi rumahku. Mengusirku
dari tanah kelahiranku sendiri, mereka menganggapku sebagai manusia penyebab
sial. Mereka menganggapku sebagai wabah pembawa musibah. Jiwaku runtuh, tanpa
tahu apa yang harus dilakukan. Ayahku
mendadak serangan jantung, dan meninggal seketika. Ibuku syok berat
hingga beliau tak lagi mengenal orang lain termasuk aku putrinya. Hidupku
benar-benar berantakan. Aku kehilangan semuanya. Kini aku berada di sebuah
tempat, yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Aku hadir benar-benar sebagai
orang asing. Namun, Allah maha tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya kan? Di
tengah kegelisahanku meratapi kehidupan, Allah mengirimkan seseorang sebagai
malaikat penolongku, menhilang dahagaku di tengah kehausan yang melanda.
Seorang lelaki baik hati, yang bersedia menikahiku tanpa memperdulikan masa
laluku. Tidakkah kau ingin mengucapkan selamat atas pernikahanku sebagai
sahabatku? Aku menantikannya.
Lama sudah tak ku jumpai surat
misterius ini, dapat ku tebak pengirimnya masih sama. Seorang wanita yang
mengaku bernama Ananda. Ada apa lagi gerangan mengirimiku surat setelah sekian
lama tak ada kabar. Apa mungkin dia tengah menghadapi kegelisaha hati? Ah,
segera ku tepis pikiran yang tak mengenakkan hati. Ku baca ulang surat itu,
mencoba memahaminya bahwa dia telah menikah dengan seorang pria baik. Dan
sepertinya dia bahagia. Kalimat hamdalah terlontar dari bibirku sebagai tanda
turut bahagia atas pernikahannya. Namun, setelah ku telaah ulang, dia
menawariku untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya. Entah mengapa naluri
wanitaku berkata, bahwa dia membutuhkan pertolonganku.
###
Fiana sudah mulai belajar berjalan.
Sedikitpun tak ingin kulewati masa pertumbuhan putriku. Sempurna sudah ku
menjadi seorang wanita. Memiliki seorang imam yang tak pernah lelah
membimbingku, serta memiliki buah hati yang tak pernah ingin ku lepas dari
dekapanku. Aku sangat mencintai mereka, hingga terkadang kecintaanku kepada
mereka melebihi kecintaanku kepada sang khaliq. Tak jarang rasa takut yang
berlebihan menyergapku, membayangkan
sewaktu-waktu akan dipisahkan dari mereka.
“
Assalamu’alaikum “
Terdengar
salam dilantunkan mengiringi pintu rumah yang diketuk. Segera ku gendong Fiana,
mencari tahu siapa gerangan yang bertamu.
“
wa’alaikum salam. “ jawabku setelah sampai diambang pintu. Ternyata pak Jono,
tetangga rumahku. Setelah basa-basi sebentar, diberikannya sepucuk surat
beramplop putih.
“
dari siapa pak?” tanyaku setelah memeriksa amplop itu tak ada nama.
“
orangnya perempua bu, rambutnya sebahu, tapi nggak ngasih tahu namanya, katanya
ibu sudah biasa nerima surat dari dia.”
Deg! Seketika nama Ananda yang
terlintas di otakku. Siapa lagi orang yang ngirim surat ke aku selain dia?
Tapi, jika memang benar-benar membutuhkanku, mengapa tak menemuiku secara
langsung? Cepat-cepat kubuka amplop itu setelah pak Jono pamit pulang.
kalau kamu mau bales surat aku,
kamu bisa nitipin ke tetanggamu yang mengantarkan surat ini. Karena yang aku
tahu, pak Jono jarang keluar rumah, pekerjaannya setiap hari hanya menunggui
toko klontong yang berada di depan rumahnya. Mugkin kamu jenuh dengan sikapku
yang seperti ini, namun percayalah tak ada maksud dalam hatiku untuk mengganggu
kehidupanmu. Sejujurnya, aku membutuhkan pertolonganmu. Sumpah, aku benar-benar
membutuhkan pertolonganmu. Jika suratku yang terdahulu datang untuk meminta
bantuanmu menyebarkan kisah hidupku agar menjadi renungan untuk orang lain,
tapi, kali ini suratku datang membutuhkan pertolonganmu untuk menyelamatkan
kisah hidupku yang kian kelam.
Aku tak bahagia, suamiku memang
orang baik, bahkan sangat baik. Walau aku hidup bersamanya, namun jiwaku tak
bersamanya. Hatiku memberontak atas apa yang telah aku pilih. Aku sadar bahkan
teramat sadar, bahwa pilihanku salah. Aku bisa tersenyum, bahkan tertawa lepas,
tak ada yang tak kumiliki di dunia ini. Semua sudah lengkap, keluarga baru yang
sangat menyayangiku,kebutuhan finansial yang tak pernah cukup untuk dihabiskan
dalam waktu sejenak. Suamiku tergolong konglomerat di tempat aku tinggal
sekarang. Tapi, selalu terasa ada yang kurang. Hatiku terasa hambar, jiwaku
gersang. Aku tak bahagia. Tolong aku, aku mengandalkanmu.
Ananda
Sukses sudah dia membuatku bingung. Setelah
dulu dia mengirimkan surat berkala dan kemudian menghilang tanpa jejak, kini
dia datang kembali dan dengan jelas meminta bantuanku. Jujur, hatiku tergugah
untuk membantunya, meskipun aku tak mengenalnya secara langsung. Ya, aku hanya
mengenalnya melalui surat berkala yang tak pernah mendapat balasanku.
“
Surat dari siapa? “
Pertanyaan
itu hanya ku jawab dengan tatapan kosong, mengiringi langkah kertas yang kini
beralih ke tangan suamiku.
“
Ananda lagi? “
pertanyaan susulan terlontar dari bibirnya, sedangkan
matanya tampak terus menyusuri barisan huruf yang terukir rapi di atas kertas.
Dan aku hanya mampu menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan kedua.
“
Tak perlu dihiraukan, toh kita punya kehidupan sendiri. Tak usahlah ikut campur
urusan orang lain, lagi pula kalian tidak saling mengenal satu sama lain. “
“
aku mengenalnya, mas “
“
kapan? Dimana kalian pernah bertemu? Hanya melalui surat? “ kini pertanyaan
beruntun diajukan suamiku, mengakibatkan dia berhenti menemani Fiana bermain.
“
entah mengapa aku yakin mas, pasti dia ada masalah. “
“
Bukankah hal wajar, bagi pasangan suami istri menghadapi problem rumah tangga.
Kita juga tak luput dari masalahkan? “
“
Sepertinya masalah ini tak sekedar masalah biasa mas. “
“
Darimana kamu tahu? “
“
Naluri wanitaku yang berkata, dan hanya wanita yang bisa mengerti wanita. “
“
Sudahlah, kau terlalu mendramatisir.” Sanggah suamiku yang kutahu dia menahan
tawa.
“
Aku benar-benar ingin membantunya, mas. “ rengekku
“
terserahlah. “ di gendongnya Fiana menuju pekarangan rumah menjauhiku
Aku
sangat memahami suamiku, jika terlontar ungkapan “ terserah “ dari bibirnya
menandakan bahwa dia tak setuju dengan keputusan yang ku ambil.
###
Akhir
Februari, 2012
Semenjak terakhir kali suratnya
terkirim, tak pernah lagi ku jumpai surat susulan darinya. Sepintas akalku
mencoba untuk sepaham dengan suamiku, namun hati kecilku berkata sebaliknya.
Aku benar-benar ingin membantunya. Ku ambil selembar kertas dan menorehkan
sedikit coretan diatasnya.
“
Jika kau benar ingin mendapat bantuanku, maka temuilah aku besok di tengah
kerumunan orang berpakaian serba putih menghadiri sebuah majelis dzikir. “
Ku lipat kertas itu, namun berujung
tak jelas di antara para jemariku. Ah, sungguh bodohnya diriku, bagaimana caranya
surat ini sampai padanya? Sedangkan setiap kali dia mengirimkan surat tak
pernah tertera alamat pengirim. Surat ini harus sampai, begitu kuat tekad dalam
hatiku. Aku berfikir keras, dan hasilnya nihil.
Kucoba membaca ulang surat yang
terakhir, tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyuman. Lekas ku kenakan jilbab
dan meraih secarik kertas yang ku sebut itu sebagai balasan. Ku tinggalkan Fiana
di tempat tidurnya, segera menuju toko klontong pak Jono yang tek jauh dari
rumah. Dengan sedikit penjelasan ku titipkan surat itu pada lelaki tua yang
hidup sebatang kara ini. Aku senang karena telah menemukan jalan untuk
komunikasi lagi dengan Ananda, tapi disisi lain aku sedih karena harus
menyembunyikannya dari suamiku. Maafkan aku suamiku. L
“
kok cepat pak?” tanyaku heran
“
iya buk, kebetulan tadi dia kesini. “
“
makasih pak. “ ujarku seraya pamit pulang
Baru
sekitar dua jam yang lalu kukirimkan surat, herannya kini surat balasannya
sudah ada dalam genggamanku. Kakiku dengan cepat menuju dapur, setelah sejenak
menyapa suamiku yang baru saja memandikan Fiana.
“
Darimana? “ tanyanya melihatku tergesa.
“
Barusan beli garam di sebelah. “
Kali ini aku tidak berbohong, aku
benar-benar beli garam. Meskipun tanpa disangka, aku mendapatkan bonus balasan
surat dari Ananda. Ku pastikan sekitar, bahwa suamiku tak akan menemuiku dalam
beberapa menit ke depan.
Terima
kasih, karena telah bersedia membalas suratku. J aku tak pernah menyangka kau masih
bersedia membantuku. Kau benar-benar orang baik. Tapi aku minta maaf, karena
tak bisa menemuimu besok di tempat yang sudah kau tentukan. Hal itu hanya akan
membuat diriku tambah terpuruk, memperjelas penyesalan dalam diri. Bahwa aku
orang yang bersalah, orang yang tak mampu menjaga keimanannya. Bahkan justru
menukarnya dengan hal keduniawian.
Aku
sudah tak lagi seagama denganmu, tapi aku berani bersumpah aku khilaf, tak ada
niatan dalam hatiku untuk menjual agamaku. Saat itu aku kalut, tak tahu harus
berbuat apa. Aku ingin kau membantuku untuk keluar dari masalah ini. Aku butuh
bantuanmu, sangat membutuhkannya.
Deg! Darahku serasa berhenti
mengalir, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mataku panas, airmata keluar tanpa
dipandu. Segera ku hapus mutiara bening yang semakin deras mengalir di pipi,
tapi entah mengapa semakin ku hapus semakin dia berlomba untuk membanjiri
wajahku. Aku tak bisa menghentikannya.
###
April
2012
Penat menyelimuti tubuhku setelah
dua hari berturut-turut diminta menjadi pembicara di Universitas tempatku
berbagi ilmu. Dosen adalah profesiku, selain menjadi seorang istri dan ibu. Dua
kali dalam satu minggu saja, waktuku mengisi mata kuliah di kampus, selebihnya aku
menghabiskan waktu bersama keluarga. Aku ingin menemani pertumbuhan putriku di
tahun pertamanya.
Tingkah laku Fiana yang menggemaskan
lambat laun membunuh rasa penat yang sedari tadi menyeretku untuk berbaring
sekedar meluruskan syaraf-syaraf yang terasa sangat kaku.
“
Fiana, ikut ayah kesini. “ suara suamiku dari balik pintu
“
biarlah mas, aku kangen banget sama Fiana.” Pintaku untuk membiarkannya Fiana
bersamaku
“
Nih, surat lagi masih dari orang yang sama.” Ucapnya seraya menyerahkan sepucuk
surat yang ada di tangan
“
A..Ananda lagi? “ tanyaku kaget
Tanpa
menjawab pertanyaanku, dia melangkah keluar kamar. Jelas sudah suamiku marah.
Sekarang terbongkarlah rahasiaku, kebohonganku. Ya Rabb, apa yang harus aku
lakukan? Dengan keadaan yang terus berkecamuk, ku baca surat itu.
Maafkan
aku yang telah mengganggu aktivitasmu, mengapa tak lagi ada balasan? Kecewakah?
Aku telah mempermainkan agamaku, bukankah sudah sepantasnya aku dibunuh? Jika
masih ada jalan untukku memperbaiki diri dengan cara membiarkanku hidup, tolong
beritahu aku jalannya, namun jika tidak, tolong bantu aku mencari jalan
bertaubat, sekalipun itu dengan mengorbankan nyawaku. Kau masih merasa
dibohongikah? Atas hadirnya surat-surat tanpa kau ketahui pengirimnya? Aku
terlalu malu untuk bertatap muka langsung denganmu. Terkesan tidak sopan
memang, namun hanya ini yang dapat aku lakukan, tolong aku.
Adzan dzuhur berkumandang setelah
beberapa detik kemudian surat itu selesai terbaca. Segera kumenuju kamar mandi
guna mensucikan diri dengan berwudhu’ dan suamiku pasti sudah menunggu untuk
melaksanakan shalat jama’ah yang merupakan salah satu komitmen utama dalam
keluarga kami.
Tak
ada basa basi, seusai shalat suamiku tak berpaling menghadapku, berbeda dari
biasanya. Aku sadar bahwa dia masih marah dengan tindakan yang kuambil.
Keheningan terjadi diantara kita, namun aku tidak pernah betah untuk membiarkan
komunikasi diantara kita berlama-lama membatu.
“
aku minta maaf, mas “ kataku mencoba membuka percakapan.
“
terserah “ sahutnya hambar.
“
dia nyata, mas. Dan dia hanya seorang wanita lemah yang membutuhkan bantuan
kita. Dia ingin meraih kembali ke agamanya, dia ingin masuk islam lagi mas.”
“
jika dia ingin kembali memeluk agama islam, membaca syahadat sudah cukupkan? “
“
mas, masalahnya tak semudah itu dia harus berurusan dengan suaminya. “
“
seharusnya ….”
“
al muslim akhul muslim “ potongku
“
dulu dia orang islam, tapi sekarang? Lebih tepatnya dia mantan orang islam yang
telah rela menjual agamanya. “ suara suamiku sudah mulai menunggi
“
sekarang dia ingin taubat mas, dia benar-benar ingin kembali memeluk agama
Islam. “ belaku
“
darimana kamu tahu? Dari surat-suratnya? Apa ada jaminan akan hal itu? Lantas
apa yang akan kamu lakukan? “
“
aku tak bisa apa-apa mas, tanpa bantuanmu. Aku membutuhkanmu, aku butuh
dukunganmu, tapi jika kau masih tak berkenan aku membantunya. Mulai detik ini
aku akan menghentikan semuanya. Sekalipun dia kembali mengirimiku surat, maka
surat itu tak akan pernah aku baca, langsung aku buang. Aku tak mungkin
melakukannya tanpa ridha suamiku. “ jelasku panjang lebar dan suamiku hanya
terdiam.
“
saling tolong menolong dalam kebaikan, bukankah itu yang telah diajarkan agama
kita? Dan hanya wanita yang mengerti wanita mas. “ airmataku mulai menetes
“
yang ku khawatirkan adalah keikut sertaanmu dalam masalah orang yang tidak
diketahui keberadaannya. Aku takut masalah ini mempengaruhi cara didikanmu
terhadap anak kita. “
“
tidak akan mas, aku janji. Ketentraman keluarga lebih utama daripada masalah
lain “ ujarku meyakinkan
“
inilah resikoku memiliki istri seorang aktivis, jika ini merupakan hal baik
menurutmu, maka lakukanlah. Aku mendukungmu. “ senyum mengembang di bibirnya.
###
Komunikasiku
dengan Ananda kian lancar, meskipun masih dengan cara yang sama. Melalui surat
menyurat. Dan hari ini, baru saja pak Jono yang menjadi perantara komunikasi
diantara kita menyerahkan surat balasan dari Ananda setelah kemarin ku kirimkan
surat menanyakan tekadnya untuk benar-benar kembali ke jalan yang benar.
Beberapa
bulan pertama pernikahanku, aku mencoba meyakini diri bahwa agama baruku ini
jauh lebih baik dari agama orangtuaku. Mereka ramah menyambutku, secara
finansial semua yang kubutuhkan terpenuhi. Namun, jauh dilubuk hatiku
memberontak setiap kali mereka mengajakku memasuki tempat mereka beribadah.
Setiap kali mereka mengakui bahwa tuhan mereka tak hanya satu, namun hatiku
berkata tuhanku satu, sebagaimana ayat yang tertera dalam surat al ikhlas. Di
tambah lagi ayat ke 72 dalam surat al Maidah dan ayat ke 30 dalam surat al
Taubah tak pernah berhenti berkeliaran di otakku.
Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al
masih putera Maryam", Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. ( Q.S. Al Maidah : 72 )
Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? ( Q.S. Al Taubah :
30 )
Hatiku
benar-benar tidak bisa menerima apa yang sekarang telah ku pilih. Meskipun
sudah kuputuskan untuk memilih yang baru dan kudapatkan semua yang kuinginkan,
namun hatiku masih bersama yang dulu. Disaat itu baru aku sadari bahwa
keyakinanku masih bersama Islam, bukan yang lain. Islam masih dan tetap
merupakan agama yang benar bagiku bukan yang lain.
Mataku
berkaca-kaca usai membaca surat kesekian dari Ananda. Keinginanya sangat kuat
untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, yang masih menjadi pertanyaan dalam
benakku adalah dia meminta bantuanku berupa apa? Dia ingin aku gimana? Ah,
entahlah.
###
Matanya
terus menatap lantai. Kulitnya kuning langsat. Jika boleh ditebak umurnya tak
jauh beda dariku. Cantik. Tegas. Itulah kesan pertamaku disaat pertemuan kami
untuk pertama kalinya tanpa melalui surat. Di dalam rumahku.
“
kenapa nggak seperti ini dari awal, pak? “ Tanya suamiku kepada lelaki yang
mengantarnya
“
Ananda yang melarang saya, pak. Maaf tak bermaksud menutupi sesuatu dari bapak
dan ibu. “ jawab lelaki ini dengan wajah tertunduk
“
tidak apa-apa pak, seandainya bilang lebih awal pasti tak perlu berlarut-larut
seperti ini. “ ucap suamiku dengan senyum mengembang
Aku
lebih memilih bungkam saat mendengarkan penjelasan dari Ananda. Dengan tangis
tertahan dia menguraikan kisahnya yang menyulut perasaan siapa saja yang
mendengarkan.
Setelah
dia menyadari bahwa jalan yang di tempuh salah, dia meminta cerai kepada
suaminya dengan cara baik-baik. Namun tanpa di duga, suaminya yang semula
selalu bersikap baik, menyentuhnya dengan penuh kelembutan berubah seketika.
Dengan membabi buta Ananda mendapat pukulan di sekujur tubuhnya. Dan itu tidak
hanya terjadi sekali. Setiap kali diulanginya meminta cerai, disaat itu pula
tubuhnya akan lebam akibat pukulan. Berbagai ancaman terlontar hingga akhirnya
dia tak sanggup dan memilih untuk kabur dari rumah.
###
Awal
Juni 2012
Allahu
Akbar…
Allahu
Akbar..
Gema
takbir berkumandang di seantero ruang persidangan setelah hakim memberikan
keputusan terbaik bagi Ananda. Disinilah semua terjawab, bahwa Allah tahu apa
yag terbaik untuk hamba Nya. Menangis dan hanya bisa menangis yang dilakukan
Ananda menyeret perasaan haru bagi setiap pasang mata yang memandang. Keluasan
hati Ananda yang tak menuntut tindakan hukum terhadap mantan suaminyayang
terlah melakukan KDRT selama bertahun-tahun lamanya.
“
saya hanya ingin minta cerai dan membiarkan saya untuk kembali ke agama saya. “
akunya sambil menyeka airmata
Dua
kalimat syahadat terlontar dari bibir Ananda mendorong keyakinan yang mendalam
dari hatinya. Ananda kembali ke jalan Nya.
###
“
ini acara apa? Kenapa pakai serba putih? “ Tanya Ananda dengan raut wajah
kebingungan
“
disini kamu bakalan dapat ketenangan hati. “ jawabku meyakinkan
Berbagai
ragam manusia dengan status sosial berbeda datang berbondong-bondong dengan satu
tujuan yakni untuk mendekatkan diri kepada pencipta Nya. Memahami arti bahwa
mereka diciptakan tak lain hanya untuk menyembah Nya.
INTAN
( Indahnya Taubatan Nasuha )
Oleh : Maulidatun Nuril Fitriana
Januari
2012
Entah apakah ini merupakan sebuah
hukuman Tuhan, atau merupakan kesempatan bagi orang-orang yang membenci
keluargaku untuk mengekspresikan kebencian mereka. Sebulan setelah ku kirim
surat terakhir padamu, warga berbondong-bondong mendatangi rumahku. Mengusirku
dari tanah kelahiranku sendiri, mereka menganggapku sebagai manusia penyebab
sial. Mereka menganggapku sebagai wabah pembawa musibah. Jiwaku runtuh, tanpa
tahu apa yang harus dilakukan. Ayahku
mendadak serangan jantung, dan meninggal seketika. Ibuku syok berat
hingga beliau tak lagi mengenal orang lain termasuk aku putrinya. Hidupku
benar-benar berantakan. Aku kehilangan semuanya. Kini aku berada di sebuah
tempat, yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Aku hadir benar-benar sebagai
orang asing. Namun, Allah maha tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya kan? Di
tengah kegelisahanku meratapi kehidupan, Allah mengirimkan seseorang sebagai
malaikat penolongku, menhilang dahagaku di tengah kehausan yang melanda.
Seorang lelaki baik hati, yang bersedia menikahiku tanpa memperdulikan masa
laluku. Tidakkah kau ingin mengucapkan selamat atas pernikahanku sebagai
sahabatku? Aku menantikannya.
Lama sudah tak ku jumpai surat
misterius ini, dapat ku tebak pengirimnya masih sama. Seorang wanita yang
mengaku bernama Ananda. Ada apa lagi gerangan mengirimiku surat setelah sekian
lama tak ada kabar. Apa mungkin dia tengah menghadapi kegelisaha hati? Ah,
segera ku tepis pikiran yang tak mengenakkan hati. Ku baca ulang surat itu,
mencoba memahaminya bahwa dia telah menikah dengan seorang pria baik. Dan
sepertinya dia bahagia. Kalimat hamdalah terlontar dari bibirku sebagai tanda
turut bahagia atas pernikahannya. Namun, setelah ku telaah ulang, dia
menawariku untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya. Entah mengapa naluri
wanitaku berkata, bahwa dia membutuhkan pertolonganku.
###
Fiana sudah mulai belajar berjalan.
Sedikitpun tak ingin kulewati masa pertumbuhan putriku. Sempurna sudah ku
menjadi seorang wanita. Memiliki seorang imam yang tak pernah lelah
membimbingku, serta memiliki buah hati yang tak pernah ingin ku lepas dari
dekapanku. Aku sangat mencintai mereka, hingga terkadang kecintaanku kepada
mereka melebihi kecintaanku kepada sang khaliq. Tak jarang rasa takut yang
berlebihan menyergapku, membayangkan
sewaktu-waktu akan dipisahkan dari mereka.
“
Assalamu’alaikum “
Terdengar
salam dilantunkan mengiringi pintu rumah yang diketuk. Segera ku gendong Fiana,
mencari tahu siapa gerangan yang bertamu.
“
wa’alaikum salam. “ jawabku setelah sampai diambang pintu. Ternyata pak Jono,
tetangga rumahku. Setelah basa-basi sebentar, diberikannya sepucuk surat
beramplop putih.
“
dari siapa pak?” tanyaku setelah memeriksa amplop itu tak ada nama.
“
orangnya perempua bu, rambutnya sebahu, tapi nggak ngasih tahu namanya, katanya
ibu sudah biasa nerima surat dari dia.”
Deg! Seketika nama Ananda yang
terlintas di otakku. Siapa lagi orang yang ngirim surat ke aku selain dia?
Tapi, jika memang benar-benar membutuhkanku, mengapa tak menemuiku secara
langsung? Cepat-cepat kubuka amplop itu setelah pak Jono pamit pulang.
kalau kamu mau bales surat aku,
kamu bisa nitipin ke tetanggamu yang mengantarkan surat ini. Karena yang aku
tahu, pak Jono jarang keluar rumah, pekerjaannya setiap hari hanya menunggui
toko klontong yang berada di depan rumahnya. Mugkin kamu jenuh dengan sikapku
yang seperti ini, namun percayalah tak ada maksud dalam hatiku untuk mengganggu
kehidupanmu. Sejujurnya, aku membutuhkan pertolonganmu. Sumpah, aku benar-benar
membutuhkan pertolonganmu. Jika suratku yang terdahulu datang untuk meminta
bantuanmu menyebarkan kisah hidupku agar menjadi renungan untuk orang lain,
tapi, kali ini suratku datang membutuhkan pertolonganmu untuk menyelamatkan
kisah hidupku yang kian kelam.
Aku tak bahagia, suamiku memang
orang baik, bahkan sangat baik. Walau aku hidup bersamanya, namun jiwaku tak
bersamanya. Hatiku memberontak atas apa yang telah aku pilih. Aku sadar bahkan
teramat sadar, bahwa pilihanku salah. Aku bisa tersenyum, bahkan tertawa lepas,
tak ada yang tak kumiliki di dunia ini. Semua sudah lengkap, keluarga baru yang
sangat menyayangiku,kebutuhan finansial yang tak pernah cukup untuk dihabiskan
dalam waktu sejenak. Suamiku tergolong konglomerat di tempat aku tinggal
sekarang. Tapi, selalu terasa ada yang kurang. Hatiku terasa hambar, jiwaku
gersang. Aku tak bahagia. Tolong aku, aku mengandalkanmu.
Ananda
Sukses sudah dia membuatku bingung. Setelah
dulu dia mengirimkan surat berkala dan kemudian menghilang tanpa jejak, kini
dia datang kembali dan dengan jelas meminta bantuanku. Jujur, hatiku tergugah
untuk membantunya, meskipun aku tak mengenalnya secara langsung. Ya, aku hanya
mengenalnya melalui surat berkala yang tak pernah mendapat balasanku.
“
Surat dari siapa? “
Pertanyaan
itu hanya ku jawab dengan tatapan kosong, mengiringi langkah kertas yang kini
beralih ke tangan suamiku.
“
Ananda lagi? “
pertanyaan susulan terlontar dari bibirnya, sedangkan
matanya tampak terus menyusuri barisan huruf yang terukir rapi di atas kertas.
Dan aku hanya mampu menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan kedua.
“
Tak perlu dihiraukan, toh kita punya kehidupan sendiri. Tak usahlah ikut campur
urusan orang lain, lagi pula kalian tidak saling mengenal satu sama lain. “
“
aku mengenalnya, mas “
“
kapan? Dimana kalian pernah bertemu? Hanya melalui surat? “ kini pertanyaan
beruntun diajukan suamiku, mengakibatkan dia berhenti menemani Fiana bermain.
“
entah mengapa aku yakin mas, pasti dia ada masalah. “
“
Bukankah hal wajar, bagi pasangan suami istri menghadapi problem rumah tangga.
Kita juga tak luput dari masalahkan? “
“
Sepertinya masalah ini tak sekedar masalah biasa mas. “
“
Darimana kamu tahu? “
“
Naluri wanitaku yang berkata, dan hanya wanita yang bisa mengerti wanita. “
“
Sudahlah, kau terlalu mendramatisir.” Sanggah suamiku yang kutahu dia menahan
tawa.
“
Aku benar-benar ingin membantunya, mas. “ rengekku
“
terserahlah. “ di gendongnya Fiana menuju pekarangan rumah menjauhiku
Aku
sangat memahami suamiku, jika terlontar ungkapan “ terserah “ dari bibirnya
menandakan bahwa dia tak setuju dengan keputusan yang ku ambil.
###
Akhir
Februari, 2012
Semenjak terakhir kali suratnya
terkirim, tak pernah lagi ku jumpai surat susulan darinya. Sepintas akalku
mencoba untuk sepaham dengan suamiku, namun hati kecilku berkata sebaliknya.
Aku benar-benar ingin membantunya. Ku ambil selembar kertas dan menorehkan
sedikit coretan diatasnya.
“
Jika kau benar ingin mendapat bantuanku, maka temuilah aku besok di tengah
kerumunan orang berpakaian serba putih menghadiri sebuah majelis dzikir. “
Ku lipat kertas itu, namun berujung
tak jelas di antara para jemariku. Ah, sungguh bodohnya diriku, bagaimana caranya
surat ini sampai padanya? Sedangkan setiap kali dia mengirimkan surat tak
pernah tertera alamat pengirim. Surat ini harus sampai, begitu kuat tekad dalam
hatiku. Aku berfikir keras, dan hasilnya nihil.
Kucoba membaca ulang surat yang
terakhir, tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyuman. Lekas ku kenakan jilbab
dan meraih secarik kertas yang ku sebut itu sebagai balasan. Ku tinggalkan Fiana
di tempat tidurnya, segera menuju toko klontong pak Jono yang tek jauh dari
rumah. Dengan sedikit penjelasan ku titipkan surat itu pada lelaki tua yang
hidup sebatang kara ini. Aku senang karena telah menemukan jalan untuk
komunikasi lagi dengan Ananda, tapi disisi lain aku sedih karena harus
menyembunyikannya dari suamiku. Maafkan aku suamiku. L
“
kok cepat pak?” tanyaku heran
“
iya buk, kebetulan tadi dia kesini. “
“
makasih pak. “ ujarku seraya pamit pulang
Baru
sekitar dua jam yang lalu kukirimkan surat, herannya kini surat balasannya
sudah ada dalam genggamanku. Kakiku dengan cepat menuju dapur, setelah sejenak
menyapa suamiku yang baru saja memandikan Fiana.
“
Darimana? “ tanyanya melihatku tergesa.
“
Barusan beli garam di sebelah. “
Kali ini aku tidak berbohong, aku
benar-benar beli garam. Meskipun tanpa disangka, aku mendapatkan bonus balasan
surat dari Ananda. Ku pastikan sekitar, bahwa suamiku tak akan menemuiku dalam
beberapa menit ke depan.
Terima
kasih, karena telah bersedia membalas suratku. J aku tak pernah menyangka kau masih
bersedia membantuku. Kau benar-benar orang baik. Tapi aku minta maaf, karena
tak bisa menemuimu besok di tempat yang sudah kau tentukan. Hal itu hanya akan
membuat diriku tambah terpuruk, memperjelas penyesalan dalam diri. Bahwa aku
orang yang bersalah, orang yang tak mampu menjaga keimanannya. Bahkan justru
menukarnya dengan hal keduniawian.
Aku
sudah tak lagi seagama denganmu, tapi aku berani bersumpah aku khilaf, tak ada
niatan dalam hatiku untuk menjual agamaku. Saat itu aku kalut, tak tahu harus
berbuat apa. Aku ingin kau membantuku untuk keluar dari masalah ini. Aku butuh
bantuanmu, sangat membutuhkannya.
Deg! Darahku serasa berhenti
mengalir, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mataku panas, airmata keluar tanpa
dipandu. Segera ku hapus mutiara bening yang semakin deras mengalir di pipi,
tapi entah mengapa semakin ku hapus semakin dia berlomba untuk membanjiri
wajahku. Aku tak bisa menghentikannya.
###
April
2012
Penat menyelimuti tubuhku setelah
dua hari berturut-turut diminta menjadi pembicara di Universitas tempatku
berbagi ilmu. Dosen adalah profesiku, selain menjadi seorang istri dan ibu. Dua
kali dalam satu minggu saja, waktuku mengisi mata kuliah di kampus, selebihnya aku
menghabiskan waktu bersama keluarga. Aku ingin menemani pertumbuhan putriku di
tahun pertamanya.
Tingkah laku Fiana yang menggemaskan
lambat laun membunuh rasa penat yang sedari tadi menyeretku untuk berbaring
sekedar meluruskan syaraf-syaraf yang terasa sangat kaku.
“
Fiana, ikut ayah kesini. “ suara suamiku dari balik pintu
“
biarlah mas, aku kangen banget sama Fiana.” Pintaku untuk membiarkannya Fiana
bersamaku
“
Nih, surat lagi masih dari orang yang sama.” Ucapnya seraya menyerahkan sepucuk
surat yang ada di tangan
“
A..Ananda lagi? “ tanyaku kaget
Tanpa
menjawab pertanyaanku, dia melangkah keluar kamar. Jelas sudah suamiku marah.
Sekarang terbongkarlah rahasiaku, kebohonganku. Ya Rabb, apa yang harus aku
lakukan? Dengan keadaan yang terus berkecamuk, ku baca surat itu.
Maafkan
aku yang telah mengganggu aktivitasmu, mengapa tak lagi ada balasan? Kecewakah?
Aku telah mempermainkan agamaku, bukankah sudah sepantasnya aku dibunuh? Jika
masih ada jalan untukku memperbaiki diri dengan cara membiarkanku hidup, tolong
beritahu aku jalannya, namun jika tidak, tolong bantu aku mencari jalan
bertaubat, sekalipun itu dengan mengorbankan nyawaku. Kau masih merasa
dibohongikah? Atas hadirnya surat-surat tanpa kau ketahui pengirimnya? Aku
terlalu malu untuk bertatap muka langsung denganmu. Terkesan tidak sopan
memang, namun hanya ini yang dapat aku lakukan, tolong aku.
Adzan dzuhur berkumandang setelah
beberapa detik kemudian surat itu selesai terbaca. Segera kumenuju kamar mandi
guna mensucikan diri dengan berwudhu’ dan suamiku pasti sudah menunggu untuk
melaksanakan shalat jama’ah yang merupakan salah satu komitmen utama dalam
keluarga kami.
Tak
ada basa basi, seusai shalat suamiku tak berpaling menghadapku, berbeda dari
biasanya. Aku sadar bahwa dia masih marah dengan tindakan yang kuambil.
Keheningan terjadi diantara kita, namun aku tidak pernah betah untuk membiarkan
komunikasi diantara kita berlama-lama membatu.
“
aku minta maaf, mas “ kataku mencoba membuka percakapan.
“
terserah “ sahutnya hambar.
“
dia nyata, mas. Dan dia hanya seorang wanita lemah yang membutuhkan bantuan
kita. Dia ingin meraih kembali ke agamanya, dia ingin masuk islam lagi mas.”
“
jika dia ingin kembali memeluk agama islam, membaca syahadat sudah cukupkan? “
“
mas, masalahnya tak semudah itu dia harus berurusan dengan suaminya. “
“
seharusnya ….”
“
al muslim akhul muslim “ potongku
“
dulu dia orang islam, tapi sekarang? Lebih tepatnya dia mantan orang islam yang
telah rela menjual agamanya. “ suara suamiku sudah mulai menunggi
“
sekarang dia ingin taubat mas, dia benar-benar ingin kembali memeluk agama
Islam. “ belaku
“
darimana kamu tahu? Dari surat-suratnya? Apa ada jaminan akan hal itu? Lantas
apa yang akan kamu lakukan? “
“
aku tak bisa apa-apa mas, tanpa bantuanmu. Aku membutuhkanmu, aku butuh
dukunganmu, tapi jika kau masih tak berkenan aku membantunya. Mulai detik ini
aku akan menghentikan semuanya. Sekalipun dia kembali mengirimiku surat, maka
surat itu tak akan pernah aku baca, langsung aku buang. Aku tak mungkin
melakukannya tanpa ridha suamiku. “ jelasku panjang lebar dan suamiku hanya
terdiam.
“
saling tolong menolong dalam kebaikan, bukankah itu yang telah diajarkan agama
kita? Dan hanya wanita yang mengerti wanita mas. “ airmataku mulai menetes
“
yang ku khawatirkan adalah keikut sertaanmu dalam masalah orang yang tidak
diketahui keberadaannya. Aku takut masalah ini mempengaruhi cara didikanmu
terhadap anak kita. “
“
tidak akan mas, aku janji. Ketentraman keluarga lebih utama daripada masalah
lain “ ujarku meyakinkan
“
inilah resikoku memiliki istri seorang aktivis, jika ini merupakan hal baik
menurutmu, maka lakukanlah. Aku mendukungmu. “ senyum mengembang di bibirnya.
###
Komunikasiku
dengan Ananda kian lancar, meskipun masih dengan cara yang sama. Melalui surat
menyurat. Dan hari ini, baru saja pak Jono yang menjadi perantara komunikasi
diantara kita menyerahkan surat balasan dari Ananda setelah kemarin ku kirimkan
surat menanyakan tekadnya untuk benar-benar kembali ke jalan yang benar.
Beberapa
bulan pertama pernikahanku, aku mencoba meyakini diri bahwa agama baruku ini
jauh lebih baik dari agama orangtuaku. Mereka ramah menyambutku, secara
finansial semua yang kubutuhkan terpenuhi. Namun, jauh dilubuk hatiku
memberontak setiap kali mereka mengajakku memasuki tempat mereka beribadah.
Setiap kali mereka mengakui bahwa tuhan mereka tak hanya satu, namun hatiku
berkata tuhanku satu, sebagaimana ayat yang tertera dalam surat al ikhlas. Di
tambah lagi ayat ke 72 dalam surat al Maidah dan ayat ke 30 dalam surat al
Taubah tak pernah berhenti berkeliaran di otakku.
Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al
masih putera Maryam", Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. ( Q.S. Al Maidah : 72 )
Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? ( Q.S. Al Taubah :
30 )
Hatiku
benar-benar tidak bisa menerima apa yang sekarang telah ku pilih. Meskipun
sudah kuputuskan untuk memilih yang baru dan kudapatkan semua yang kuinginkan,
namun hatiku masih bersama yang dulu. Disaat itu baru aku sadari bahwa
keyakinanku masih bersama Islam, bukan yang lain. Islam masih dan tetap
merupakan agama yang benar bagiku bukan yang lain.
Mataku
berkaca-kaca usai membaca surat kesekian dari Ananda. Keinginanya sangat kuat
untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, yang masih menjadi pertanyaan dalam
benakku adalah dia meminta bantuanku berupa apa? Dia ingin aku gimana? Ah,
entahlah.
###
Matanya
terus menatap lantai. Kulitnya kuning langsat. Jika boleh ditebak umurnya tak
jauh beda dariku. Cantik. Tegas. Itulah kesan pertamaku disaat pertemuan kami
untuk pertama kalinya tanpa melalui surat. Di dalam rumahku.
“
kenapa nggak seperti ini dari awal, pak? “ Tanya suamiku kepada lelaki yang
mengantarnya
“
Ananda yang melarang saya, pak. Maaf tak bermaksud menutupi sesuatu dari bapak
dan ibu. “ jawab lelaki ini dengan wajah tertunduk
“
tidak apa-apa pak, seandainya bilang lebih awal pasti tak perlu berlarut-larut
seperti ini. “ ucap suamiku dengan senyum mengembang
Aku
lebih memilih bungkam saat mendengarkan penjelasan dari Ananda. Dengan tangis
tertahan dia menguraikan kisahnya yang menyulut perasaan siapa saja yang
mendengarkan.
Setelah
dia menyadari bahwa jalan yang di tempuh salah, dia meminta cerai kepada
suaminya dengan cara baik-baik. Namun tanpa di duga, suaminya yang semula
selalu bersikap baik, menyentuhnya dengan penuh kelembutan berubah seketika.
Dengan membabi buta Ananda mendapat pukulan di sekujur tubuhnya. Dan itu tidak
hanya terjadi sekali. Setiap kali diulanginya meminta cerai, disaat itu pula
tubuhnya akan lebam akibat pukulan. Berbagai ancaman terlontar hingga akhirnya
dia tak sanggup dan memilih untuk kabur dari rumah.
###
Awal
Juni 2012
Allahu
Akbar…
Allahu
Akbar..
Gema
takbir berkumandang di seantero ruang persidangan setelah hakim memberikan
keputusan terbaik bagi Ananda. Disinilah semua terjawab, bahwa Allah tahu apa
yag terbaik untuk hamba Nya. Menangis dan hanya bisa menangis yang dilakukan
Ananda menyeret perasaan haru bagi setiap pasang mata yang memandang. Keluasan
hati Ananda yang tak menuntut tindakan hukum terhadap mantan suaminyayang
terlah melakukan KDRT selama bertahun-tahun lamanya.
“
saya hanya ingin minta cerai dan membiarkan saya untuk kembali ke agama saya. “
akunya sambil menyeka airmata
Dua
kalimat syahadat terlontar dari bibir Ananda mendorong keyakinan yang mendalam
dari hatinya. Ananda kembali ke jalan Nya.
###
“
ini acara apa? Kenapa pakai serba putih? “ Tanya Ananda dengan raut wajah
kebingungan
“
disini kamu bakalan dapat ketenangan hati. “ jawabku meyakinkan
Berbagai
ragam manusia dengan status sosial berbeda datang berbondong-bondong dengan satu
tujuan yakni untuk mendekatkan diri kepada pencipta Nya. Memahami arti bahwa
mereka diciptakan tak lain hanya untuk menyembah Nya.
( Indahnya Taubatan Nasuha )
Oleh : Maulidatun Nuril Fitriana
Januari
2012
Entah apakah ini merupakan sebuah
hukuman Tuhan, atau merupakan kesempatan bagi orang-orang yang membenci
keluargaku untuk mengekspresikan kebencian mereka. Sebulan setelah ku kirim
surat terakhir padamu, warga berbondong-bondong mendatangi rumahku. Mengusirku
dari tanah kelahiranku sendiri, mereka menganggapku sebagai manusia penyebab
sial. Mereka menganggapku sebagai wabah pembawa musibah. Jiwaku runtuh, tanpa
tahu apa yang harus dilakukan. Ayahku
mendadak serangan jantung, dan meninggal seketika. Ibuku syok berat
hingga beliau tak lagi mengenal orang lain termasuk aku putrinya. Hidupku
benar-benar berantakan. Aku kehilangan semuanya. Kini aku berada di sebuah
tempat, yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Aku hadir benar-benar sebagai
orang asing. Namun, Allah maha tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya kan? Di
tengah kegelisahanku meratapi kehidupan, Allah mengirimkan seseorang sebagai
malaikat penolongku, menhilang dahagaku di tengah kehausan yang melanda.
Seorang lelaki baik hati, yang bersedia menikahiku tanpa memperdulikan masa
laluku. Tidakkah kau ingin mengucapkan selamat atas pernikahanku sebagai
sahabatku? Aku menantikannya.
Lama sudah tak ku jumpai surat
misterius ini, dapat ku tebak pengirimnya masih sama. Seorang wanita yang
mengaku bernama Ananda. Ada apa lagi gerangan mengirimiku surat setelah sekian
lama tak ada kabar. Apa mungkin dia tengah menghadapi kegelisaha hati? Ah,
segera ku tepis pikiran yang tak mengenakkan hati. Ku baca ulang surat itu,
mencoba memahaminya bahwa dia telah menikah dengan seorang pria baik. Dan
sepertinya dia bahagia. Kalimat hamdalah terlontar dari bibirku sebagai tanda
turut bahagia atas pernikahannya. Namun, setelah ku telaah ulang, dia
menawariku untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya. Entah mengapa naluri
wanitaku berkata, bahwa dia membutuhkan pertolonganku.
###
Fiana sudah mulai belajar berjalan.
Sedikitpun tak ingin kulewati masa pertumbuhan putriku. Sempurna sudah ku
menjadi seorang wanita. Memiliki seorang imam yang tak pernah lelah
membimbingku, serta memiliki buah hati yang tak pernah ingin ku lepas dari
dekapanku. Aku sangat mencintai mereka, hingga terkadang kecintaanku kepada
mereka melebihi kecintaanku kepada sang khaliq. Tak jarang rasa takut yang
berlebihan menyergapku, membayangkan
sewaktu-waktu akan dipisahkan dari mereka.
“
Assalamu’alaikum “
Terdengar
salam dilantunkan mengiringi pintu rumah yang diketuk. Segera ku gendong Fiana,
mencari tahu siapa gerangan yang bertamu.
“
wa’alaikum salam. “ jawabku setelah sampai diambang pintu. Ternyata pak Jono,
tetangga rumahku. Setelah basa-basi sebentar, diberikannya sepucuk surat
beramplop putih.
“
dari siapa pak?” tanyaku setelah memeriksa amplop itu tak ada nama.
“
orangnya perempua bu, rambutnya sebahu, tapi nggak ngasih tahu namanya, katanya
ibu sudah biasa nerima surat dari dia.”
Deg! Seketika nama Ananda yang
terlintas di otakku. Siapa lagi orang yang ngirim surat ke aku selain dia?
Tapi, jika memang benar-benar membutuhkanku, mengapa tak menemuiku secara
langsung? Cepat-cepat kubuka amplop itu setelah pak Jono pamit pulang.
kalau kamu mau bales surat aku,
kamu bisa nitipin ke tetanggamu yang mengantarkan surat ini. Karena yang aku
tahu, pak Jono jarang keluar rumah, pekerjaannya setiap hari hanya menunggui
toko klontong yang berada di depan rumahnya. Mugkin kamu jenuh dengan sikapku
yang seperti ini, namun percayalah tak ada maksud dalam hatiku untuk mengganggu
kehidupanmu. Sejujurnya, aku membutuhkan pertolonganmu. Sumpah, aku benar-benar
membutuhkan pertolonganmu. Jika suratku yang terdahulu datang untuk meminta
bantuanmu menyebarkan kisah hidupku agar menjadi renungan untuk orang lain,
tapi, kali ini suratku datang membutuhkan pertolonganmu untuk menyelamatkan
kisah hidupku yang kian kelam.
Aku tak bahagia, suamiku memang
orang baik, bahkan sangat baik. Walau aku hidup bersamanya, namun jiwaku tak
bersamanya. Hatiku memberontak atas apa yang telah aku pilih. Aku sadar bahkan
teramat sadar, bahwa pilihanku salah. Aku bisa tersenyum, bahkan tertawa lepas,
tak ada yang tak kumiliki di dunia ini. Semua sudah lengkap, keluarga baru yang
sangat menyayangiku,kebutuhan finansial yang tak pernah cukup untuk dihabiskan
dalam waktu sejenak. Suamiku tergolong konglomerat di tempat aku tinggal
sekarang. Tapi, selalu terasa ada yang kurang. Hatiku terasa hambar, jiwaku
gersang. Aku tak bahagia. Tolong aku, aku mengandalkanmu.
Ananda
Sukses sudah dia membuatku bingung. Setelah
dulu dia mengirimkan surat berkala dan kemudian menghilang tanpa jejak, kini
dia datang kembali dan dengan jelas meminta bantuanku. Jujur, hatiku tergugah
untuk membantunya, meskipun aku tak mengenalnya secara langsung. Ya, aku hanya
mengenalnya melalui surat berkala yang tak pernah mendapat balasanku.
“
Surat dari siapa? “
Pertanyaan
itu hanya ku jawab dengan tatapan kosong, mengiringi langkah kertas yang kini
beralih ke tangan suamiku.
“
Ananda lagi? “
pertanyaan susulan terlontar dari bibirnya, sedangkan
matanya tampak terus menyusuri barisan huruf yang terukir rapi di atas kertas.
Dan aku hanya mampu menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan kedua.
“
Tak perlu dihiraukan, toh kita punya kehidupan sendiri. Tak usahlah ikut campur
urusan orang lain, lagi pula kalian tidak saling mengenal satu sama lain. “
“
aku mengenalnya, mas “
“
kapan? Dimana kalian pernah bertemu? Hanya melalui surat? “ kini pertanyaan
beruntun diajukan suamiku, mengakibatkan dia berhenti menemani Fiana bermain.
“
entah mengapa aku yakin mas, pasti dia ada masalah. “
“
Bukankah hal wajar, bagi pasangan suami istri menghadapi problem rumah tangga.
Kita juga tak luput dari masalahkan? “
“
Sepertinya masalah ini tak sekedar masalah biasa mas. “
“
Darimana kamu tahu? “
“
Naluri wanitaku yang berkata, dan hanya wanita yang bisa mengerti wanita. “
“
Sudahlah, kau terlalu mendramatisir.” Sanggah suamiku yang kutahu dia menahan
tawa.
“
Aku benar-benar ingin membantunya, mas. “ rengekku
“
terserahlah. “ di gendongnya Fiana menuju pekarangan rumah menjauhiku
Aku
sangat memahami suamiku, jika terlontar ungkapan “ terserah “ dari bibirnya
menandakan bahwa dia tak setuju dengan keputusan yang ku ambil.
###
Akhir
Februari, 2012
Semenjak terakhir kali suratnya
terkirim, tak pernah lagi ku jumpai surat susulan darinya. Sepintas akalku
mencoba untuk sepaham dengan suamiku, namun hati kecilku berkata sebaliknya.
Aku benar-benar ingin membantunya. Ku ambil selembar kertas dan menorehkan
sedikit coretan diatasnya.
“
Jika kau benar ingin mendapat bantuanku, maka temuilah aku besok di tengah
kerumunan orang berpakaian serba putih menghadiri sebuah majelis dzikir. “
Ku lipat kertas itu, namun berujung
tak jelas di antara para jemariku. Ah, sungguh bodohnya diriku, bagaimana caranya
surat ini sampai padanya? Sedangkan setiap kali dia mengirimkan surat tak
pernah tertera alamat pengirim. Surat ini harus sampai, begitu kuat tekad dalam
hatiku. Aku berfikir keras, dan hasilnya nihil.
Kucoba membaca ulang surat yang
terakhir, tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyuman. Lekas ku kenakan jilbab
dan meraih secarik kertas yang ku sebut itu sebagai balasan. Ku tinggalkan Fiana
di tempat tidurnya, segera menuju toko klontong pak Jono yang tek jauh dari
rumah. Dengan sedikit penjelasan ku titipkan surat itu pada lelaki tua yang
hidup sebatang kara ini. Aku senang karena telah menemukan jalan untuk
komunikasi lagi dengan Ananda, tapi disisi lain aku sedih karena harus
menyembunyikannya dari suamiku. Maafkan aku suamiku. L
“
kok cepat pak?” tanyaku heran
“
iya buk, kebetulan tadi dia kesini. “
“
makasih pak. “ ujarku seraya pamit pulang
Baru
sekitar dua jam yang lalu kukirimkan surat, herannya kini surat balasannya
sudah ada dalam genggamanku. Kakiku dengan cepat menuju dapur, setelah sejenak
menyapa suamiku yang baru saja memandikan Fiana.
“
Darimana? “ tanyanya melihatku tergesa.
“
Barusan beli garam di sebelah. “
Kali ini aku tidak berbohong, aku
benar-benar beli garam. Meskipun tanpa disangka, aku mendapatkan bonus balasan
surat dari Ananda. Ku pastikan sekitar, bahwa suamiku tak akan menemuiku dalam
beberapa menit ke depan.
Terima
kasih, karena telah bersedia membalas suratku. J aku tak pernah menyangka kau masih
bersedia membantuku. Kau benar-benar orang baik. Tapi aku minta maaf, karena
tak bisa menemuimu besok di tempat yang sudah kau tentukan. Hal itu hanya akan
membuat diriku tambah terpuruk, memperjelas penyesalan dalam diri. Bahwa aku
orang yang bersalah, orang yang tak mampu menjaga keimanannya. Bahkan justru
menukarnya dengan hal keduniawian.
Aku
sudah tak lagi seagama denganmu, tapi aku berani bersumpah aku khilaf, tak ada
niatan dalam hatiku untuk menjual agamaku. Saat itu aku kalut, tak tahu harus
berbuat apa. Aku ingin kau membantuku untuk keluar dari masalah ini. Aku butuh
bantuanmu, sangat membutuhkannya.
Deg! Darahku serasa berhenti
mengalir, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mataku panas, airmata keluar tanpa
dipandu. Segera ku hapus mutiara bening yang semakin deras mengalir di pipi,
tapi entah mengapa semakin ku hapus semakin dia berlomba untuk membanjiri
wajahku. Aku tak bisa menghentikannya.
###
April
2012
Penat menyelimuti tubuhku setelah
dua hari berturut-turut diminta menjadi pembicara di Universitas tempatku
berbagi ilmu. Dosen adalah profesiku, selain menjadi seorang istri dan ibu. Dua
kali dalam satu minggu saja, waktuku mengisi mata kuliah di kampus, selebihnya aku
menghabiskan waktu bersama keluarga. Aku ingin menemani pertumbuhan putriku di
tahun pertamanya.
Tingkah laku Fiana yang menggemaskan
lambat laun membunuh rasa penat yang sedari tadi menyeretku untuk berbaring
sekedar meluruskan syaraf-syaraf yang terasa sangat kaku.
“
Fiana, ikut ayah kesini. “ suara suamiku dari balik pintu
“
biarlah mas, aku kangen banget sama Fiana.” Pintaku untuk membiarkannya Fiana
bersamaku
“
Nih, surat lagi masih dari orang yang sama.” Ucapnya seraya menyerahkan sepucuk
surat yang ada di tangan
“
A..Ananda lagi? “ tanyaku kaget
Tanpa
menjawab pertanyaanku, dia melangkah keluar kamar. Jelas sudah suamiku marah.
Sekarang terbongkarlah rahasiaku, kebohonganku. Ya Rabb, apa yang harus aku
lakukan? Dengan keadaan yang terus berkecamuk, ku baca surat itu.
Maafkan
aku yang telah mengganggu aktivitasmu, mengapa tak lagi ada balasan? Kecewakah?
Aku telah mempermainkan agamaku, bukankah sudah sepantasnya aku dibunuh? Jika
masih ada jalan untukku memperbaiki diri dengan cara membiarkanku hidup, tolong
beritahu aku jalannya, namun jika tidak, tolong bantu aku mencari jalan
bertaubat, sekalipun itu dengan mengorbankan nyawaku. Kau masih merasa
dibohongikah? Atas hadirnya surat-surat tanpa kau ketahui pengirimnya? Aku
terlalu malu untuk bertatap muka langsung denganmu. Terkesan tidak sopan
memang, namun hanya ini yang dapat aku lakukan, tolong aku.
Adzan dzuhur berkumandang setelah
beberapa detik kemudian surat itu selesai terbaca. Segera kumenuju kamar mandi
guna mensucikan diri dengan berwudhu’ dan suamiku pasti sudah menunggu untuk
melaksanakan shalat jama’ah yang merupakan salah satu komitmen utama dalam
keluarga kami.
Tak
ada basa basi, seusai shalat suamiku tak berpaling menghadapku, berbeda dari
biasanya. Aku sadar bahwa dia masih marah dengan tindakan yang kuambil.
Keheningan terjadi diantara kita, namun aku tidak pernah betah untuk membiarkan
komunikasi diantara kita berlama-lama membatu.
“
aku minta maaf, mas “ kataku mencoba membuka percakapan.
“
terserah “ sahutnya hambar.
“
dia nyata, mas. Dan dia hanya seorang wanita lemah yang membutuhkan bantuan
kita. Dia ingin meraih kembali ke agamanya, dia ingin masuk islam lagi mas.”
“
jika dia ingin kembali memeluk agama islam, membaca syahadat sudah cukupkan? “
“
mas, masalahnya tak semudah itu dia harus berurusan dengan suaminya. “
“
seharusnya ….”
“
al muslim akhul muslim “ potongku
“
dulu dia orang islam, tapi sekarang? Lebih tepatnya dia mantan orang islam yang
telah rela menjual agamanya. “ suara suamiku sudah mulai menunggi
“
sekarang dia ingin taubat mas, dia benar-benar ingin kembali memeluk agama
Islam. “ belaku
“
darimana kamu tahu? Dari surat-suratnya? Apa ada jaminan akan hal itu? Lantas
apa yang akan kamu lakukan? “
“
aku tak bisa apa-apa mas, tanpa bantuanmu. Aku membutuhkanmu, aku butuh
dukunganmu, tapi jika kau masih tak berkenan aku membantunya. Mulai detik ini
aku akan menghentikan semuanya. Sekalipun dia kembali mengirimiku surat, maka
surat itu tak akan pernah aku baca, langsung aku buang. Aku tak mungkin
melakukannya tanpa ridha suamiku. “ jelasku panjang lebar dan suamiku hanya
terdiam.
“
saling tolong menolong dalam kebaikan, bukankah itu yang telah diajarkan agama
kita? Dan hanya wanita yang mengerti wanita mas. “ airmataku mulai menetes
“
yang ku khawatirkan adalah keikut sertaanmu dalam masalah orang yang tidak
diketahui keberadaannya. Aku takut masalah ini mempengaruhi cara didikanmu
terhadap anak kita. “
“
tidak akan mas, aku janji. Ketentraman keluarga lebih utama daripada masalah
lain “ ujarku meyakinkan
“
inilah resikoku memiliki istri seorang aktivis, jika ini merupakan hal baik
menurutmu, maka lakukanlah. Aku mendukungmu. “ senyum mengembang di bibirnya.
###
Komunikasiku
dengan Ananda kian lancar, meskipun masih dengan cara yang sama. Melalui surat
menyurat. Dan hari ini, baru saja pak Jono yang menjadi perantara komunikasi
diantara kita menyerahkan surat balasan dari Ananda setelah kemarin ku kirimkan
surat menanyakan tekadnya untuk benar-benar kembali ke jalan yang benar.
Beberapa
bulan pertama pernikahanku, aku mencoba meyakini diri bahwa agama baruku ini
jauh lebih baik dari agama orangtuaku. Mereka ramah menyambutku, secara
finansial semua yang kubutuhkan terpenuhi. Namun, jauh dilubuk hatiku
memberontak setiap kali mereka mengajakku memasuki tempat mereka beribadah.
Setiap kali mereka mengakui bahwa tuhan mereka tak hanya satu, namun hatiku
berkata tuhanku satu, sebagaimana ayat yang tertera dalam surat al ikhlas. Di
tambah lagi ayat ke 72 dalam surat al Maidah dan ayat ke 30 dalam surat al
Taubah tak pernah berhenti berkeliaran di otakku.
Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al
masih putera Maryam", Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun. ( Q.S. Al Maidah : 72 )
Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani
berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? ( Q.S. Al Taubah :
30 )
Hatiku
benar-benar tidak bisa menerima apa yang sekarang telah ku pilih. Meskipun
sudah kuputuskan untuk memilih yang baru dan kudapatkan semua yang kuinginkan,
namun hatiku masih bersama yang dulu. Disaat itu baru aku sadari bahwa
keyakinanku masih bersama Islam, bukan yang lain. Islam masih dan tetap
merupakan agama yang benar bagiku bukan yang lain.
Mataku
berkaca-kaca usai membaca surat kesekian dari Ananda. Keinginanya sangat kuat
untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, yang masih menjadi pertanyaan dalam
benakku adalah dia meminta bantuanku berupa apa? Dia ingin aku gimana? Ah,
entahlah.
###
Matanya
terus menatap lantai. Kulitnya kuning langsat. Jika boleh ditebak umurnya tak
jauh beda dariku. Cantik. Tegas. Itulah kesan pertamaku disaat pertemuan kami
untuk pertama kalinya tanpa melalui surat. Di dalam rumahku.
“
kenapa nggak seperti ini dari awal, pak? “ Tanya suamiku kepada lelaki yang
mengantarnya
“
Ananda yang melarang saya, pak. Maaf tak bermaksud menutupi sesuatu dari bapak
dan ibu. “ jawab lelaki ini dengan wajah tertunduk
“
tidak apa-apa pak, seandainya bilang lebih awal pasti tak perlu berlarut-larut
seperti ini. “ ucap suamiku dengan senyum mengembang
Aku
lebih memilih bungkam saat mendengarkan penjelasan dari Ananda. Dengan tangis
tertahan dia menguraikan kisahnya yang menyulut perasaan siapa saja yang
mendengarkan.
Setelah
dia menyadari bahwa jalan yang di tempuh salah, dia meminta cerai kepada
suaminya dengan cara baik-baik. Namun tanpa di duga, suaminya yang semula
selalu bersikap baik, menyentuhnya dengan penuh kelembutan berubah seketika.
Dengan membabi buta Ananda mendapat pukulan di sekujur tubuhnya. Dan itu tidak
hanya terjadi sekali. Setiap kali diulanginya meminta cerai, disaat itu pula
tubuhnya akan lebam akibat pukulan. Berbagai ancaman terlontar hingga akhirnya
dia tak sanggup dan memilih untuk kabur dari rumah.
###
Awal
Juni 2012
Allahu
Akbar…
Allahu
Akbar..
Gema
takbir berkumandang di seantero ruang persidangan setelah hakim memberikan
keputusan terbaik bagi Ananda. Disinilah semua terjawab, bahwa Allah tahu apa
yag terbaik untuk hamba Nya. Menangis dan hanya bisa menangis yang dilakukan
Ananda menyeret perasaan haru bagi setiap pasang mata yang memandang. Keluasan
hati Ananda yang tak menuntut tindakan hukum terhadap mantan suaminyayang
terlah melakukan KDRT selama bertahun-tahun lamanya.
“
saya hanya ingin minta cerai dan membiarkan saya untuk kembali ke agama saya. “
akunya sambil menyeka airmata
Dua
kalimat syahadat terlontar dari bibir Ananda mendorong keyakinan yang mendalam
dari hatinya. Ananda kembali ke jalan Nya.
###
“
ini acara apa? Kenapa pakai serba putih? “ Tanya Ananda dengan raut wajah
kebingungan
“
disini kamu bakalan dapat ketenangan hati. “ jawabku meyakinkan
Berbagai
ragam manusia dengan status sosial berbeda datang berbondong-bondong dengan satu
tujuan yakni untuk mendekatkan diri kepada pencipta Nya. Memahami arti bahwa
mereka diciptakan tak lain hanya untuk menyembah Nya.