Sabtu, 04 Juli 2015

inisial " I "

Pekat. Sepekat kopi tanpa sebulir gulapun. Dan disini tersaji rasa serupa saat ku tenggelam dalam penantian. Semilir angin tak dapat terelakkan, merengkuh dingin tubuhku dalam kegelapan. Kembali kumenatap petunjuk waktu, mengangguk tanda setuju dengan apa yang akan kulakukan.
Terseok kulontarkan untaian doa, untuk mereka yang senantiasa menjadikanku tempat bermuara kasih.
Tuhan, tak bisakah kau hapus luka disetiap kerut wajah mereka?
Jera aku menjadi penyebab setiap duka
Kirimlah dia untuk menjemputku
Sebagai pengganti sayatan perih yang kusebabkan
Manusia berkata, kaulah tempat meminta
Pelipur lara
***
Perempuan itu datang lagi, dengan seulas senyum menyapaku. Ah, pekerjaan yang menuntutnya untuk melesikkan senyum dimataku. Percikan-percikan pertanyaan terlontar begitu antusias. Dan aku lebih suka memperhatikan setiap gerakan bibirnya daripada harus menjawab pertanyaan yang semakin membosankan.
Ibu sembari merangkul pundakku, memintaku menjawab semua pertanyaan wanita itu, yang disebutnya dengan julukan dokter. Namun, aku terlalu letih, malas dan terlebih tak lagi percaya dengan setiap ungkapan manusia.
Silih berganti scenario Tuhan terlaksana
Tak habis ku berpikir,,
Dihalaman keberapa Tuhan akan membubuhkanmu menjadi penutup ceritaku
Dan jiwaku terseret dalam ketidak pastian
Ragaku terpatri dalam kesendirian
***
Kugenggap tangan ibu, mencari kejujuran di lubuk hatinya. Kubantah semua tudingan licik mereka. Secarik kertas kuserahkan, dan sejenak kemudian mata kita beradu. Kuanggukkan kepala tanda bersungguh-sungguh menginginkannya.

Rintik hujan menjadi saksi cerita malam.
Saat kuhirup setiap cemohan dari para penghuni alam.
Semakin lama aku tenggelam dalam amarah yang tak kunjung meredam.
“ berbicaralah”
Dokter itu kini tak lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat aku kian bosan. Namun, dia memberikan perintah untuk berbicara. Apa yang harus kubicarakan? Aku tak mengenalnya. Dimulai dari huruf apakah aku harus membuka pembicaraan? Apakah dia bisa dipercaya? Sanggupkah dia menyimpan semua ceritaku? Ah, aku tak percaya.
“ dulu dia pribadi yang periang, dok.” Jawab salah satu keluargaku dan ibuku mulai terisak dalam pelukan ayah.
Jenuh menatap wajah wanita itu, kualihkan pandangan menatap benda-benda disekitar. Sebuah tulisan yang cukup jelas menjadikan alasan mengapa aku berada dalam ruangan ini. Mereka menganggapku GILA. Berapa biaya yang harus dikeluarkan keluargaku untuk tempat tinggal ini? Serentak tanpa komando bulir-bulir airmata menyeruak keluar. Kutelungkupkan kedua tangan diatas bantal. Beragam suara tertangkap telinga memaksaku untuk menegakkan wajah.
***
“aku baik-baik saja, bu. Aku ingin pulang, disini bukan tempatku, bu.” Rengekku dihari kesepuluh berada dalam ruangan pengap dan menejuhkan ini.
Tangis bunda pecah seketika, diciuminya kening dan kedua belah pipiku. Tanpa ada suara, hangat peluknya menjadi tanda bahagia yang tak terungkap. Ketika kupertegas lagi keinginanku untuk pulang, hanya anggukan kepala yang menjadi jawaban.
Sirnakan luka dalam hatinya
Sunggingkan senyuman dibibirnya
Tautkan cinta-Mu dalam langkahnya
Senada cintanya dalam kisahku
Bergegas ayah keluar ruangan, dan kembali membawa wanita yang mereka panggil dengan sebutan dokter. Basa basi dokter itu kembali lagi terngiang ditelingaku, tapi kini berusaha aku jawab meski aku tak suka. Berharap dengan jawaban-jawabanku ini, menjadi jalan untuk meninggalkan tempat ini.
Senyuman melengkung di bibirnya, mungkin dia merasa pekerjaannya berhasil. Ditawarinya aku pulang keesokan harinya, namun segera kutolak. Sekarang. Kupertegas.
***
Petunjuk waktu didinding kamarku tak lagi berdenting. Dengan tetap diam membisu diperhatikannya tetes demi tetes airmataku. Dua belas angka yang senantiasa dihampirinya dengan tiga buah jarum menjadi saksi perjalanan nafasku.
Bulan sumringah berdendang menemani bintang. Dan petunjuk waktu yang kini telah menghampiri angka satu menatapku dengan sendu seraya berbisik, “pejamkanlah matamu,dan mintalah perlindungan tuhanmu yang tak akan pernah lelah kau mintai perlindungan. Berhentilah menantinya. Tanpa kau nanti dimasa yang tlah ditentukan dia akan datang.”
Hening
Sebagian penghuni alam terbuai dalam mimpi
Sebagian yang lain mulai beraktivitas
Dan aku berada diantara keduanya
Ingin merajut mimpi namun aktivitas otakku tak kunjung usai
***
Deburan ombak bagai tarian baleria
indah tertangkap pandangan
ribuan pasir disapanya
menikmati sang surya yang mulai terbangun
menuai tugas dari pemiliknya
“nama seseorangkah?” satu sapaan pagi ini datang dari orang yang berbeda. Aku tak mengenalnya.
“nama sang kekasihkah? Berinisial I, dibelakangnya ada dua huruf M.M, berarti ini title dari pemilik inisial I?” sambungnya menerka-nerka goresan yang kuciptakan diatas pasir.
“ senyummu indah” katanya lagi yang menangkap seluet senyum dibibirku
“kau boleh mengenalku, namun jangan pernah jatuh cinta kepadaku” ucapku seraya meninggalkan dia termenung sendiri.
***
Dia datang. Dia benar-benar datang. Aku tak mampu memandangnya namun kehadirannya dapat kurasa. Sakit. Ya sakit menjadi bukti dari kehadirannya. Ah, haruskah dengan cara ini kau datang menjemputku? Beragam suara manusia tertangkap, dan yang paling jelas ditelinga kiriku dilafadzkan asma Tuhanku. Bibirku berusaha mengikuti suara itu. Mataku sedikit terbuka remang-remang tampak wajah pemuda yang kularang untuk mencintaiku. Secarik kertas dibawanya entah mengapa begitu jelas tulisan yang tertera “ Izrail, Malaikat Maut.”. menahan sakit aku tersenyum, dia berhasil menebak sendiri siapakah yang kumaksud dalam tulisan dipantai kala itu. Sedetik kemudian airmatanya bertaburan, dan pandanganku padam.

@el_tryana
080615








Tidak ada komentar:

Posting Komentar