Selasa, 12 Mei 2015

tasawuf antara al Ghazali dan ibn 'Athaillah as Sakandari

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah Islam sepanjang 14 abad menyimpan dan mencatat dengan baik begitu banyak hal yang controversial. Sebuah kenyataan yang wajar dalam sejarah sebuah peradaban. Apalagi peradaban sebesar Islam yang sempat menguasai dunia selama beberapa abad lamanya. Hanya saja pemberian cap “kontroversi” terhadap sesuatu tentu saja tidak serta merta menyebabkannya masuk ke dalam lingkaran kesesatan. Sesat-tidaknya apa pun yang dicap kontroversi sangat relatif. Tergantung siapa yang menilai, dari sudut mana ia memandang dan dengan parameter apa ia mengukur atau menimbangnya. Yang pasti bagi seorang muslim, maka parameter untuk menilai sesat-tidaknya sesuatu sudah jelas; al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana dipahami oleh salafushalih.
Banyak hal kontroversi yang terjadi dalam Islam, baik dalam ilmu fiqh, filsafat, akhlak dan tasawuf. Baik dari segi pengertian maupun tokoh-tokohnya.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan ilmu pengetahuan Islam yang berupa tasawuf, dari segi sudut pandang tokoh-tokohnya. Dan tokoh – tokoh tasawuf yang akan di bahas adalah Imam Ghazali dan Ibn ‘Athaillah al-Sakandari.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Imam Ghazali?
2.      Bagaimana biografi Ibn ‘Athaillah as-Sakandari?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Imam Ghazali
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam, ahli fiqh madzhab Syafi’i, seorang filosuf dan sufi. [1]
Nama Al-Ghazali, ada yang menisbatkan pada Ghazalah. Ghazalah adalah tempat kelahirannya. Ada pula yang menisbatkan pada kata Al-Ghazzali (perajut, penenun, pemintal). Al-Ghazali dinisbatkan pada kata ini karena ayahnya berprofesi sebagai pemintal untuk mencari nafkah.[2] Sementara gelar asy-Syafi’i merujuk pada madzhab Syafi’i yang beliau anut.[3]
Dilahirkan di kota Thus, sebuah kota yang terletak di Khurasan, berada di sebelah tenggara Iran, tahun 450 H.  kota ini penuh dengan perselisihan yang berdimensi agama, karena besarnya jumlah pemeluk agama Kristen dan pendukung madzhab Syi’ah.[4]
Ayah Al-Ghazali adalah laki-laki fakir dan sholeh. Ia hanya makan dari hasil keringat sendiri. Dia berprofesi sebagai pemintal gaum wool dan menjualnya di tokonya di Thus. Waktu senggangnya digunakan untuk menghadiri majelis ulama. Ia mengabdi pada para ulama, serius dalam memberikan pelayanan terbaik, serta menuntut ilmu agama dari mereka. Jika mendengar mendengar ucapan ulama, ia menangis dan memohon kepada Allah agar dikaruniai anak dan menjadikannya seorang faqih dan ahli menasehati. Maka Allah menganugerahinya dua orang anak, yaitu Al-Ghazali dan sauradanya Ahmad. Tetapi Allah memanggilnya sebelum menyaksikan impiannya terwujud. [5] Beliau wafat pada tahun 505 H/1111 M.[6]
Ayah Al-Ghazali berwasiat kepada temannya yang seorang sufi untuk mengasuh dua putranya, Al-Ghazali dan Ahmad. Ia berkata kepada sufi itu, “ Aku tidak mempunyai kesempatan untuk belajar menulis. Aku ingin kedua anakku ini mewujudkan harapan yang tidak bisa aku capai itu. Engkau bisa menggunakan semua harta yang kutinggalkan untuk membiayai belajar mereka.”[7]
Sang sufi melaksanakan wasiat itu. Tatkala ayah al-Ghazali meninggal dunia, sang sufi mengajar al-Ghazali dan Ahmad sampai harta peninggalan ayah al-Ghazali yang sedikit itu habis.[8]
Ketika harta peninggalan itu habis, ia memasukkan al-Ghazali dan Ahmad ke Madrasah Nizhamiyah. Madrasah ini membantu mereka dalam belajar, dan mencukupi kebutuhan makan dan pakaian mereka.[9]
Al-Ghazali dan Ahmad hidup dalam asuhan sang sufi selama beberapa tahun. Di bawah bimbingan sufi itu, mereka mampu menghafal Al-Qur’an, mempelajari fiqih, dan meneladani perilaku sang sufi. Sufi itu memdidik mereka. Sufi itu mendidik mereka dan memposisikan diri sebagai ayah yang penyayang.[10]
Pendidikan awalnya dimulai di desanya sendiri, yaitu dengan belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad al-Razkani al-Thusi.[11] Adapun guru pertamanya adalah Yusuf An-Nassaj yang juga sufi. [12]
Setelah itu, ia pindah ke Jurjan untuk belajar ke madrasah yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili. Di tempat inilah Ghazali muda mempelajari semua bidang ilmu agama dan ilmu bahasa.[13] Setelah tamat, ia kembali ke Thus untuk belajar dengan Syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H)[14].
Dalam perjalanan dari Jurjan menuju Thus, ia mengalami sebuah peristiwa besar. Peristiwa itu membuatnya hafal catatan yang telah ia tulis dan memahami apa yang ia pelajari. Ia menceritakan peristiwa itu, “ Dalam perjalanan, kami dihadang oleh para penyamun. Mereka mengambil semua barang yang aku bawa dan meninggalkan rombonganku, tetapi aku terus membuntuti mereka. Aku menghampiri pimpinan mereka. Pimpinan penyamun itu menghardikku, “Pergilah! Kalau tifak, kamu akan celaka!” Aku berkata padanya, “Demi Dzat yang kau harapkan keselamatan-Nya, aku hanya memohon engkau sudi mengembalikan catatanku, karena catatan itu pasti tidak bernilai apa-apa bagi kalian.” Dia bertanya, “Apa itu catatan?” Aku pun menjawab, “Buku-buku yang berada di dalam kantong itu. Aku bepergian untuk mendengar, mencatat, dan mengetahui ilmu yang ada dalam catatan itu.” Pimpinan penyamun itu tertawa terbahak-bahak dan berkata kepadaku, “Bagaimana kamu mengaku mengetahui ilmunya, sementara kami telah mengambil catatanmu? Kamu telah membuang ilmu itu, dan kamu tetap bodoh tidak berilmu.” Kemudian ia memanggil beberapa anak buahnya, lalu menyerahkan kantongku yang berisi catatan. Kemudian al-Ghazali berkata, “Demikianlah cara Allah membimbingku. Setelah sampai di Thus, aku menyibukkan diri selama tiga tahun untuk menghafal semua ilmu yang pernah kucatat, sehingga jika pun catatan itu diambil penyamun, aku tidak akan pernah kehilangan ilmu.”[15]
Sejak peristiwa itu, ia bertekad untuk tidak hanya mempelajari, menekuni dan mengkaji kitab-kitab itu, tetapi juga menghafal hingga ia tidak khawatir lagi jika kitab-kitab yang banyak berisi hikmat itu hilang.[16]
Setelah belajar dengan Syekh Yusuf al-Nassaj, kemudia ke Nisyabur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain, seorang kepala Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan bermacam ilmu dan pengetahuan.[17]
Ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pu mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, al-Juwaini menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “bahr muriq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki al-Ghazali menjadikannya semakin populer, bahkan menandingi gurunya, yaitu imam Haramain.[18]
Setelah al-Juwaini wafat, al-Ghazali meninggalkan Nisabur untuk pergi ke daerah kekuasaan Nidzam Al-Mulk, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri untuk kerajaan Saljuk. Di tempat inilah nanti akan dapat dilihat bahwa pengembaraan intelektual al-Ghazali menemukan titik kesuksesan yang besar. Di tempat ini, suatu pengalaman yang menarik sekaligus disengaja, al- Ghazali mencoba untuk ikut bagian dalam perdebatan dengan sekumpulan ulama, dan orang-orang yang cerdik pandai dihadapan Nidzam al-Mulk. Dan perdebatan itu dimenangkan oleh al-Ghazali. Sebagai orang baru ia benar-benar mengagumkan.[19]
Nidzam al-Mulk menugaskan al-Ghazali untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah cabang Baghdad. Pekerjaan ini pada zamannya diincar dan didambakan oleh banyak ulama, sehingga mereka berlomba-lomba mencapainya.[20]
Al-Ghazali mengajar di Madrasah Nidzamiyah, dan banyak orang yang dibuat kagum oleh gaya bicaranya yang baik, kecerdasannya yang sempurna, kefasihan lidahnya, dan isyaratnya yang halus, sehingga mereka semua menyukainya. Ia dihormati para pejabat Negara, pangeran, dan keluarga istana. Banyak murid yang membaca di hadapan Al-Ghazali. Di dalam kitabnya Al-Munqidz min Adh-Dhalal, ia melukiskan keadaannya di Madrasah Nidzamiyah, “Saya mengajar dan memberi faedah kepada tiga ratus murid di Baghdad.”[21]
Diangkatnya al-Ghazali sebagai pengajar sekaligus guru besar pada sebuah perguruan bergengsi di Baghdad makin menampakkan kejelasan akan kesuksesan yang bakal diraih olehnya. Dia yang sebelumnya sebagai sebagai seorang anak yatim yang ditinggalkan oleh ayahnya semenjak kecil, kini tumbuh sebagai seorang ilmuwan terhormat, disegani oleh banyak kalangan dan secara materi serba berkecukupan. Di kota Baghdad inilah nama al-Ghazali mulai menebarkan aroma harum hingga tercium di setiap pelosok daerah. Banyak orang mulai mengenalnya dan banyak orang pula yang mulai mengetahui kecerdasan pikirannya.[22] Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang Barat di kenal dengan skepticisme,[23] yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua ma’rifat, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098 M, ia menuju Palestina berdoa di samping kubur Nabi Ibrahim a.s. kemudian, ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad saw. Akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.[24]
 Sedangkan menurut Teguh Pramono, Mulai tahun 488 H/1095 M, beliau pindah ke Damaskus. Di Masjid Umawi, ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari, dengan hanya sedikit makan dan minum. Ia lalu memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah, secara terus-menerus. Ia menjalankan gaya hidup seperti itu selama dua tahun di Damaskus.[25]
Setelah itu, ia pergi ke Baitul Maqdis di Palestina. Setiap hari, ia masuk ke Qubbah Shahrah untuk berdzikir. Ia juga pergi ke Al-Khalil untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim as. Setelah dari Palestina, ia melaksanakan ibadah haji di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah saw. di Madinah. Ghazali sempat kembali ke Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nidzamiyah Baghdad. Namun, tidak berapa lama kemudian, ia kembali ke Thus dan mendirikan khanaqah untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk mengajar ilmu tasawuf.[26] Setelah memperoleh kebenaran hakiki di akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 (14 Jumadil Akhir 505), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya. Karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptic di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantab, ia tetap aktif mengarang.[27]
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Waktu yang dipergunakan untuk mengarang terhitung selama tiga puluh tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun dia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain filsafat dan ilmu kalam, meliputi : Maqashid Al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Maqashid Asna fi Ma’ani Asma Al-Husna, Faishal At-Tafriqat, Qisthas Al-Mustaqim, Al-Mustazhiri, Hujjat al-Haqq, Munfashil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din, Al-Muntahal fi ‘ilm Al-Jadal, Al-Madlnun bin Al-Ghair Ahlihi, Mahkun Nadhar, Ara ‘Ilm Ad-Din, ‘Arba’in fi Ushil Ad-Din, Iljam Al-‘Awam ‘an Ilm Al-Kalam, Mi’yar Al-‘Ilm, Al-Intishar, Isbat An-Nadhar. Dan Fiqh-Ushul Fiqh meliputi : Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashah Al-Mukhtashar, Al-Mustasyfa, Al-Mankhul, Syifakh Al-‘Alil fi Qiyas wa Ta’lil, Adz-Dzsri’ah Ila Makarim Asy-Syari’ahal. Dalam bidang tafsir meliputi : Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil, Jawahir Al-Qur’an. Sedangkan dalam bidang tasawuf dan akhlak meliputi : Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Mizan al-‘Amal, Kimiya Sa’adah, Misykat Al-Anwar, Mukasyafah Al-Qulub, Minhaj Al-‘Abidin, Ad-Dar Al-Fakhirat fi kasyfi ‘Ulum Al-Akhirat, Al-‘Ainis fi Al-Wahdat, Al-Qurbat Ila Allah ‘Azza Wajalla, Akhlaq Al-Abrar wa Najat min Asrar, Bidayah Al-Hidayah, Al-Mabadi’ wa Al-Ghayah, Nashihat Al-Mulk, Tablis Al-Iblis, Al-‘Ilm Al-Laduniyah, Ar-Risalah Al-Qudsiyah, Al-Ma’khadz, Al-‘Amali, Al-Ma’arij Al-Quds.[28]
Karya-karyanya membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh. Di kalangan Islam, banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, al-Ghazali adalah orang kedua yang paling berpengaruh setelah Rasulullah saw. ini mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian seperti itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen. “Titisan” al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filsuf Yahudi besar, Musa bin Maymun (Moses the Maimonides). Karya-karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan filsafat Yahudi dapat sepenuhna dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali.[29]
Di kalangan Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai “titisan” Kristen dari Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga memperoleh salurannya dalam mistisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat disbanding ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan dalam novel best-seller-nya Umberto Eco, The Name of the Rose.[30]
Banyak literatur yang menyebutkan tentang jasa-jasa Al-Ghazali bagi peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya menyebutkan, “ Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali.” Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Akan tetapi, tidaklah demikian pada pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.[31]
Tasawuf Al-Ghazali menghimpun akidah, syari’at, dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot. Kualitas ini muncul karena teori-teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah secara intensif dan berkesinambungan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya, Ghazali terus bertasawuf.[32]
Dalam pandangan Ghazali, ilmu tasawuf mengandung dua bagian penting, yaitu menyangkut ilmu muamalah dan menyangkut ilmu mukasyafah. Hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya’ ‘Ulumiddin. Ghazali menyusun kitab ini dalam empat bab utama dan masing-masing dibagi lagi ke dalam sepuluh pasal. Bab pertama tentang ibadah (rubu’ al-ibadah), bab kedua tentang adat istiadat (rubu’ al-adat), bab ketiga tentang hal-hal yang mencelakakan (rubu’ al-muhlikat), dan bab keempat tentang maqamat serta ahwal (rubu’ al-munjiyat).[33]
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan embeningan hati secara terus-menerus, sehingga mampu mencapai musyahadah (tahapan tertinggi kaum sufi setelah menjalankan suluk). Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa serta penempaan moral atau akhlak yang terpuji, baik disisi manusia maupun Tuhan.[34]
B.     Ibn ‘Athaillah As-Sakandari
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Atha’illah as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. julukan al-Iskandari atau as-Sakandari  dari merujuk kota kelahirannya.[35]
Sedari kecil,  Ibn ‘Athaillah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat al-Syadzili.[36]
Dalam bidang fikih, ia menganut dan menguasai madzhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syadzili.[37]
Ibn ‘Atha’illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya, meliputi bidang tasawuf, tafsir, hadits, akidah, nahwu dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opus­-nya. Kitab ini sudah beberapa kali di syarah, antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim Ibn ‘Ibad ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zarruq dan Ahmad ibn Ajiba.[38]
Beberapa kitab lain yang ia tulis adalah al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwaan al-Taufiq fi ‘adab al-Thariq, Miftah al-Falah, dan Al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap pendapat-pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme, sementara Ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah, karena mereka juga ketat dalam urusan syariat.[39]
Ibn ‘Athaillah dikenal selaku sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan, menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.[40]
Ia dikenal sebagai ‘master’ atau syekh ketiga dalam lingkungan tarekat Syadzili, setelah sang pendirinya Abu al-Hassan asy-Syadzili dan penerusnya, Abu al-Abbas al-Mursi. Dan Ibn ‘Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khasanah tarekat Syadziliyah tetap terpelihara.[41]
Masuknya syaikh Ibnu ‘Athaillah ke dunia Tasawuf dijelaskan di dalam kitab Thabaqat asy-Syadziliyah. Suatu ketika syaikh Ibnu ‘Athaillah mempunyai konflik dengan salah seorang murid syaikh Abul Abbas al-Mursi. Pada saat itu syaikh Ibnu ‘Athaillah sudah menjadi ulama besar madzhab Maliki, tapi belum masuk dunia thariqat/tasawuf. Pada waktu itu beliau mengingkari praktek-praktek tasawuf Abul Abbas al-Mursi yang dipraktekkan oleh murid-muridnya. Murid syaikh Abul Abbas al-Mursi terpojok, tidak bisa menjawab pertanyaan Ibnu ‘Athaillah. Murid tersebut berkata, “Anda tidak perlu mencela saya. Saya hanya seorang murid. Saya punya guru. Lebih baik kapan-kapan Anda mengikuti pengajian guru saya.” Syaikh Ibnu ‘Athaillah merenung, “Baiklah kalau begitu, daripada aku berbantah-bantahan tentang perkara yang aku sendiri belum tahu kebenarannya. Aku ini orang berilmu kok membicarakan perkara yang belum jelas. Aku akan memperjelas persolan (tabayun). Aku akan mengikuti pengajiannya. Kalau apa yang dikatakan syaikh itu benar, pasti Allah swt. akan memunculkan tanda-tanda kebenaran.”[42]
 Akhirnya Ibnu ‘Athaillah mengikuti pengajian syaikh Abul Abbas al-Mursi. Saat itu syaikh Abul Abbas al-Mursi sedang menerangkan tentang tingkatan pesulukan. Syaikh Abul Abbas al-Mursi menerangkan panjang lebar hingga sulit dipahami oleh orang awam. Di antara penjelasannya, syaikh Abul Abbas al-Mursi menerangkan tentang ‘kedirian’ seseorang, derajat-derajat suluk kepada Allah swt., pengalaman-pengalaman yang dilakukan oleh orang-orang suluk, tingkat kedekatan orang suluk kepada Allah, dan macam-macam orang suluk. Beliau berkata, “Yang pertama Islam. Itu adalah derajat tunduk kepada Allah. Kemudian ta’at, dan menjalankan syariat. Yang kedua, Iman. Yaitu maqam ma’rifat, mengenal hakikat syara’ dengan mengerti keharusan-keharusan hamba. Yang ketiga, Ihsan. Yaitu suasana orang membuktikan kehadiran Allah swt. di dalam hatinya.[43]
Perkembangan pemikiran Ibnu ‘Athaillah dapat diketahui dari karya tulisnya al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Athaillah pada khusunya dalam paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu ‘Athaillah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syariat, thariqah dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan warisan spiritualnya dan selain ia seorang ahli hukum yang bermadzhab Maliki juga sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi sebagai mursyid dalam tarekat Syadziliyah.[44]
Corak pemikiran Ibnu ‘Athaillah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat. Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Athaillah merupakan guru ketiga dari thariqah Syadziliyah, maka ia memiliki pandangan tasawuf khususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tarekat Syadziliyah.[45]

Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah swt. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.[46]
Kedua, tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah, mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.[47]
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-lab) dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.[48]
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.[49]
Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Abu Hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari langit, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini. Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.[50]
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah swt., senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.[51]
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat, al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan :
1). Mawahib atau ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilih sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut.
2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa, shalat sunnah dan amal shalih lainnya.[52]

Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Athaillah ini akan berangkat dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta tulisan-tulisan Ibnu ‘Athaillah dalam kitab al-Hikam.[53]
Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab al-Hikam meletakkan transendental mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini dapat dipahami pemikiran Ibnu ‘Athaillah dari penglaman puncak (Fick eksperience).[54]
Ibnu ‘Athaillah telah memahami ajaran konsep tasawuf yang banyak mengandung dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas menjadi lima bagian yaitu :
·         Secara lahir dan batin melakukan taqwa kepada Allah swt.
·          Berkata dan berbuat sesuai dengan As- Sunnah.
·         Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk.
·          Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah swt.
·         Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah swt.[55]








BAB III
KESIMPULAN
Imam al-Ghazali merupakan seorang ilmuan Islam, yang sedari kecil menyelami berbagai macam ilmu pengetahuan. Beliau terkenal dengan argument-argumen yang tidak terbantahkan oleh ulama lain. Karena kecerdasan intelektualnya ini, Nidzam al-Mulk menugaskan al-Ghazali untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah cabang Baghdad. Pekerjaan ini pada zamannya diincar dan didambakan oleh banyak ulama, sehingga mereka berlomba-lomba mencapainya. Nidzam al-Mulk menugaskan al-Ghazali untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah cabang Baghdad. Pekerjaan ini pada zamannya diincar dan didambakan oleh banyak ulama, sehingga mereka berlomba-lomba mencapainya.
Suatu ketika, beliau merasakan kesangsian terhadap ma’rifah. Yang menyebabkan beliau sakit selama enam bulan dan membuat beliau memutuskan untuk meninggalkan semua yang dimilikinya.
Mulai tahun 488 H/1095 M, beliau pindah ke Damaskus. Di Masjid Umawi, ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari, dengan hanya sedikit makan dan minum. Ia lalu memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah, secara terus-menerus. Ia menjalankan gaya hidup seperti itu selama dua tahun di Damaskus.
Karya al-Ghazali sekitar 300 buah, dan karya terbesarnya adalah Ihya’ Ulumiddin yang membahas mengenai ilmu tasawuf.
Sedangkan Ibnu ‘Athaillah juga terkenal sebagai sosok ilmuan Islam. Beliau dikenal sebagai sosok yang dikagumi dalam segi keilmuannya.
Masuknya beliau ke jalan tasawuf, berawal dari mengikuti pengajian yang di adakan oleh syaikh Abul Abbas al-Mursi. Akhirnya beliau menjadi mursyid tarekat Syadziliyah melanjutkan perjuangan Abul Abbas al-Mursi.
Dari banyaknya karya beliau, kitab al-Hikam merupakan karya terbesarnya yang mengandung pembahasan mengenai tasawuf.
Dua ulama diatas, sama-sama ahli tasawuf yang fenomenal. Meskipun jalan menuju tasawuf berbeda, namun terdapat kesamaan corak piker diantara keduanya.




























Daftar Pustaka
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
‘Atho’illah as-Sakandari, Syaikh Ibn, al-hikam, Jakarta : Khatulistiwa Press, 2013.
al-Ghazali, Imam, Minhajul Abidin, Jakarta : KHATULISTIWA Press, 2013.
Fattah Sayyid Ahmad, Abdul, tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta : KHALIFA, 2005.
Munir Amin, Samsul, Ilmu Tasawuf, Jakarta : AMZAH, 2014.
Nachrowi, Asrifin, Lima Imam Agung, Surabaya : JAWARA, 2005.
Nasution, Hasyimiyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nur, www. Tasawuf Ibn ‘Athaillah Manusia dan Tuhan. Html., diposting pada 4 maret 2015
Pramono, Teguh, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa, Yogyakarta : DIVA Press, 2012.
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Jakarta : Bina Aksara, 1983.
Pengajian KH. Imran Jamil, www. Hakikat Tasawuf dan Selintas tentang Ibnu ‘Athaillah. ngeBlog juga ibadah. Html. Diposting pada 23 Januari 2014
Sirajuddin, Flisafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.






1 komentar: