BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Islam sepanjang 14 abad
menyimpan dan mencatat dengan baik begitu banyak hal yang controversial. Sebuah
kenyataan yang wajar dalam sejarah sebuah peradaban. Apalagi peradaban sebesar
Islam yang sempat menguasai dunia selama beberapa abad lamanya. Hanya saja
pemberian cap “kontroversi” terhadap sesuatu tentu saja tidak serta merta
menyebabkannya masuk ke dalam lingkaran kesesatan. Sesat-tidaknya apa pun yang
dicap kontroversi sangat relatif. Tergantung siapa yang menilai, dari sudut
mana ia memandang dan dengan parameter apa ia mengukur atau menimbangnya. Yang
pasti bagi seorang muslim, maka parameter untuk menilai sesat-tidaknya sesuatu
sudah jelas; al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana dipahami oleh salafushalih.
Banyak hal kontroversi yang terjadi
dalam Islam, baik dalam ilmu fiqh, filsafat, akhlak dan tasawuf. Baik dari segi
pengertian maupun tokoh-tokohnya.
Dalam makalah ini penulis akan
memaparkan ilmu pengetahuan Islam yang berupa tasawuf, dari segi sudut pandang
tokoh-tokohnya. Dan tokoh – tokoh tasawuf yang akan di bahas adalah Imam
Ghazali dan Ibn ‘Athaillah al-Sakandari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi Imam Ghazali?
2.
Bagaimana
biografi Ibn ‘Athaillah as-Sakandari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Ghazali
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid
Al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam, ahli fiqh madzhab Syafi’i,
seorang filosuf dan sufi. [1]
Nama Al-Ghazali, ada yang menisbatkan pada Ghazalah. Ghazalah
adalah tempat kelahirannya. Ada pula yang menisbatkan pada kata Al-Ghazzali
(perajut, penenun, pemintal). Al-Ghazali dinisbatkan pada kata ini karena
ayahnya berprofesi sebagai pemintal untuk mencari nafkah.[2]
Sementara gelar asy-Syafi’i merujuk pada madzhab Syafi’i yang beliau anut.[3]
Dilahirkan di kota Thus, sebuah kota yang terletak di Khurasan,
berada di sebelah tenggara Iran, tahun 450 H.
kota ini penuh dengan perselisihan yang berdimensi agama, karena
besarnya jumlah pemeluk agama Kristen dan pendukung madzhab Syi’ah.[4]
Ayah Al-Ghazali adalah laki-laki fakir dan sholeh. Ia hanya makan
dari hasil keringat sendiri. Dia berprofesi sebagai pemintal gaum wool dan
menjualnya di tokonya di Thus. Waktu senggangnya digunakan untuk menghadiri
majelis ulama. Ia mengabdi pada para ulama, serius dalam memberikan pelayanan
terbaik, serta menuntut ilmu agama dari mereka. Jika mendengar mendengar ucapan
ulama, ia menangis dan memohon kepada Allah agar dikaruniai anak dan
menjadikannya seorang faqih dan ahli menasehati. Maka Allah menganugerahinya
dua orang anak, yaitu Al-Ghazali dan sauradanya Ahmad. Tetapi Allah
memanggilnya sebelum menyaksikan impiannya terwujud. [5]
Beliau wafat pada tahun 505 H/1111 M.[6]
Ayah Al-Ghazali berwasiat kepada temannya yang seorang sufi untuk
mengasuh dua putranya, Al-Ghazali dan Ahmad. Ia berkata kepada sufi itu, “ Aku
tidak mempunyai kesempatan untuk belajar menulis. Aku ingin kedua anakku ini
mewujudkan harapan yang tidak bisa aku capai itu. Engkau bisa menggunakan semua
harta yang kutinggalkan untuk membiayai belajar mereka.”[7]
Sang sufi melaksanakan wasiat itu. Tatkala ayah al-Ghazali
meninggal dunia, sang sufi mengajar al-Ghazali dan Ahmad sampai harta
peninggalan ayah al-Ghazali yang sedikit itu habis.[8]
Ketika harta peninggalan itu habis, ia memasukkan al-Ghazali dan
Ahmad ke Madrasah Nizhamiyah. Madrasah ini membantu mereka dalam belajar, dan
mencukupi kebutuhan makan dan pakaian mereka.[9]
Al-Ghazali dan Ahmad hidup dalam asuhan sang sufi selama beberapa
tahun. Di bawah bimbingan sufi itu, mereka mampu menghafal Al-Qur’an,
mempelajari fiqih, dan meneladani perilaku sang sufi. Sufi itu memdidik mereka.
Sufi itu mendidik mereka dan memposisikan diri sebagai ayah yang penyayang.[10]
Pendidikan awalnya dimulai di desanya sendiri, yaitu dengan belajar
fiqih kepada Ahmad bin Muhammad al-Razkani al-Thusi.[11]
Adapun guru pertamanya adalah Yusuf An-Nassaj yang juga sufi. [12]
Setelah itu, ia pindah ke Jurjan untuk belajar ke madrasah yang
dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili. Di tempat inilah Ghazali muda mempelajari
semua bidang ilmu agama dan ilmu bahasa.[13]
Setelah tamat, ia kembali ke Thus untuk belajar dengan Syekh Yusuf al-Nassaj
(wafat 487 H)[14].
Dalam perjalanan dari Jurjan menuju Thus, ia mengalami sebuah
peristiwa besar. Peristiwa itu membuatnya hafal catatan yang telah ia tulis dan
memahami apa yang ia pelajari. Ia menceritakan peristiwa itu, “ Dalam
perjalanan, kami dihadang oleh para penyamun. Mereka mengambil semua barang
yang aku bawa dan meninggalkan rombonganku, tetapi aku terus membuntuti mereka.
Aku menghampiri pimpinan mereka. Pimpinan penyamun itu menghardikku, “Pergilah!
Kalau tifak, kamu akan celaka!” Aku berkata padanya, “Demi Dzat yang kau
harapkan keselamatan-Nya, aku hanya memohon engkau sudi mengembalikan
catatanku, karena catatan itu pasti tidak bernilai apa-apa bagi kalian.” Dia
bertanya, “Apa itu catatan?” Aku pun menjawab, “Buku-buku yang berada di dalam
kantong itu. Aku bepergian untuk mendengar, mencatat, dan mengetahui ilmu yang
ada dalam catatan itu.” Pimpinan penyamun itu tertawa terbahak-bahak dan
berkata kepadaku, “Bagaimana kamu mengaku mengetahui ilmunya, sementara kami
telah mengambil catatanmu? Kamu telah membuang ilmu itu, dan kamu tetap bodoh
tidak berilmu.” Kemudian ia memanggil beberapa anak buahnya, lalu menyerahkan
kantongku yang berisi catatan. Kemudian al-Ghazali berkata, “Demikianlah cara
Allah membimbingku. Setelah sampai di Thus, aku menyibukkan diri selama tiga
tahun untuk menghafal semua ilmu yang pernah kucatat, sehingga jika pun catatan
itu diambil penyamun, aku tidak akan pernah kehilangan ilmu.”[15]
Sejak peristiwa itu, ia bertekad untuk tidak hanya mempelajari,
menekuni dan mengkaji kitab-kitab itu, tetapi juga menghafal hingga ia tidak
khawatir lagi jika kitab-kitab yang banyak berisi hikmat itu hilang.[16]
Setelah belajar dengan Syekh Yusuf al-Nassaj, kemudia ke Nisyabur belajar
kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain, seorang kepala
Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan bermacam ilmu dan pengetahuan.[17]
Ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh
al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pu
mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena
kemahirannya dalam masalah ini, al-Juwaini menjuluki al-Ghazali dengan sebutan
“bahr muriq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan
berpikir yang dimiliki al-Ghazali menjadikannya semakin populer, bahkan
menandingi gurunya, yaitu imam Haramain.[18]
Setelah al-Juwaini wafat, al-Ghazali meninggalkan Nisabur untuk
pergi ke daerah kekuasaan Nidzam Al-Mulk, yang pada saat itu menjabat sebagai
Menteri untuk kerajaan Saljuk. Di tempat inilah nanti akan dapat dilihat bahwa
pengembaraan intelektual al-Ghazali menemukan titik kesuksesan yang besar. Di
tempat ini, suatu pengalaman yang menarik sekaligus disengaja, al- Ghazali
mencoba untuk ikut bagian dalam perdebatan dengan sekumpulan ulama, dan
orang-orang yang cerdik pandai dihadapan Nidzam al-Mulk. Dan perdebatan itu
dimenangkan oleh al-Ghazali. Sebagai orang baru ia benar-benar mengagumkan.[19]
Nidzam al-Mulk menugaskan al-Ghazali untuk mengajar di Madrasah
Nidzamiyah cabang Baghdad. Pekerjaan ini pada zamannya diincar dan didambakan
oleh banyak ulama, sehingga mereka berlomba-lomba mencapainya.[20]
Al-Ghazali mengajar di Madrasah Nidzamiyah, dan banyak orang yang
dibuat kagum oleh gaya bicaranya yang baik, kecerdasannya yang sempurna,
kefasihan lidahnya, dan isyaratnya yang halus, sehingga mereka semua
menyukainya. Ia dihormati para pejabat Negara, pangeran, dan keluarga istana.
Banyak murid yang membaca di hadapan Al-Ghazali. Di dalam kitabnya Al-Munqidz
min Adh-Dhalal, ia melukiskan keadaannya di Madrasah Nidzamiyah, “Saya
mengajar dan memberi faedah kepada tiga ratus murid di Baghdad.”[21]
Diangkatnya al-Ghazali sebagai pengajar sekaligus guru besar pada
sebuah perguruan bergengsi di Baghdad makin menampakkan kejelasan akan
kesuksesan yang bakal diraih olehnya. Dia yang sebelumnya sebagai sebagai
seorang anak yatim yang ditinggalkan oleh ayahnya semenjak kecil, kini tumbuh
sebagai seorang ilmuwan terhormat, disegani oleh banyak kalangan dan secara
materi serba berkecukupan. Di kota Baghdad inilah nama al-Ghazali mulai
menebarkan aroma harum hingga tercium di setiap pelosok daerah. Banyak orang
mulai mengenalnya dan banyak orang pula yang mulai mengetahui kecerdasan
pikirannya.[22]
Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap
kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang Barat di kenal dengan
skepticisme,[23]
yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua ma’rifat, baik yang bersifat
empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam
bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan
semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, ia
mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah)
untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.
Lalu pada tahun 490 H/1098 M, ia menuju Palestina berdoa di samping kubur Nabi
Ibrahim a.s. kemudian, ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan
ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad saw. Akhirnya, ia
terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.[24]
Sedangkan menurut Teguh
Pramono, Mulai tahun 488 H/1095 M, beliau pindah ke Damaskus. Di Masjid Umawi,
ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari,
dengan hanya sedikit makan dan minum. Ia lalu memasuki suluk sufi dengan
riyadhah dan mujahadah, secara terus-menerus. Ia menjalankan gaya hidup
seperti itu selama dua tahun di Damaskus.[25]
Setelah itu, ia pergi ke Baitul Maqdis di Palestina. Setiap hari,
ia masuk ke Qubbah Shahrah untuk berdzikir. Ia juga pergi ke Al-Khalil untuk
berziarah ke makam Nabi Ibrahim as. Setelah dari Palestina, ia melaksanakan ibadah
haji di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah saw. di Madinah. Ghazali
sempat kembali ke Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nidzamiyah Baghdad.
Namun, tidak berapa lama kemudian, ia kembali ke Thus dan mendirikan khanaqah
untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk mengajar ilmu tasawuf.[26]
Setelah memperoleh kebenaran hakiki di akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia
menghembuskan napasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 (14
Jumadil Akhir 505), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya. Karya tulis yang
ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang
yang produktif. Seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun
sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptic di Naisabur
maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantab, ia tetap aktif mengarang.[27]
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300
buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Waktu
yang dipergunakan untuk mengarang terhitung selama tiga puluh tahun. Dengan
perhitungan ini, setiap tahun dia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah
kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain
filsafat dan ilmu kalam, meliputi : Maqashid Al-Falasifah, Tahafut
al-Falasifah, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Maqashid
Asna fi Ma’ani Asma Al-Husna, Faishal At-Tafriqat, Qisthas Al-Mustaqim,
Al-Mustazhiri, Hujjat al-Haqq, Munfashil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din, Al-Muntahal
fi ‘ilm Al-Jadal, Al-Madlnun bin Al-Ghair Ahlihi, Mahkun Nadhar, Ara ‘Ilm
Ad-Din, ‘Arba’in fi Ushil Ad-Din, Iljam Al-‘Awam ‘an Ilm Al-Kalam, Mi’yar
Al-‘Ilm, Al-Intishar, Isbat An-Nadhar. Dan Fiqh-Ushul Fiqh meliputi : Al-Basith,
Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashah Al-Mukhtashar, Al-Mustasyfa, Al-Mankhul,
Syifakh Al-‘Alil fi Qiyas wa Ta’lil, Adz-Dzsri’ah Ila Makarim Asy-Syari’ahal.
Dalam bidang tafsir meliputi : Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil, Jawahir
Al-Qur’an. Sedangkan dalam bidang tasawuf dan akhlak meliputi : Ihya’
‘Ulum Ad-Din, Mizan al-‘Amal, Kimiya Sa’adah, Misykat Al-Anwar, Mukasyafah
Al-Qulub, Minhaj Al-‘Abidin, Ad-Dar Al-Fakhirat fi kasyfi ‘Ulum Al-Akhirat,
Al-‘Ainis fi Al-Wahdat, Al-Qurbat Ila Allah ‘Azza Wajalla, Akhlaq Al-Abrar wa
Najat min Asrar, Bidayah Al-Hidayah, Al-Mabadi’ wa Al-Ghayah, Nashihat Al-Mulk,
Tablis Al-Iblis, Al-‘Ilm Al-Laduniyah, Ar-Risalah Al-Qudsiyah, Al-Ma’khadz,
Al-‘Amali, Al-Ma’arij Al-Quds.[28]
Karya-karyanya membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai
seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh. Di kalangan Islam, banyak
yang menilai bahwa dalam hal ajaran, al-Ghazali adalah orang kedua yang paling
berpengaruh setelah Rasulullah saw. ini mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur
yang mendukung kebenaran penilaian seperti itu. Uniknya lagi, pemikiran
keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan
agama Yahudi dan Kristen. “Titisan” al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi tampil
dalam pribadi filsuf Yahudi besar, Musa bin Maymun (Moses the Maimonides).
Karya-karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan filsafat Yahudi
dapat sepenuhna dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Ghazali.[29]
Di kalangan Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes
melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun
dapat dipandang sebagai “titisan” Kristen dari Al-Ghazali. Lebih jauh,
pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga memperoleh salurannya dalam
mistisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah ordo yang karena
banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi ilmiah yang lebih
kuat disbanding ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan dalam novel best-seller-nya
Umberto Eco, The Name of the Rose.[30]
Banyak literatur yang menyebutkan tentang jasa-jasa Al-Ghazali bagi
peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya menyebutkan, “ Peradaban Islam telah
mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali.” Suatu penilaian yang banyak mendapat
dukungan. Akan tetapi, tidaklah demikian pada pandangan lawan-lawannya.
Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna,
Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.[31]
Tasawuf Al-Ghazali menghimpun akidah, syari’at, dan akhlak dalam
suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot. Kualitas ini muncul karena
teori-teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah
melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah secara intensif
dan berkesinambungan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya, Ghazali
terus bertasawuf.[32]
Dalam pandangan Ghazali, ilmu tasawuf mengandung dua bagian
penting, yaitu menyangkut ilmu muamalah dan menyangkut ilmu mukasyafah.
Hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya’ ‘Ulumiddin. Ghazali menyusun
kitab ini dalam empat bab utama dan masing-masing dibagi lagi ke dalam sepuluh
pasal. Bab pertama tentang ibadah (rubu’ al-ibadah), bab kedua tentang
adat istiadat (rubu’ al-adat), bab ketiga tentang hal-hal yang
mencelakakan (rubu’ al-muhlikat), dan bab keempat tentang maqamat serta
ahwal (rubu’ al-munjiyat).[33]
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah
pembersihan diri dan embeningan hati secara terus-menerus, sehingga mampu
mencapai musyahadah (tahapan tertinggi kaum sufi setelah menjalankan suluk).
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa serta penempaan moral
atau akhlak yang terpuji, baik disisi manusia maupun Tuhan.[34]
B.
Ibn ‘Athaillah As-Sakandari
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Atha’illah
as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal
di Kairo pada 1309 M. julukan al-Iskandari atau as-Sakandari dari merujuk kota kelahirannya.[35]
Sedari kecil, Ibn ‘Athaillah
dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap.
Gurunya yang paling dekat adalah Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Ali al-Anshari
al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat al-Syadzili.[36]
Dalam bidang fikih, ia menganut dan menguasai madzhab Maliki,
sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syadzili.[37]
Ibn ‘Atha’illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20
karya yang pernah dihasilkannya, meliputi bidang tasawuf, tafsir, hadits,
akidah, nahwu dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya yang paling terkenal
adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opus-nya.
Kitab ini sudah beberapa kali di syarah, antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim
Ibn ‘Ibad ar-Rundi, Syeikh Ahmad Zarruq dan Ahmad ibn Ajiba.[38]
Beberapa kitab lain yang ia tulis adalah al-Tanwir fi Isqath
al-Tadbir, ‘Unwaan al-Taufiq fi ‘adab al-Thariq, Miftah al-Falah, dan Al-Qaul
al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan
terhadap pendapat-pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai persoalan
tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya
beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun.
Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme, sementara
Ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu
salah, karena mereka juga ketat dalam urusan syariat.[39]
Ibn ‘Athaillah dikenal selaku sosok yang dikagumi dan bersih. Ia
menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan, menjadi
teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.[40]
Ia dikenal sebagai ‘master’ atau syekh ketiga dalam lingkungan
tarekat Syadzili, setelah sang pendirinya Abu al-Hassan asy-Syadzili dan
penerusnya, Abu al-Abbas al-Mursi. Dan Ibn ‘Athaillah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga
khasanah tarekat Syadziliyah tetap terpelihara.[41]
Masuknya syaikh Ibnu ‘Athaillah ke dunia Tasawuf dijelaskan di
dalam kitab Thabaqat asy-Syadziliyah. Suatu ketika syaikh Ibnu ‘Athaillah
mempunyai konflik dengan salah seorang murid syaikh Abul Abbas al-Mursi. Pada
saat itu syaikh Ibnu ‘Athaillah sudah menjadi ulama besar madzhab Maliki, tapi
belum masuk dunia thariqat/tasawuf. Pada waktu itu beliau mengingkari
praktek-praktek tasawuf Abul Abbas al-Mursi yang dipraktekkan oleh
murid-muridnya. Murid syaikh Abul Abbas al-Mursi terpojok, tidak bisa menjawab
pertanyaan Ibnu ‘Athaillah. Murid tersebut berkata, “Anda tidak perlu mencela
saya. Saya hanya seorang murid. Saya punya guru. Lebih baik kapan-kapan Anda
mengikuti pengajian guru saya.” Syaikh Ibnu ‘Athaillah merenung, “Baiklah kalau
begitu, daripada aku berbantah-bantahan tentang perkara yang aku sendiri belum
tahu kebenarannya. Aku ini orang berilmu kok membicarakan perkara yang belum
jelas. Aku akan memperjelas persolan (tabayun). Aku akan mengikuti
pengajiannya. Kalau apa yang dikatakan syaikh itu benar, pasti Allah swt. akan
memunculkan tanda-tanda kebenaran.”[42]
Akhirnya Ibnu ‘Athaillah
mengikuti pengajian syaikh Abul Abbas al-Mursi. Saat itu syaikh Abul Abbas
al-Mursi sedang menerangkan tentang tingkatan pesulukan. Syaikh Abul Abbas
al-Mursi menerangkan panjang lebar hingga sulit dipahami oleh orang awam. Di
antara penjelasannya, syaikh Abul Abbas al-Mursi menerangkan tentang ‘kedirian’
seseorang, derajat-derajat suluk kepada Allah swt., pengalaman-pengalaman yang
dilakukan oleh orang-orang suluk, tingkat kedekatan orang suluk kepada Allah,
dan macam-macam orang suluk. Beliau berkata, “Yang pertama Islam. Itu adalah
derajat tunduk kepada Allah. Kemudian ta’at, dan menjalankan syariat. Yang
kedua, Iman. Yaitu maqam ma’rifat, mengenal hakikat syara’ dengan mengerti
keharusan-keharusan hamba. Yang ketiga, Ihsan. Yaitu suasana orang membuktikan
kehadiran Allah swt. di dalam hatinya.[43]
Perkembangan pemikiran Ibnu ‘Athaillah dapat diketahui dari karya
tulisnya al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Athaillah
pada khusunya dalam paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain,
seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu ‘Athaillah bukan sekedar
bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi diseimbangi dengan
unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syariat, thariqah dan
hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya
tulis dan warisan spiritualnya dan selain ia seorang ahli hukum yang bermadzhab
Maliki juga sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi sebagai
mursyid dalam tarekat Syadziliyah.[44]
Corak pemikiran Ibnu ‘Athaillah dalam bidang tasawuf sangat berbeda
dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Selain itu juga bahwa Ibnu ‘Athaillah merupakan guru ketiga dari thariqah Syadziliyah,
maka ia memiliki pandangan tasawuf khususnya tentang ma’rifat berdasarkan
pandangan tarekat Syadziliyah.[45]
Adapun
pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak
dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam
hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam
kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal
rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya
rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah swt. dengan
sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.[46]
Kedua, tidak mengabaikan
dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh
jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang
berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah, mengarah kepada asketisme,
pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral
(akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.[47]
Ketiga, zuhud tidak
berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan
hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang
melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku
syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak
kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-lab) dan senda gurau (al-lahw)
yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.[48]
Keempat, tidak ada
halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya
tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta
kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba
dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika
berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus
memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan
martabatnya.[49]
Kelima, berusaha
merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjebatani antara
kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan
urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Abu Hasan
al-Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping
berupaya mencari langit, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi
ini. Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari
hasil kontemplasi.[50]
Keenam, tasawuf adalah
latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan
ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan
akhlak Allah swt., senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa
nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara
sunguh-sungguh.[51]
Ketujuh, dalam
kaitannya dengan ma’rifat, al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah
satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan :
1). Mawahib atau ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan)
yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilih sendiri orang-orang yang
akan diberi anugerah tersebut.
2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan
dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah
al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa, shalat sunnah dan amal shalih
lainnya.[52]
Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Athaillah ini akan
berangkat dari teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta
tulisan-tulisan Ibnu ‘Athaillah dalam kitab al-Hikam.[53]
Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab al-Hikam meletakkan transendental
mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini dapat dipahami
pemikiran Ibnu ‘Athaillah dari penglaman puncak (Fick eksperience).[54]
Ibnu ‘Athaillah telah memahami ajaran konsep tasawuf yang banyak
mengandung dari ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas
menjadi lima bagian yaitu :
·
Secara
lahir dan batin melakukan taqwa kepada Allah swt.
·
Berkata dan berbuat sesuai dengan As- Sunnah.
·
Dalam
penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk.
·
Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha
kepada Allah swt.
·
Baik
dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah swt.[55]
BAB III
KESIMPULAN
Imam al-Ghazali merupakan seorang
ilmuan Islam, yang sedari kecil menyelami berbagai macam ilmu pengetahuan.
Beliau terkenal dengan argument-argumen yang tidak terbantahkan oleh ulama
lain. Karena kecerdasan intelektualnya ini, Nidzam al-Mulk menugaskan
al-Ghazali untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah cabang Baghdad. Pekerjaan ini
pada zamannya diincar dan didambakan oleh banyak ulama, sehingga mereka
berlomba-lomba mencapainya. Nidzam al-Mulk menugaskan al-Ghazali untuk mengajar
di Madrasah Nidzamiyah cabang Baghdad. Pekerjaan ini pada zamannya diincar dan
didambakan oleh banyak ulama, sehingga mereka berlomba-lomba mencapainya.
Suatu ketika, beliau merasakan
kesangsian terhadap ma’rifah. Yang menyebabkan beliau sakit selama enam bulan
dan membuat beliau memutuskan untuk meninggalkan semua yang dimilikinya.
Mulai tahun 488 H/1095 M, beliau
pindah ke Damaskus. Di Masjid Umawi, ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak
menara sebelah barat sepanjang hari, dengan hanya sedikit makan dan minum. Ia
lalu memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah, secara
terus-menerus. Ia menjalankan gaya hidup seperti itu selama dua tahun di
Damaskus.
Karya al-Ghazali sekitar 300 buah,
dan karya terbesarnya adalah Ihya’ Ulumiddin yang membahas mengenai ilmu
tasawuf.
Sedangkan Ibnu ‘Athaillah juga
terkenal sebagai sosok ilmuan Islam. Beliau dikenal sebagai sosok yang dikagumi
dalam segi keilmuannya.
Masuknya beliau ke jalan tasawuf,
berawal dari mengikuti pengajian yang di adakan oleh syaikh Abul Abbas al-Mursi.
Akhirnya beliau menjadi mursyid tarekat Syadziliyah melanjutkan perjuangan Abul
Abbas al-Mursi.
Dari banyaknya karya beliau, kitab
al-Hikam merupakan karya terbesarnya yang mengandung pembahasan mengenai
tasawuf.
Dua ulama diatas, sama-sama ahli
tasawuf yang fenomenal. Meskipun jalan menuju tasawuf berbeda, namun terdapat
kesamaan corak piker diantara keduanya.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2010.
‘Atho’illah
as-Sakandari, Syaikh Ibn, al-hikam, Jakarta : Khatulistiwa Press, 2013.
al-Ghazali, Imam, Minhajul Abidin, Jakarta : KHATULISTIWA
Press, 2013.
Fattah Sayyid
Ahmad, Abdul, tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta :
KHALIFA, 2005.
Munir Amin, Samsul, Ilmu Tasawuf, Jakarta : AMZAH, 2014.
Nachrowi, Asrifin, Lima Imam Agung, Surabaya : JAWARA, 2005.
Nasution, Hasyimiyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Nur, www. Tasawuf Ibn ‘Athaillah Manusia dan Tuhan. Html.,
diposting pada 4 maret 2015
Pramono, Teguh,
100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa, Yogyakarta : DIVA Press, 2012.
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Jakarta : Bina Aksara,
1983.
Pengajian KH. Imran Jamil, www. Hakikat Tasawuf dan Selintas
tentang Ibnu ‘Athaillah. ngeBlog juga ibadah. Html. Diposting pada 23
Januari 2014
Sirajuddin, Flisafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta
: Rajawali Pers, 2014.
kok footnotenya nggak ada keterangannya ya???
BalasHapus