Jumat, 23 Januari 2015

perbedaan madzhab

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi perbedaan madzhab
Perbedaan dalam bahasa arab adalah ikhtilaf, secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang memiliki arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang mempunyai makna persetujuan.
Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang menempuh metode atau pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhtilaf adalah seseorang mengambil sebuah cara yang berbeda dengan cara pertama. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah seorang alim yang berpendapat berbeda dengan yang lain.[1]
Definisi-definisi tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud (terpuji) dan madzmum (tercela) maupun jidal (perdebatan sengit yang hanya didorong hawa nafsu belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di atas yang dianggap lebih shahih adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah ketika seorang alim berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari kebenaran. Dalam definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan ikhtilaf nya orang bodoh lantaran ikhtilaf nya tidak dianggap sebagai ikhtilaf syar’i. Sementara batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan pendapat yang hanya didasari hawa nafsu belaka.
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan tidak menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan di antara dua orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan. Meskipun secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf memiliki perbedaan, tetapi secara substansi artikulasi, keduanya memiliki kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy Tunkara, lebih suka menggunakan term khilaf, namun  makna yang dikehendaki tetap memiliki kesamaan.[2] Demikian juga Yasin Husain Barhami, ia lebih tertarik menggunakan term khilaf.[3] Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”, sekilas Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam  penggunaan istilah. Dalam satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi dalam sub bab yang lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi inkonsistensi term ini berpijak dari anggapannya yang tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf. Ahmad Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan antara khilaf dan ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan faham.[4] Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”, menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf  yang mempunyai makna perbedaan ucapan. pendapat, keadaan maupun sikap.[5] Dengan demikian secara isti’mal, mayoritas fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf . Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara makna. Dalam kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap wajar.
Namun demikian, sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Dalam “Fath al-Qadir”, “Ad-Durr al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn ‘Abidin” disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf. Ketika perbedaan pendapat tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka perbedaan semacam ini disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan pendapat tersebut masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut sebagai ikhtilaf. Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga membedakan kedua term tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika terdapat pendapat yang marjuh (lemah) berhadapan dengan pendapat yang rajih (kuat), namun  bila dalam perbedaan pendapat itu tidak ditemukan pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah satu pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.[6]
Sedangkan madzhab, secara etimologi, berarti pendapat  (view, opinion, ra’yi), kepercayaan, ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, aliran, paham (doctrine, teaching, school, at-ta’lim wa at-thariqah). Wujud hukum Islam bermula dari pendapat individu terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap suatu kejadian yang ada. Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu, kemudian diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya, diikuti orang lain, kemudian menjadi baku.[7]
B.     FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERBEDAAN MADZHAB
Sebagaimana yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas, bahwa perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya dan tak bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur bagi terciptanya perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.       Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama munculnya berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman, sehingga mau tidak mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.
2.      Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama / ikut serta ). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).[8]
3.       Adanya perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum pasti mengandung apa yang disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal penetapan maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing akibat perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang melingkupi. Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam penetapan maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua  pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat mempengaruhi perbedaan pendapat.
4.      Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan kemutlakannya. 
5.      Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
Sebagian besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas.[9] Tetapi pada kenyataannya masih ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah satu sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut madzhab Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan maksud Tuhan dengan hanya berdasar praduga.[10] Pada kasus yang lain, didapati bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada madzhab Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam masalah ini adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini). Mereka menjadikan istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang telah disepakati. Bahkan, sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan qiyas khafiy atas qiyas jaliy.[11] Sementara itu, imam Syafi’i dikenal sebagai ulama madzhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun tak segan-segan melontarkan adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan sumber hukum seperti inilah yang pada gilirannya memicu perbedaan formulasi hukum yang dihasilkan. 
6.      Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadits yang menurut sebagian ulama dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dhaif yang terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan hukum. Problem seperti ini juga pada  akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.
7.      Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
Munculnya sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad para ulama. Sementara, mustahil untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam satu suara. Masing-masing ulama memiliki cara dan metode tersendiri dalam menciptakan sebuah kaidah. Terkadang sebagian ulama memproklamirkan sebuah kaidah tertentu, namun ulama lain menentangnya sebagaimana yang terjadi pada kaidah ushul “Ma la yatimmu al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu, maka pekerjaan itu menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan Syafi’iyah dalam menetapkan suatu hukum. Wudhu’ misalnya, hukum asal wudhu’ sebenarnya adalah mubah, tetapi di satu sisi wudhu’’ merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudhu’’ menjadi ikut wajib. Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat nash yang menyinggung permasalahan wudhu’. Akan tetapi ketika kaidah tersebut dibenturkan dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang bersifat mutlak, tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama yang tidak menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian kepala demi kesempurnaan membasuh wajah dalam wudhu’.
8.       Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu
Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya perbedaan pendapat adalah akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan imam-imam madzhab.[12] Sering dijumpai perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama pengikut madzhab meski sama-sama berafiliasi dalam satu madzhab. Imam Nawawi, salah seorang ulama pengikut madzhab Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal ternyata memiliki pandangan dengan imam Nawawi yang notabene adalah pengikut madzhab Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan seperti itu akan juga banyak ditemukan dalam madzhab-madzhab yang lain.









BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan madzhab adalah perbedaan pendapat yang terjadi diantara imam – imam mujtahid sehingga menjadi patokan bagi para pengikutnya.
Faktor yang melatar belakangi perbedaan madzhab, diantaranya:
1.      Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
2.      Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
3.      Adanya perbedaan penetapan maslahah
4.      Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
5.      Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
6.      Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
7.      Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
8.      Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar