BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi perbedaan madzhab
Perbedaan dalam bahasa arab adalah ikhtilaf, secara
etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang
memiliki arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil
tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan
hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya adalah
ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak
adanya persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa
Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak
sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang
mempunyai makna persetujuan.
Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang
menempuh metode atau pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang
mengatakan bahwa ikhtilaf adalah seseorang mengambil sebuah cara yang
berbeda dengan cara pertama. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf
adalah seorang alim yang berpendapat berbeda dengan yang lain.[1]
Definisi-definisi tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud
(terpuji) dan madzmum (tercela) maupun jidal (perdebatan sengit
yang hanya didorong hawa nafsu belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di
atas yang dianggap lebih shahih adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf
adalah ketika seorang alim berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari
kebenaran. Dalam definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan ikhtilaf
nya orang bodoh lantaran ikhtilaf nya tidak dianggap sebagai ikhtilaf
syar’i. Sementara batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan
pendapat yang hanya didasari hawa nafsu belaka.
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf
dengan tidak menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau
pertentangan di antara dua orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan
kebathilan. Meskipun secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf
memiliki perbedaan, tetapi secara substansi artikulasi, keduanya memiliki
kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana
dikutip Bakariy Tunkara, lebih suka menggunakan term khilaf, namun makna yang dikehendaki tetap memiliki
kesamaan.[2] Demikian juga Yasin Husain
Barhami, ia lebih tertarik menggunakan term khilaf.[3] Dalam karyanya yang
berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”, sekilas Syekh Yasin tampak
tidak konsisten dalam penggunaan
istilah. Dalam satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi
dalam sub bab yang lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi inkonsistensi
term ini berpijak dari anggapannya yang tidak membedakan antara term khilaf
dan ikhtilaf. Ahmad Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan
antara khilaf dan ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat
atau perselisihan faham.[4] Demikian juga Thaha Jabir
Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”, menganggap sama antara khilaf
dan ikhtilaf yang mempunyai
makna perbedaan ucapan. pendapat, keadaan maupun sikap.[5] Dengan demikian secara
isti’mal, mayoritas fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf
. Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara
makna. Dalam kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap
wajar.
Namun demikian, sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Dalam
“Fath al-Qadir”, “Ad-Durr al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn
‘Abidin” disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf.
Ketika perbedaan pendapat tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka
perbedaan semacam ini disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan
pendapat tersebut masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut sebagai ikhtilaf.
Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga membedakan kedua term
tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika terdapat pendapat yang marjuh
(lemah) berhadapan dengan pendapat yang rajih (kuat), namun bila dalam perbedaan pendapat itu tidak
ditemukan pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut
sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah
satu pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap
sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.[6]
Sedangkan madzhab, secara etimologi, berarti pendapat (view, opinion, ra’yi), kepercayaan,
ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, aliran, paham
(doctrine, teaching, school, at-ta’lim wa at-thariqah). Wujud hukum
Islam bermula dari pendapat individu terhadap pemahaman nash atau pendapat
perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap suatu kejadian yang ada.
Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu, kemudian
diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat
perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu
seterusnya, diikuti orang lain, kemudian menjadi baku.[7]
B.
FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERBEDAAN MADZHAB
Sebagaimana yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah
di atas, bahwa perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang
niscaya dan tak bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur
bagi terciptanya perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.
Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan
watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama munculnya berbagai macam
perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan manusia
berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman, sehingga mau tidak mau dan
disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan yang berbeda dalam
menyikapi segala sesuatu.
2.
Adanya
pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting
bagi mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber
primer syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam
hal pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah,
kata-kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu
contohnya adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban
membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada
siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena
lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama
/ ikut serta ). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak
harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).[8]
3.
Adanya perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk
kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum pasti mengandung apa yang
disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal penetapan
maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing akibat
perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang melingkupi.
Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam penetapan
maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya
qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat
mempengaruhi perbedaan pendapat.
4.
Adanya
perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
Sebagian
besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini pada akhirnya
memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para mujtahid.
Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis
dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak
mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat
mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil lain,
tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan
kemutlakannya.
5.
Adanya
perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
Sebagian
besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4, yaitu
al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas.[9] Tetapi pada kenyataannya
masih ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah
satu sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut madzhab
Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa
pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan maksud
Tuhan dengan hanya berdasar praduga.[10] Pada kasus yang lain,
didapati bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna
metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada madzhab
Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-Mas’alah
Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam masalah ini
adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini). Mereka menjadikan
istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang telah
disepakati. Bahkan, sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan qiyas
khafiy atas qiyas jaliy.[11] Sementara itu, imam
Syafi’i dikenal sebagai ulama madzhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun
tak segan-segan melontarkan adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa
yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan
sumber hukum seperti inilah yang pada gilirannya memicu perbedaan formulasi
hukum yang dihasilkan.
6.
Adanya
perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah
merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah
al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya kemudian adalah tak
semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah sunnah Nabi. Tak jarang
dijumpai sebuah hadits yang menurut sebagian ulama dianggap sebagai hadis
shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu sisi ada juga ulama
lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dhaif yang terdapat cacat
sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan hukum. Problem
seperti ini juga pada akhirnya
berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.
7.
Adanya
perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
Munculnya
sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad para ulama. Sementara, mustahil
untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam satu suara. Masing-masing ulama
memiliki cara dan metode tersendiri dalam menciptakan sebuah kaidah. Terkadang
sebagian ulama memproklamirkan sebuah kaidah tertentu, namun ulama lain
menentangnya sebagaimana yang terjadi pada kaidah ushul “Ma la yatimmu
al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah kewajiban yang tidak bisa
sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu, maka pekerjaan itu
menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan Syafi’iyah dalam
menetapkan suatu hukum. Wudhu’ misalnya, hukum asal wudhu’ sebenarnya adalah
mubah, tetapi di satu sisi wudhu’’ merupakan salah satu syarat untuk
melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudhu’’ menjadi ikut
wajib. Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat
nash yang menyinggung permasalahan wudhu’. Akan tetapi ketika kaidah tersebut
dibenturkan dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang bersifat
mutlak, tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama yang
tidak menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian kepala
demi kesempurnaan membasuh wajah dalam wudhu’.
8.
Adanya perbedaan pemahaman terhadap
pendapat-pendapat ulama terdahulu
Tak
dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya perbedaan pendapat adalah
akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan imam-imam madzhab.[12] Sering dijumpai
perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama pengikut madzhab meski sama-sama
berafiliasi dalam satu madzhab. Imam Nawawi, salah seorang ulama pengikut madzhab
Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal ternyata memiliki pandangan dengan imam
Nawawi yang notabene adalah pengikut madzhab Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan
seperti itu akan juga banyak ditemukan dalam madzhab-madzhab yang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan madzhab adalah perbedaan pendapat yang terjadi diantara
imam – imam mujtahid sehingga menjadi patokan bagi para pengikutnya.
Faktor yang melatar belakangi perbedaan madzhab, diantaranya:
1.
Adanya
perbedaan watak dan karakter manusia
2.
Adanya
pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
3.
Adanya
perbedaan penetapan maslahah
4.
Adanya
perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
5.
Adanya
perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
6.
Adanya
perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
7.
Adanya
perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
8.
Adanya
perbedaan pemahaman terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar