Jumat, 23 Januari 2015

diadaptasi dari kisah nyata (MUTTER)


kembali jemariku mulai menari, setelah sekian lama bungkam tak ada inspirasi. Entah, apa yang membuatnya kembali bersemangat menekan huruf – huruf diatas keyboard, mungkin karena otakku asik bernostalgia masa – masa bersama ibu. Iya, ibu. Seorang wanita yang paling aku cintai selama hidupku.
“ mananya yang sakit? “ Tanya ibu suatu ketika
“ sakit semua, bu.”
Hem, kejadian itu tepat tengah malam, disaat semua orang seharusnya menyulam mimpi, aku malah sibuk merengek kesakitan. Herannya, tak ada suara yang keluar dari bibirku. Namun, entah mengapa tanpa diminta ibu mendatangi kamarku. Mengusap dahiku yang bercucuran keringat tiada henti. Inikah yang dinamakan ikatan batin antara anak dan ibu?
***
Benar apa kata orang, ibu akan melakukan apapun demi membahagiakan anaknya. Begitu pula ibuku. Melihat teman – teman seusiaku yang saat itu memiliki boneka – boneka cantik, ibu bergegas membuatkanku boneka berbentuk doraemon dari kain – kain bekas. Padahal aku tak pernah memintanya. Toh, aku juga tak begitu suka memainkan boneka layaknya teman – teman. Aku lebih suka main masak – masakan dari daun – daunan dan membuat kue berbahan dasar batu bata. J
“ bu, ini dibawa semua?” tanyaku sembari menghitung jumlah jelly yang siap dijual.
“ kalau kamu bisa, bawa semua juga nggak papa, tapi kalau nggak bisa separuh aja.”
Aku bangga membantu ibu berjualan jelly disekolah ketika waktu istirahat tiba. Tapi, bukan berarti ibuku penjual jelly lho, ibuku adalah ibu rumah tangga yang baik bahkan sangat baik. Mengurusi rumah dan mendidik anak – anaknya dengan penuh kasih sayang. Meskipun tak dapat terelakkan jika sesekali ibu akan ngomel melihat anaknya nakal. Dulu aku merasa ibu jahat ketika memarahiku, tapi sekarang aku sadar bahwa apa yang dilakukan ibu adalah yang terbaik buat anak – anaknya. Meskipun kata para psikologi tak baik memarahi anak. Setelah aku angan – angan ibu marah karena efek letih. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur lagi tak pernah berhenti bekerja. Dan pekerjaan itu selalu dilakukannya dari hari ke hari. Pasti sangat jenuh.
Kembali ke pekerjaan ibuku, beliau seorang yang multi talent menurutku. Kenapa? Selain disibukkan oleh urusan rumah tangga, ibu juga menjaga toko sembako hadiah dari bapak guna menghilangkan kejenuhan dikala suaminya pergi bekerja dan anak – anaknya menuntut ilmu. Iya, sekaligus untuk menambah kas keluarga, secara bapak hanya seorang PNS dengan gaji seadanya ditambah potongan – potongan gaji yang beragam. Mana cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga? Baru sekaranglah seorang PNS mendapat tunjangan berbagai macam. Alhamdulillah, tapi toh itu juga belum cukup jika hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari yang seabrek dan biaya pendidikan yang semakin meninggi. Ibuku juga seorang pengrajin batik yang hebat menurutku lagi, buktinya banyak orang yang memuji hasil goresan tangan beliau. Selain itu, ibu juga terkadang menerima pesanan berbagai macam makanan, meskipun tak banyak.
***
Keadaan ibu tidak sehat selama beberapa hari disuatu bulan ramadhan. Dan aku menjadi orang yang secara otomatis menggantikan semua pekerjaan ibu. Membersihkan rumah, masak untuk persiapan buka puasa dan menjaga toko wanti – wanti khawatir ada pembeli. Namun, apa yang dilakukan adikku? Semua mainannya diberantakkan keseluruh ruang tamu. Walhasil, tanpa dikomando deretan kata dengan nada tinggi keluar dari mulutku mnegomentari kelakuannya. Tiba – tiba terdengar suara ibu.
“ kamu baru hari ini nak, sedangkan ibu setiap hari juga kayak gini.” Suara ibu terdengar dari dalam kamar.
“ adik lho buk, semuanya diberantakin.” Kataku berhambur ke pelukan ibu dengan wajah tersungut – sungut.
“ katanya udah punya calon, kok belum siap jadi kayak ibu?” ledek ibu
“ maksudnya?”
“ pernikahan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.”
Malu rasanya mendengar perkataan ibu. Usiaku saat ini melebihi usia ibu saat menikah. Tapi, kesabaran ibu dalam menjalani kehidupan belum ada barang sedikitpun dalam diriku.
***
“ ibunya ada? “ Tanya seorang pembeli
“ lagi shalat, mau nunggu?” tanyaku balik
Sebenarnya aku tahu ibu sudah selesai sedari tadi mengerjakan shalat, namun sekarang ibu sedang membaca al Qur’an. Dan aku tak enak hati mengganggu ibu disaat seperti ini. Membaca al Qur’an merupakan keistiqamahan ibu seusai shalat.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar apa yang diungkapkan oleh guru bahasa Indonesiaku dulu. Bahwa setiap kelakuan orang tua akan diikuti oleh anaknya. Kebiasaan ibu membaca al Qur’an setelah shalat, tak pernah kehilangan dhuha, dan bermunajat dikeheningan malam menjadi motivasi tersendiri bagiku, apalagi statusku sebagai seorang santri.  Sudah sangat wajarlah jika ibadah – ibadah sunnah itu aku lakukan melengkapi ibadah wajibku kepada penciptaku.
***
Menangis adalah pelipur lara, namun tangisan hanya sekedar pereda. Sesak rasanya jika masalah yang dihadapi tak kunjung usai. Disudutkan oleh banyak pihak, dijaduhkan dengan berbagai argumen. Disaat seperti ini setiap orang selalu membutuhkan tempat untuk bersandar. Dan tempat bersandarku adalah ibu.
Aku adalah orang yang sangat terbuka terhadap ibu, apapun yang aku alami ibu pasti menjadi orang pertama yang tahu. Seberat apapun masalahku, ibu selalu ada untukku. Ah, ibu benar – benar malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Tuhan untuk melidungi anak – anaknya. J
Percayalah, seperti apapun situasi dan kondisi kita orang yang akan menerima apa adanya dan benar – benar penuh ketulusan hanyalah ibu.
Ah, ibu aku sangat merindukanmu. Berada dalam pelukanmu merupakan obat terampuh membasuh luka yang kian menyanyat hati. Rindukah kau padaku? Peri kecilmu yang namanya selalu kau rapal dalam doa saat bermunajat dikeheningan malam.
For my mother
Love you mom :*
***
Iseng – iseng aku posting tulisanku ini, diberbagai jejaring sosial yang aku miliki. Sekedar berbagi perasaan tentang kebahagiaan memiliki seorang ibu. Kadang berkhayal, ibu memiliki jejaring sosial juga, kira – kira bagaimana respon ibu menanggapi tulisanku? Ah, lagi – lagi rindu ini tak kunjung reda, sebaliknya kian menggebu. Beradu padu dengan waktu, berharap sang pemilik jiwa mengizinkan waktu mempertemukan aku dengan wanita terhebat dalam hidupku. Ibu.
Lelah mata menatap layar monitor, tugas kuliah yang menggunung tak kunjung kusentuh. Padahal semuanya harus selesai dalam waktu dekat. Seandainya ada ibu disini, mungkin akan membantuku menghilangkan kejenuhan dengan membuatkanku berbagai macam masakan.
Plung!
Memang sudah berapa lama kamu nggak ketemu sama ibu? Sama dengan akukah? Mengapa kamu bisa berada jauh dari ibu?
Satu komentar mengejutkanku. Sekilas aku membacanya, kualihkan pandanganku ke pergelangan tangan. Menatap lekat – lekat jam yang terletak disana. Sudah menunjukkan jam dua dini hari. Segera kutinggalkan computer yang masih menyala. Malam ini aku ingin mengadukan perihal rinduku kepada penguasa alam.
***
“ mbak, bisa minta tolong antarkan ibu ini ke bagian keuangan? ”
“ injih” kataku mengiyakan
“ lewat sini, bu”
“ iya, makasih “
Dalam perjalanan yang tak jauh itu hening sementara, aku bingung mencari cara mencairkan suasana. Namun, tanpa diminta si ibu membuka suara alasan dia ingin bertemu dengan bagian keuangan. Meskipun aku bisa menerka masalah apakah yang harus diselesaikan.
“ saya itu nggak niat mbak, terlambat bayar spp. Lah, wong setiap kali saya ada rezeki buat bayar uang bulanan anak saya yang dipondok ini, uang itu habis duluan sebelum saya sempat kesini.” Kutatap wajah ibu itu yang kini melangkah dengan menundukkan kepala.
“ pasti ada keperluan yang mendesak ya bu dirumah, jadi uangnya dibuat keperluan itu?” timpalku mencoba mencari akar masalah.
“ bukan mbak, tapi diambil sama tiga anak laki – laki saya yang ada dirumah. Mereka rebutan kalau ada uang. Saya datang jualan, kadang dihadang diambil paksa uang yang saya dapat, kadang diambil dari dompet saya tanpa sepengatuan saya. Nggak tahulah mbak, sekarang mereka lagi nakal – nakalnya.” Dengan panjang lebar si ibu menjelaskan keadaan keluarganya.
Belum sempat aku bertanya, si ibu seakan tahu apa yang ada dipikiranku “ suami saya sudah meninggal mbak, saya membiayai anak – anak sendiri.” Ujarnya menambahi keterangan yang sekali lagi tak pernah kuminta itu, samar – samar kulihat diujung matanya ada embun yang tertahan.
Batinku beristighfar, kukira kisah semacam ini hanya ada di sinetron yang biasa ditayangkan televisi. Ternyata tak dapat dipungkiri dalam kehidupan nyata pun kisah ini ada. Kupersilahkan si ibu memasuki kantor bagian keuangan dan akhirnya aku izin undur diri sekedar mengantarnya sampai diambang pintu.
***
Aku harus menyelesaikan berbagai macam tugasku, deadline yang tampak jelas di depan mata kian menghantui. Tampak sebuah e-mail baru kiriman dari seseorang yang tak kukenali. Setelah ku kirim tugasku melalui e-mail, tergoda untuk kubaca e-mail yang tak kukenali itu.
Assalamu’alaikum.
Mungkin kamu nggak bakalan kenal siapa aku, tapi yang pasti aku pembaca setia setiap goresan penamu yang sengaja engkau tampilkan di blogmu. Tak perlu kuperkenalkan nama, karena kita sangat kecil kemungkinan bisa bertemu. Namun, kuberharap kau bisa menjadi sahabat penaku. Entah mengapa aku kurang setuju dengan tulisanmu kali ini, tentang ibu? Sangat sempurnakah ibumu dalam kehidupan ini? Malaikat tanpa sayap? Maaf, aku sangat tak sependapat. Ya, mungkin alasan paling jelas adalah karena aku tak pernah memiliki kenangan indah dengan ibuku, sangat bertolak belakang dengan kisahmu. Aku tak mengenal ibuku, aku tak pernah tahu seperti apa wajah yang telah melahirkanku namun membuangku itu. Mungkin ini terkesan mendramatisir keadaan namun inilah kisahku, senja. Senja? Maaf aku memanggilmu senja, karena aku tak mengenali identitasmu sebenarnya, yang kutahu hanya satu hal yaitu nama blogmu adalah “sepasang senja”
Ingatkah kau ada sebuah komentar dibawah catatanmu? Itu aku. Entah sengaja tak kau gubris atau memang kau belum mengetahuinya. Kau hidup berjarak dengan ibumu, namun kau pasti bisa mengunjunginya. Sedangkan aku? Tak pernah kukenali wajahnya, sehingga bukan rasa rindu yang tertanam dalam diriku melainkan kebencian yang kian membumbung setiap kali hari berganti. Aku gadis yang tak jelas asal usulnya, ya bisa dikatakan seperti itu. Dan aku bisa hidup karena belas kasih sebuah keluarga sederhana. Awalnya, kukira memang keluargaku sesungguhnya, tak lama ini baru terungkap, bahwa keluargaku bukan keluargaku. Seharusnya seminggu lagi aku menikah, memiliki keluarga baru dan hidup bahagia. Namun, itu khayalanku dulu, sebelum semuanya berakhir karena identitasku terbongkar. Aku anak angkat dalam keluarga ini, dimana ayahku tak dapat menjadi wali dalam pernikahanku, pasti kau tahu apa alasannya senja? Bukankah kau seorang santri? Aku syok mengetahui hal ini, dan calon ibu mertuaku membatalkan pernikahanku karena, yak kau tahulah, orangtua manapun tak akan sanggup menerima menantu yang tak pernah diketahui bibit, bebet, bobotnya. Hal ini sangat manusiawi setelah kupikir panjang, meskipun aku sempat terpuruk namun aku harus bangkit melanjutkan skenario tuhan yang tertulis di lauhul mahfudz, sebagaimana jeritan bisumu dalam sebuah rangkaian kata yang kau ikat dulu, senja.
Wassalam.
***
Malam adalah kesunyian tanpa keraguan, waktu tertenang bagiku dari kebisingan di sekitar. Kemarin ibu menghubungiku, menanyakan kabarku dan seperti biasa setumpuk nasehat tertuju tanpa batas. Sekilas terkesan bawel, namun hal ini yang sangat aku rindukan. Merindukan perhatian ibu.
“ kok ngelamun?”
Sebuah suara menghentikan aktivitas melamunku. Khairiyah, gadis cantik blasteran Jawa Sulawesi sudah duduk manis di sampingku.
“ emang lagi mikirin apa?”
“ Cuma kangen ibu” jawabku sembari mengerlingkan mata
“ seharusnya bersyukur, masih bisa komunikasi sama ibunya”. Ucapnya lagi, namun kini matanya tak menatapku, pandangan itu entah kemana larinya. Yang ada hanyalah embun diujung mata yang tertahan. Tanpa dipandu ku genggam tangannya, berusaha ingin menyalurkan kekuatan, turut serta merasakan kesedihan yang dirasakannya. Mulutku bungkam, dan tak pernah tahu apa kata yang pantas untuk dilontarkan.
“ aku kangen mutter “. Suaranya kian parau
“mutter?” tanyaku tak paham
sembari menyeka airmatanya yang sudah jatuh beberapa butir dari tadi, bibirnya menyunggingkan senyuman.
“ aku kangen ibuku, ibu orang Sulawesi, dan ayahku orang Jawa. Awalnya, kehidupanku tampak sangat sempurna, memiliki kedua orangtua yang sangat menyayangiku, dan seorang kakak yang senantiasa melindungiku. Namun, semua itu tak bertahan lama. Orangtuaku resmi bercerai setelah aku menyelesaikan ujian akhir d sekolah tingkat pertama. Tanpa aku tahu alasan yang pasti apa yang menjadi penyebab keduanya. Ayah melarang aku dan kakak keluar rumah ketika mereka memenuhi panggilan pengadilan untuk meresmikan perceraian. Aku tak bisa apa- apa saat itu, yang bisa kulakukan hanyalah menangis dipelukan kakak” sejenak kulihat dia menarik nafas panjang hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kisahnya.
“ setelah perceraian itu, aku tak pernah lagi bertemu ibu. Ayah melarang kami untuk komunikasi dengan ibu, ayah takut kita akan pergi dari rumah dan lebih memilih ibu. Bulan – bulan terakhir ini, aku mencoba berbagai cara agar bisa menghubungi ibu. Dan tepat bulan lalu ketika ulant tahunku, aku mendapatkan nomor telephon ibu dari saudara ibu yang tinggal di Surabaya. Dari situ aku mengabari ibu, bahwa aku sekarang nyantri, suara bu terdengar menahan tangis, mungkin ibu terharu putrinya sekarang tinggal di pesantren. Dan aku juga akhirnya tahu disana ibu sudah memiliki keluarga baru. Aku punya adik tiri. Begitu pula dengan ayahku, tak lama setelah perceraian ayah menikahi seorang janda beranak satu. Jujur, aku lebih bahagia tinggal di pesantren, karena dengan begitu aku tidak akan bertemu dengan ibu dan saudara tiriku.” Kini wajahnya tertunduk lesu dan malam kian mengerti perasaannya.
“ apa yang kamu inginkan? ”
“ kakak sekarang kuliah sambil kerja, nanti ketika uang sudah cukup, kakak bakalan ngajak aku pergi ke Sulawesi. Pergi menemui mutter.” Dan kini kulihat matanya berbinar penuh harapan
To be continue




Tidak ada komentar:

Posting Komentar