kembali jemariku mulai menari,
setelah sekian lama bungkam tak ada inspirasi. Entah, apa yang membuatnya
kembali bersemangat menekan huruf – huruf diatas keyboard, mungkin karena otakku
asik bernostalgia masa – masa bersama ibu. Iya, ibu. Seorang wanita yang paling
aku cintai selama hidupku.
“ mananya yang sakit? “ Tanya ibu
suatu ketika
“ sakit semua, bu.”
Hem, kejadian itu tepat tengah
malam, disaat semua orang seharusnya menyulam mimpi, aku malah sibuk merengek
kesakitan. Herannya, tak ada suara yang keluar dari bibirku. Namun, entah
mengapa tanpa diminta ibu mendatangi kamarku. Mengusap dahiku yang bercucuran
keringat tiada henti. Inikah yang dinamakan ikatan batin antara anak dan ibu?
***
Benar apa kata orang, ibu akan
melakukan apapun demi membahagiakan anaknya. Begitu pula ibuku. Melihat teman –
teman seusiaku yang saat itu memiliki boneka – boneka cantik, ibu bergegas
membuatkanku boneka berbentuk doraemon dari kain – kain bekas. Padahal aku tak
pernah memintanya. Toh, aku juga tak begitu suka memainkan boneka layaknya
teman – teman. Aku lebih suka main masak – masakan dari daun – daunan dan
membuat kue berbahan dasar batu bata. J
“ bu, ini dibawa semua?” tanyaku
sembari menghitung jumlah jelly yang siap dijual.
“ kalau kamu bisa, bawa semua
juga nggak papa, tapi kalau nggak bisa separuh aja.”
Aku bangga membantu ibu berjualan
jelly disekolah ketika waktu istirahat tiba. Tapi, bukan berarti ibuku penjual
jelly lho, ibuku adalah ibu rumah tangga yang baik bahkan sangat baik.
Mengurusi rumah dan mendidik anak – anaknya dengan penuh kasih sayang. Meskipun
tak dapat terelakkan jika sesekali ibu akan ngomel melihat anaknya nakal. Dulu
aku merasa ibu jahat ketika memarahiku, tapi sekarang aku sadar bahwa apa yang
dilakukan ibu adalah yang terbaik buat anak – anaknya. Meskipun kata para
psikologi tak baik memarahi anak. Setelah aku angan – angan ibu marah karena
efek letih. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur lagi tak pernah berhenti
bekerja. Dan pekerjaan itu selalu dilakukannya dari hari ke hari. Pasti sangat
jenuh.
Kembali ke pekerjaan ibuku,
beliau seorang yang multi talent menurutku. Kenapa? Selain disibukkan oleh
urusan rumah tangga, ibu juga menjaga toko sembako hadiah dari bapak guna
menghilangkan kejenuhan dikala suaminya pergi bekerja dan anak – anaknya
menuntut ilmu. Iya, sekaligus untuk menambah kas keluarga, secara bapak hanya
seorang PNS dengan gaji seadanya ditambah potongan – potongan gaji yang
beragam. Mana cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga? Baru sekaranglah seorang
PNS mendapat tunjangan berbagai macam. Alhamdulillah, tapi toh itu juga belum
cukup jika hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari yang seabrek dan biaya
pendidikan yang semakin meninggi. Ibuku juga seorang pengrajin batik yang hebat
menurutku lagi, buktinya banyak orang yang memuji hasil goresan tangan beliau.
Selain itu, ibu juga terkadang menerima pesanan berbagai macam makanan,
meskipun tak banyak.
***
Keadaan ibu tidak sehat selama
beberapa hari disuatu bulan ramadhan. Dan aku menjadi orang yang secara
otomatis menggantikan semua pekerjaan ibu. Membersihkan rumah, masak untuk
persiapan buka puasa dan menjaga toko wanti – wanti khawatir ada pembeli.
Namun, apa yang dilakukan adikku? Semua mainannya diberantakkan keseluruh ruang
tamu. Walhasil, tanpa dikomando deretan kata dengan nada tinggi keluar dari mulutku
mnegomentari kelakuannya. Tiba – tiba terdengar suara ibu.
“ kamu baru hari ini nak,
sedangkan ibu setiap hari juga kayak gini.” Suara ibu terdengar dari dalam
kamar.
“ adik lho buk, semuanya
diberantakin.” Kataku berhambur ke pelukan ibu dengan wajah tersungut – sungut.
“ katanya udah punya calon, kok
belum siap jadi kayak ibu?” ledek ibu
“ maksudnya?”
“ pernikahan itu tak semudah
membalikkan telapak tangan.”
Malu rasanya mendengar perkataan
ibu. Usiaku saat ini melebihi usia ibu saat menikah. Tapi, kesabaran ibu dalam
menjalani kehidupan belum ada barang sedikitpun dalam diriku.
***
“ ibunya ada? “ Tanya seorang
pembeli
“ lagi shalat, mau nunggu?”
tanyaku balik
Sebenarnya aku tahu ibu sudah
selesai sedari tadi mengerjakan shalat, namun sekarang ibu sedang membaca al
Qur’an. Dan aku tak enak hati mengganggu ibu disaat seperti ini. Membaca al
Qur’an merupakan keistiqamahan ibu seusai shalat.
Buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya. Benar apa yang diungkapkan oleh guru bahasa Indonesiaku dulu. Bahwa
setiap kelakuan orang tua akan diikuti oleh anaknya. Kebiasaan ibu membaca al
Qur’an setelah shalat, tak pernah kehilangan dhuha, dan bermunajat dikeheningan
malam menjadi motivasi tersendiri bagiku, apalagi statusku sebagai seorang
santri. Sudah sangat wajarlah jika
ibadah – ibadah sunnah itu aku lakukan melengkapi ibadah wajibku kepada
penciptaku.
***
Menangis adalah pelipur lara,
namun tangisan hanya sekedar pereda. Sesak rasanya jika masalah yang dihadapi
tak kunjung usai. Disudutkan oleh banyak pihak, dijaduhkan dengan berbagai
argumen. Disaat seperti ini setiap orang selalu membutuhkan tempat untuk
bersandar. Dan tempat bersandarku adalah ibu.
Aku adalah orang yang sangat
terbuka terhadap ibu, apapun yang aku alami ibu pasti menjadi orang pertama
yang tahu. Seberat apapun masalahku, ibu selalu ada untukku. Ah, ibu benar –
benar malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Tuhan untuk melidungi anak –
anaknya. J
Percayalah, seperti apapun
situasi dan kondisi kita orang yang akan menerima apa adanya dan benar – benar
penuh ketulusan hanyalah ibu.
Ah, ibu aku sangat merindukanmu.
Berada dalam pelukanmu merupakan obat terampuh membasuh luka yang kian menyanyat
hati. Rindukah kau padaku? Peri kecilmu yang namanya selalu kau rapal dalam doa
saat bermunajat dikeheningan malam.
For my mother
Love you mom :*
***
Iseng – iseng aku posting
tulisanku ini, diberbagai jejaring sosial yang aku miliki. Sekedar berbagi
perasaan tentang kebahagiaan memiliki seorang ibu. Kadang berkhayal, ibu
memiliki jejaring sosial juga, kira – kira bagaimana respon ibu menanggapi
tulisanku? Ah, lagi – lagi rindu ini tak kunjung reda, sebaliknya kian
menggebu. Beradu padu dengan waktu, berharap sang pemilik jiwa mengizinkan
waktu mempertemukan aku dengan wanita terhebat dalam hidupku. Ibu.
Lelah mata menatap layar monitor,
tugas kuliah yang menggunung tak kunjung kusentuh. Padahal semuanya harus
selesai dalam waktu dekat. Seandainya ada ibu disini, mungkin akan membantuku
menghilangkan kejenuhan dengan membuatkanku berbagai macam masakan.
Plung!
Memang sudah berapa lama kamu
nggak ketemu sama ibu? Sama dengan akukah? Mengapa kamu bisa berada jauh dari
ibu?
Satu komentar mengejutkanku.
Sekilas aku membacanya, kualihkan pandanganku ke pergelangan tangan. Menatap
lekat – lekat jam yang terletak disana. Sudah menunjukkan jam dua dini hari.
Segera kutinggalkan computer yang masih menyala. Malam ini aku ingin mengadukan
perihal rinduku kepada penguasa alam.
***
“ mbak, bisa minta tolong
antarkan ibu ini ke bagian keuangan? ”
“ injih” kataku mengiyakan
“ lewat sini, bu”
“ iya, makasih “
Dalam perjalanan yang tak jauh
itu hening sementara, aku bingung mencari cara mencairkan suasana. Namun, tanpa
diminta si ibu membuka suara alasan dia ingin bertemu dengan bagian keuangan.
Meskipun aku bisa menerka masalah apakah yang harus diselesaikan.
“ saya itu nggak niat mbak,
terlambat bayar spp. Lah, wong setiap kali saya ada rezeki buat bayar
uang bulanan anak saya yang dipondok ini, uang itu habis duluan sebelum saya
sempat kesini.” Kutatap wajah ibu itu yang kini melangkah dengan menundukkan
kepala.
“ pasti ada keperluan yang
mendesak ya bu dirumah, jadi uangnya dibuat keperluan itu?” timpalku mencoba
mencari akar masalah.
“ bukan mbak, tapi diambil sama
tiga anak laki – laki saya yang ada dirumah. Mereka rebutan kalau ada uang.
Saya datang jualan, kadang dihadang diambil paksa uang yang saya dapat, kadang
diambil dari dompet saya tanpa sepengatuan saya. Nggak tahulah mbak, sekarang
mereka lagi nakal – nakalnya.” Dengan panjang lebar si ibu menjelaskan keadaan
keluarganya.
Belum sempat aku bertanya, si ibu
seakan tahu apa yang ada dipikiranku “ suami saya sudah meninggal mbak, saya
membiayai anak – anak sendiri.” Ujarnya menambahi keterangan yang sekali lagi
tak pernah kuminta itu, samar – samar kulihat diujung matanya ada embun yang
tertahan.
Batinku beristighfar, kukira
kisah semacam ini hanya ada di sinetron yang biasa ditayangkan televisi.
Ternyata tak dapat dipungkiri dalam kehidupan nyata pun kisah ini ada.
Kupersilahkan si ibu memasuki kantor bagian keuangan dan akhirnya aku izin
undur diri sekedar mengantarnya sampai diambang pintu.
***
Aku harus menyelesaikan berbagai
macam tugasku, deadline yang tampak jelas di depan mata kian menghantui. Tampak
sebuah e-mail baru kiriman dari seseorang yang tak kukenali. Setelah ku kirim
tugasku melalui e-mail, tergoda untuk kubaca e-mail yang tak kukenali itu.
Assalamu’alaikum.
Mungkin kamu nggak bakalan kenal
siapa aku, tapi yang pasti aku pembaca setia setiap goresan penamu yang sengaja
engkau tampilkan di blogmu. Tak perlu kuperkenalkan nama, karena kita sangat
kecil kemungkinan bisa bertemu. Namun, kuberharap kau bisa menjadi sahabat
penaku. Entah mengapa aku kurang setuju dengan tulisanmu kali ini, tentang ibu?
Sangat sempurnakah ibumu dalam kehidupan ini? Malaikat tanpa sayap? Maaf, aku
sangat tak sependapat. Ya, mungkin alasan paling jelas adalah karena aku tak
pernah memiliki kenangan indah dengan ibuku, sangat bertolak belakang dengan
kisahmu. Aku tak mengenal ibuku, aku tak pernah tahu seperti apa wajah yang
telah melahirkanku namun membuangku itu. Mungkin ini terkesan mendramatisir
keadaan namun inilah kisahku, senja. Senja? Maaf aku memanggilmu senja, karena
aku tak mengenali identitasmu sebenarnya, yang kutahu hanya satu hal yaitu nama
blogmu adalah “sepasang senja”
Ingatkah kau ada sebuah
komentar dibawah catatanmu? Itu aku. Entah sengaja tak kau gubris atau memang
kau belum mengetahuinya. Kau hidup berjarak dengan ibumu, namun kau pasti bisa
mengunjunginya. Sedangkan aku? Tak pernah kukenali wajahnya, sehingga bukan
rasa rindu yang tertanam dalam diriku melainkan kebencian yang kian membumbung
setiap kali hari berganti. Aku gadis yang tak jelas asal usulnya, ya bisa
dikatakan seperti itu. Dan aku bisa hidup karena belas kasih sebuah keluarga
sederhana. Awalnya, kukira memang keluargaku sesungguhnya, tak lama ini baru
terungkap, bahwa keluargaku bukan keluargaku. Seharusnya seminggu lagi aku menikah,
memiliki keluarga baru dan hidup bahagia. Namun, itu khayalanku dulu, sebelum
semuanya berakhir karena identitasku terbongkar. Aku anak angkat dalam keluarga
ini, dimana ayahku tak dapat menjadi wali dalam pernikahanku, pasti kau tahu
apa alasannya senja? Bukankah kau seorang santri? Aku syok mengetahui hal ini,
dan calon ibu mertuaku membatalkan pernikahanku karena, yak kau tahulah,
orangtua manapun tak akan sanggup menerima menantu yang tak pernah diketahui
bibit, bebet, bobotnya. Hal ini sangat manusiawi setelah kupikir panjang,
meskipun aku sempat terpuruk namun aku harus bangkit melanjutkan skenario tuhan
yang tertulis di lauhul mahfudz, sebagaimana jeritan bisumu dalam sebuah
rangkaian kata yang kau ikat dulu, senja.
Wassalam.
***
Malam adalah kesunyian tanpa
keraguan, waktu tertenang bagiku dari kebisingan di sekitar. Kemarin ibu
menghubungiku, menanyakan kabarku dan seperti biasa setumpuk nasehat tertuju
tanpa batas. Sekilas terkesan bawel, namun hal ini yang sangat aku rindukan.
Merindukan perhatian ibu.
“ kok ngelamun?”
Sebuah suara menghentikan
aktivitas melamunku. Khairiyah, gadis cantik blasteran Jawa Sulawesi sudah
duduk manis di sampingku.
“ emang lagi mikirin apa?”
“ Cuma kangen ibu” jawabku
sembari mengerlingkan mata
“ seharusnya bersyukur, masih
bisa komunikasi sama ibunya”. Ucapnya lagi, namun kini matanya tak menatapku,
pandangan itu entah kemana larinya. Yang ada hanyalah embun diujung mata yang
tertahan. Tanpa dipandu ku genggam tangannya, berusaha ingin menyalurkan
kekuatan, turut serta merasakan kesedihan yang dirasakannya. Mulutku bungkam,
dan tak pernah tahu apa kata yang pantas untuk dilontarkan.
“ aku kangen mutter “. Suaranya
kian parau
“mutter?” tanyaku tak paham
sembari menyeka airmatanya yang
sudah jatuh beberapa butir dari tadi, bibirnya menyunggingkan senyuman.
“ aku kangen ibuku, ibu orang
Sulawesi, dan ayahku orang Jawa. Awalnya, kehidupanku tampak sangat sempurna,
memiliki kedua orangtua yang sangat menyayangiku, dan seorang kakak yang
senantiasa melindungiku. Namun, semua itu tak bertahan lama. Orangtuaku resmi
bercerai setelah aku menyelesaikan ujian akhir d sekolah tingkat pertama. Tanpa
aku tahu alasan yang pasti apa yang menjadi penyebab keduanya. Ayah melarang
aku dan kakak keluar rumah ketika mereka memenuhi panggilan pengadilan untuk
meresmikan perceraian. Aku tak bisa apa- apa saat itu, yang bisa kulakukan
hanyalah menangis dipelukan kakak” sejenak kulihat dia menarik nafas panjang
hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kisahnya.
“ setelah perceraian itu, aku tak
pernah lagi bertemu ibu. Ayah melarang kami untuk komunikasi dengan ibu, ayah
takut kita akan pergi dari rumah dan lebih memilih ibu. Bulan – bulan terakhir
ini, aku mencoba berbagai cara agar bisa menghubungi ibu. Dan tepat bulan lalu
ketika ulant tahunku, aku mendapatkan nomor telephon ibu dari saudara ibu yang
tinggal di Surabaya. Dari situ aku mengabari ibu, bahwa aku sekarang nyantri,
suara bu terdengar menahan tangis, mungkin ibu terharu putrinya sekarang
tinggal di pesantren. Dan aku juga akhirnya tahu disana ibu sudah memiliki
keluarga baru. Aku punya adik tiri. Begitu pula dengan ayahku, tak lama setelah
perceraian ayah menikahi seorang janda beranak satu. Jujur, aku lebih bahagia
tinggal di pesantren, karena dengan begitu aku tidak akan bertemu dengan ibu
dan saudara tiriku.” Kini wajahnya tertunduk lesu dan malam kian mengerti
perasaannya.
“ apa yang kamu inginkan? ”
“ kakak sekarang kuliah sambil
kerja, nanti ketika uang sudah cukup, kakak bakalan ngajak aku pergi ke
Sulawesi. Pergi menemui mutter.” Dan kini kulihat matanya berbinar penuh
harapan
To be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar