BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan
kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu
bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Seseorang tidak dapat
memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’
dalam menciptakan nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya
terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang
ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh
ulama ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum
syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya diantara nash-nash
itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan
pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib
memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari
nash-nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam
hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat
merealisasikan apa yang
menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan
dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan
manusia serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Dalam makalah ini nanti akan dibahas hal yang
berhubungan dengan Maqasid al-Syariah, mengenai
pengertian dan pembagian Maqasid al-Syariah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
definisi Maqashid Syari’ah?
2.
Ada
berapa pembagian Maqashid Syari’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid
yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud.[1]
Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu,
qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan
sengaja.[2]
Namun, dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada
ilaihi).[3]
Sedangkan kata asy syari’ah berasal dari kata syara’a as-syai yang berarti menjelaskan
sesuatu. Atau diambil dari kata asy-syara’ah dan asy-syari’ah dengan
arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang kesana tidak
memerlukan alat.[4]
Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu
pekerjaan,[5]
dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang
baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan
dan menunjukkan jalan.Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang
berarti menunjukkan jalan atau peraturan.[6]
Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian,
yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari
pada pelaksanaan suatu pekerjaan.[7]
Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya
tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah
baik berupa ibadah (puasa, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau
muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan
lain-lain).[8]
Sebagaimana firman Allah :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ
“ kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu)” (QS. Al Jatsiyah : 18)
Dengan mengetahui pengertian
maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat
membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu
tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam
setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana
menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid asy-syari’ah adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
Menurut ‘Alal
Al-Fasiy, maqashid Syari’ah adalah tujuan yang dikehendaki syara’ dan
rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh syari’ (Allah) pada setiap hukum. Adapun
inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan
kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum
dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.[9]
Dalam kitabnya maqashid
Syari’ah Al-Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyataan bahwa maqashid syari’ah adalah
makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan atau diperlihatkan oleh Allah
swt. dalam semua atau sebagian besar syari’at-Nya, juga masuk dalam wilayah ini
sifat-sifat syari’ah atau tujuan umumnya.[10]
B.
Pembagian Maqashid Syari’ah
Inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mencapai
kemaslahatan umat yang sebesar-besarnya, karena tujuan penetapan hukum dalam
Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan
syara’.[11]
Adapun tujuan syara’ yang harus dipelihara adalah sebagai berikut :
1.
Perlindungan
terhadap agama
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas nama
agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama
atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya
untuk masuk Islam.[12]
Dasar hak ini sesuai firman Allah :
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah : 256)[13]
Asbabun Nuzul ayat ini
(sebagaimana dikatakan para ulama alhi tafsir) menjelaskan kepada kita satu
sisi mengagumkan agama ini (Islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
menceritakan, ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah
kepada dirinya, bahwa bila dia dikaruniai anak, dia akan menjadikannya sebagai
seorang Yahudi (hal seperti ini dilakukan oleh para wanita dari kaum Anshar
pada masa jahiliyah), lalu ketika muncul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat
keturunan dari kaum Anshar. Maka bapak-bapak mereka berkata, “Kami tidak akan
membiarkan anak-anak kami”; mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka
memeluk agama Yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini,
Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)[14]
Meski ada usaha memaksa dari pihak orangtua yang ingin menjaga
anak-anak mereka agar tidak mengikuti musuh yang memerangi mereka, yang berbeda
agama dan berbeda kaum, dan meski dalam keadaan khusus yang dihadapi anak-anak
atau keturunan mereka, agama Yahudi adalah minoritas. Dan meski arus fanatik
dan penindasan kepada orang yang berbeda madzhab mendominasi dunia saat itu,
terlebih yang berbeda agama (seperti yang terjadi dalam madzhab pemerintahan
Roma yang memberikan pilihan kepada rakyatnya, antara kaum Kristen atau
dibunuh), akan tetapi, ketika madzhab Al-Malkani kuat, penyembelihan
dilakukan atas orang-orang Nasrani dari golongan Yaqubian dan yang lainnya,
yang tidak mau masuk dan mengikuti agamanya.[15]
Atas semua peristiwa yang telah terjadi ini, Al –Qur’an tetap
menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka Dia akan membukakan dan menerangi mata hatinya, lalu orang tersebut akan
masuk Islam dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang hatinya dibutakan,
pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya
mereka masuk Islam dalam keadaan dipaksa, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir.[16]
Islam menjaga tempat beribadatan orang – orang nonmuslim, menjaga
kehormatan syiar mereka, bahkan Al-Qur’an menjadikan salah satu sebab
diperkenankannya berperang adalah karena untuk menjaga kebebasan beribadah, dan
hal ini tersirat dalam firman-Nya,
ذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ
لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ
يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ
بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا
اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا [الحج : 39 ، 40]
“
telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung
halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:
"Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. AL Hajj :
39-40)[17]
Tak hanya nash – nash dalam al –Qur’an yang menjamin kebebasan
beragama, Rasulullah dan para sahabatpun menghormati orang-orang nonmuslim
dalam segala hal.
Sebagaimana janji Nabi saw. kepada penduduk Najran menyatakan bahwa
mereka berada dalam perlindungan Allah dan tanggungan atau jaminan Rasulul-Nya
untuk urusan harta, agama, dan baiat mereka.[18]
Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat seorang kakek tua yang
buta meminta-minta di sebuah pintu. Umar pun bertanya, dan dari situ dia tahu
bahwa kakek tua itu adalah seorang Yahudi, lantas dia bertanya, “Apa yang
membuatmu seperti ini?” si kakek menjawab, “Jizyah, kebutuhan, dan usia.”
Mendengar jawaban itu, Umar menuntun kakek tersebut dan pergi ke rumahnya, lalu
dia member uang yang mencukupi kebutuhannya saat itu. Setelah itu beliau
mengirim surat kepada bendahara baitul mal, “Lihatlah! Demi Allah, tidak adil
bila kita memakan dari (jerih payah) masa mudanya, lalu kita menelantarkannya
saat dia tua.”
“sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir
dan orang-orang miskin.”
Dan kakek ini termasuk salah
satu orang miskin dari golongan ahli kitab.[19]
Maka jelaslah toleransi Islam dalam interaksinya yang baik,
muamalahnya yang lembut, perhatiannya mengenai hubungan dengan tetangga, dan
juga toleransi dalam masalah perasaan kemanusiaan yang besar, yakni dengan
kebaikan, rahmat, dan kemurahan hati. Ini merupakan hal yang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari.[20]
Islam mengajarkan bagaimana caranya memanusiakan manusia, apa pun agama, jenis,
dan warna kulitnya. Sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ [الإسراء : 70]
“dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al – Isra’ : 70)[21]
Kemudian yang ditetapkan al-Qur’an ini menuntut adanya hak
dihormati dan dilindungi bagi setiap manusia, dan satu keyakinan yang benar
bahwa perbedaan agama manusia terjadi dengan kehendak Allah yang telah
mengaruniakan kebebasan dan pilihan atas apa yang akan dilakukan atau
ditinggalkan seorang manusia.[22]
فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ [الكهف : 29]
“
Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa
yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (QS. Al-Kahfi : 29)[23]
2.
Perlindungan
terhadap nyawa
Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak
hidup, hak yang disucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya. Manusia
adalah ciptaan Allah,[24]
صُنْعَ
اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
(88) [النمل : 88]
“
dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya, Padahal
ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat
dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. An-Naml : 88)[25]
Adalah sangat jelas hikmah Allah dalam menciptakan manusia dengan
fithrah yang diciptakan-Nya untuk manusia, lalu Dia menjadikan, menyempurnakan
kejadian dan menjadikan (susunan tubuh) nya seimbang, dalam bentuk apa saja
yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhnya.[26]
فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ [المؤمنون : 14]
“Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al-Mu’minun : 14)[27]
Kemudian Allah mengaruniakan nikmat-nikmat-Nya, lalu memuliakan dan
memilih manusia,
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ [الإسراء : 70]
“dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra’ : 70)
Maka, tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah
sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak
menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan atau kehancuran.[28]
Allah berfirman :
وَلَا
تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
[البقرة : 195]
“dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah
: 195)[29]
Islam melarang terjadinya pembunuhan. Baik membunuh diri sendiri
maupun membunuh orang lain. Salah satu sabda Rasulullah yang menjelaskan
dilarangnya bunuh diri :
مَنْ
قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِى النَّارِ
“ Barangsiapa
yang membunuh dirinya dengan menggunakan sesuatu, dia akan disiksa dengan
menggunakan sesuatu tersebut di dalam neraka.”(HR. Muslim)[30]
Dalam
hadits lain, Rasulullah bersabda :
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدٌ ، قَالَ : حَدَّثَنِي حَجَّاجٌ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنِ الْحَسَنِ ،
حَدَّثَنَا جُنْدُبُ بْنُ عَبْدِ اللهِ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ وَمَا نَسِينَا
مُنْذُ ، حَدَّثَنَا وَمَا نَخْشَى أَنْ يَكُونَ جُنْدُبٌ كَذَبَ عَلَى رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كَانَ
فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ فَأَخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ
بِهَا يَدَهُ فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
بَادَرَنِي عَبْدِي بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
“
dalam golongan sebelum kalian ada seorang laki-laki yang memiliki luka, dia
merasakan sakit dan mengeluh, lalu dia mengambil sebuah pisau, tangannya
memotong luka itu dengan menggunakan pisau tersebut. Kemudian darah tidak
kering (mengalir terus menerus) hingga dia mati. Allah pun berfirman, “Hamba-Ku
telah mendahului diri-Ku dengan (mencabut) nyawanya. Aku haramkan surge
baginya.” (HR. Al-Bukhari)[31]
Adapun larangan membunuh orang lain kecuali dengan alasan yang
benar dijelaskan dalam banyak ayat al – Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-An’am
: 151
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ [الأنعام : 151]
“dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.”(QS. Al – An’am : 151)[32]
Membunuh adalah menghancurkan bangunan iradah Allah dan
melenyapkan nyawa si korban tanpa alasan yang benar, yang dilakukan oleh orang
lain. Dalam perbuatan ini ada penganiayaan kepada keluarga atau ahli waris si
korban, yakni mereka yang menjadi mulia karena keberadaan si korban, mereka
yang dapat mengambil manfaat dari diri si korban, dan mereka yang akan sangat
membutuhkan bantuan ketika si korban tidak lagi bersama mereka. Dalam masalah
ini, membunuh orang muslim dan membunuh kafir dzimmi berhukum sama, yakni
diharamkan.[33]
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
حَدَّثَنَا
قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ
عَمْرٍو ، حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ قَتَلَ
مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ
مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا.
“ Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium
bau surge, padahal bau itu sungguh dapat dirasakan dari(jarak) perjalanan empat
puluh tahun.”(HR. Al-Bukhari)[34]
Dalam hal ini, pelaku
pembunuhan diancam dengan hukuman qishas (pembalasan yang seimbang), diyat
(denda) dan kafarat (tebusan) sehingga yang demikian diharapkan agar seseorang
sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena
jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh juga akan mati, atau jika
yang dibunuh mengalami cidera, maka dia juga akan cidera sesuai dengan
perbuatannya.[35]
3.
Perlindungan
terhadap akal
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya
mata hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal,
surat perintah dari Allah swt. disampaikan, dengannya pula manusia berhak
menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia,
dan berbeda dengan makhluk lainnya.[36]
Allah swt. berfirman :
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيلًا [الإسراء : 70]
“dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”(QS. Al-Isra’ : 70)[37]
Melalui akalnya, manusia mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat
kepada Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya,
menetapkan kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala
kekurangan dan cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai
bahwa mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang
diperintahkan Allah kepada mereka, membawa kabar gembira untuk mereka dengan
janji, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusia mengoperasikan akal
mereka, mempelajari yang halal dan haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta
yang baik dan buruk.[38]
Akal dinamakan عقل (ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk
melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Dinamakan demikian, karena
akal pun menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti
hawa nafsu yang sudah tidak terkendali, sebagaimana ikatan akan mencegah unta
agar tidak melarikan diri saat berlari. Karena itulah Amir bin Abdul Qais
berkata :
إذا
عقلك عقلك عما لاينبغي فآنت عاقل
“Jika akal mengikatmu dari sesuatu yang tidak
sepatutnya, maka Anda adalah orang yang berakal.”[39]
Islam memerintahkan untuk menjaga akal, mencegah segala bentuk
penganiayaan yang ditujukan kepadanya, atau yang bisa menyebabkan rusak dan
berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan memuliakan mereka, dan untuk
merealisasikan semua kemaslahatan umum yang menjadi pondasi kehidupan manusia,
yakni dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.[40]
Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan dengan penjagaan
antara akal itu sendiri dengan ujian dan bencana yang bisa melemahkan dan
merusakkannya, atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan dan sampah
dalam masyarakat, atau menjadi alat dan perantara kerusakan di dalamnya.[41]
Diantara hal yang dapat merusak akal adalah mengkonsumsi segala
sesuatu yang bersifat memabukkan. Sebagaimana sabda Rasulullah :
وَحَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ كِلاَهُمَا عَنْ
رَوْحِ بْنِ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى مُوسَى بْنُ
عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- قَالَ
« كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ».
“Setiap
hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”(HR. Muslim)[42]
Keadaan mabuk menyebabkan padamnya bara api pikiran, meredupkan
cahaya akal, membunuh kemauan, mematikan cita-cita, melemahkan karakter,
menghilangkan akhlak mulia. Keadaan tersebut juga menyebabkan kehinaan,
kemerosotan, hancurnya kekuatan, keroposnya bangunan tubuh, dan lemahnya
anggota badan.[43]
Seringkali Islam mengingatkan tentang nilai dan eksistensinya,
menyanjung orang-orang yang menggunakan akal dan kemampuan mereka dalam
memperhatikan alam dengan segala ciptaan indah, makhluk yang mulia, dan
keserasiannya.[44]
Allah berfirman :
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ [آل عمران : 190 ، 191]
“
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”(QS. Ali ‘Imran : 190-191)[45]
وَتِلْكَ
الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
[العنكبوت : 43]
“dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-Ankabut : 43)[46]
Al-Qur’an mencela orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka,
tidak untuk berpikir, memperhatikan, dan merenung; mereka yang tidak
memanfaatkan kemampuan (akal) yang dikaruniakan Allah (yang melalui akal
tersebut Allah memuliakan mereka) untuk menyikapi kekuasaan Sang Pencipta, keagungan-Nya,
dan kekuatan Sang Pemberi rezeki. Mereka tidak menuntunnya menuju dermaga iman
dan kesempurnaan Islam, serta ketundukan kepada hal yang haq dan yang yaqin,
bahkan mereka tidak menundukkan akal mereka ke dalam bidang kehidupan yang
karenanya mereka diciptakan, juga untuk melakukan eksplotasi kekayaan, sumber
daya alam, dan kekuatan yang sudah tersedia untuk kebahagiaan individu serta
kemajuan umat dan bangsa-bangsa.[47]
Allah berfirman,
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (170) وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي
يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ
لَا يَعْقِلُونَ [البقرة : 170 ، 171]
“
dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa
yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? dan perumpamaan (orang-orang yang
menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang
yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. mereka tuli, bisu dan
buta, Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”(QS. Al-Baqarah : 170-171)[48]
Dan
firman Allah dalam QS. Al-A’raf : 179,
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ [الأعراف : 179]
“
dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.”(QS. Al-A’raf : 179)[49]
4.
Perlindungan
terhadap kehormatan
Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan perhatian yang
dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka.
Perlindungan ini jelas terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam
masalah zina, masalah menghancurkan kehormatan orang lain, dan masalah qaszaf.
Islam juga memberikan perlindungan melalui pengharaman ghibah (menggunjing),
mengadu domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela dengan menggunakan
panggilan-panggilan buruk, juga perlindungan-perlindungan lain yang
bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia. Di antara bentuk
perlindungan yang diberikan adalah dengan menghinakan dan memberikan ancaman
kepada para pembuat dosa dengan siksa yang sangat pada hari kiamat.[50]
Para ulama mendefinisikan, bahwa zina adalah hubungan seksual yang
sempurna antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diinginkan
(menggairahkan), tanpa akad pernikahan sah ataupun pernikahan yang menyerupai
sah.[51]
Sanksi perbuatan zina sudah diterangkan dalam syariat Islam dengan
tahapan-tahapan berikut :
a.
Pada
permulaan Islam, sanksi bagi wanita pezina adalah dengan dikurung di rumah
keluarganya sampai mati atau sampai Allah memberikan jalan untuknya. Sedangkan
sanksi bagi laki-laki pezina adalah dengan disiksa (ta’zir atau
dipukul). Apabila setelah itu dia bertaubat dan perbaiki amalnya, maka harus
dibiarkan.[52]
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ
نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا
فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا ( ) وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا
وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“
dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An – Nisa’ : 15-16)[53]
b.
Setelah
itu turun ayat dalam surah An-Nur yang menghapus hukum dari dua ayat diatas.
Ayat inilah yang menjadihukum sanksi pezina, yakni dengan pencambukan dan
pengasingan ghairu muhshan (bagi pelaku yang belum menikah), dan dengan hukum
rajam bagi yang muhshan, yakni laki-laki yang baligh dan berakal, yang
berhubungan seksual melalui qubul seorang wanita, sedang dia memiliki
pernikahan yang sah, meskipun perbuatan ini dilakukan hanya sekali.[54]
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ [النور : 2]
“
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur : 2)[55]
Karena sanksi zina sangat berat, maka syariah mewajibkan
diberlakukannya sanksi tersebut dengan pengakuan, ditetapkan dengan adanya
saksi yang harus memenuhi syarat-syarat berikut.
·
Saksi
adalah empat orang laki-laki adil,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ
لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
[النور : 4]
“ dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,” (QS. An-Nur :
4)[56]
·
Kesaksian
harus dengan menjelaskan masuknya kemaluan laki-laki ke dalam lubang kemaluan
wanita.
·
Kesaksian
harus menggunakan ucapan jelas yang menyatakan perbuatan zina, bukan kinayah
atau kiasan.
·
Tempat
dan waktu kesaksian tidak boleh berbeda; kesaksian empat orang tersebut harus
ada di satu majlis.
·
Kesaksian
tidak diberikan setelah laporan sudah lama diajukan/berlalu.[57]
Islam juga mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba,
memata-matai, mengumpat, mencaci, memanggil dengan julukan tidak baik, dan
perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia.
Islam pun menghinakan orang yang melakukan dosa-dosa ini, juga mengancam mereka
dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka ke dalam
golongan orang-orang yang fasik.[58]
Allah berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا
مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ
الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ (11) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12) يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13) [الحجرات : 12 ، 13]
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al – Hujurat :
11-13)[59]
Islam juga menjaga kehormatan nasab, silsilah dalam sebuah
keluarga. semisal status anak kandungn dan anak angkat. [60]Islam
juga menetapkan, setelah menikah, nasab seorang wanita tidak akan mengalami
perubahan. Setelah menikah, wanita muslimah namanya tetap terjaga, demikian
juga nama keluarga dan nasab aslinya. Dia tidak akan membawa nama suaminya,
betapapun tinggi kedudukan sang suami.[61]
Para ulama’ juga mengharamkan masturbasi (melampiaskan hasrat
seksual dengan cara yang tidak syar’i, dan dikenal di kalangan pemuda sebagai
‘kebiasaan rahasia’)[62] dan
juga mengharamkan homo seksual, hukum pengharaman ini terdapat penjagaan dan
perlindungan yang diberikan Islam kepada para pemuda dari berbagai bahaya
‘kebiasaan rahasia’. Dalam Surah Al-Baqarah Allah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ (222) نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى
شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223)
[البقرة : 222 - 224]
“
mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. isteri-isterimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Baqarah : 222-223)[63]
5.
Perlindungan
terhadap harta benda
Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana
manusia tidak akan bisa terpisah darinya.
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا……. [الكهف : 46]
“ harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia ….”(QS. Al-Kahfi : 46)[64]
Meskipun pada
hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak
pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan
mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai
terjadi bentrokan antara satu dengan yang lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
dll.[65]
Cara
menghasilkan harta tersebut adalah dengan bekerja dan mewaris, maka seseorang
tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil,[66] karena
Allah berfirman,
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة : 188]
“ dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”(QS.
Al-Baqarah : 188)[67]
Harta yang baik
pasti berasal dari tangan-tangan orang yang cara memilikinya berasal dari
pekerjaan yang dianjurkan agama, seperti bekerja di sawah, pabrik, perdagangan,
perserikatan dengan operasional yang syar’i, atau dari warisan dan hal sejenis.[68]
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal
berikut.
Pertama, memiliki hak
untuk dijaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian, perampasan, atau
tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum muslimin atau
nonmuslim) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut
dipergunakan untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini tidak
dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi. Allah berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (90) [المائدة : 90]
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”(QS. Al-Maidah : 90)[69]
Diantara harta
– harta haram adalah memakan harta anak yatim, melatih babi dengan tujuan untuk
dijual, dan sebagainya.
Mengenai ajakan
Rasulullah kepada hak Allah dan hak masyarakat, Allah berfirman,
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ
وَالْمَحْرُومِ [الذاريات : 19]
“ dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 19)[70]
Allah melarang
memboroskan harta dalam kebodohan, karena harta adalah sumber kekuatan hidup.
Dalam firman-Nya disebutkan,
وَلَا
تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا [النساء : 5]
“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”(QS. An-Nisa’ : 5)[71]
Allah
mengharamkan berlaku kikir dalam menafkahkan harta pada bidang yang semestinya,
di proyek-proyek social dan proyek kesejahteraan. Allah berfirman,
وَلَا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ
خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu
baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta
yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.
dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Ali ‘Imran : 180)[72]
Sangat jelas
sekali bahwa harta tidak boleh diberdayagunakan untuk hal-hal yang haram.
Melalui harta, jangan sampai berbuat suap atau kesaksian palsu, atau digunakan
untuk mencari kesenangan yang haram, serta berbagai macam pekerjaan haram,
seperti meminjamkannya dengan sistem riba, digunakan untuk membeli
kertas-kertas lotre, bergabung dalam sebuah penggadaian yang haram, dan
sebagainya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ [المائدة : 90]
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”(QS. Al-Maidah : 90)[73]
Demikianlah
ayat-ayat al-Qur’an mencakup masalah harta dari semua aspek, agar harta bisa
menjadi sumber kenikmatan dan kebahagiaan bagi masyarakat, menjauhkan
kedengkian, ketamakan, dan eksplotasi sehingga kepercayaan dan ketenangan bisa
mendominasi masyarakat. Kita tidak yakin bahwa ada pemikiran politik atau
ekonomi yang mampu mencakup semua permasalahan harta seperti yang diterangkan
agama Islam.[74]
BAB III
KESIMPULAN
Maqashid Syari’ah adalah hikmah-hikmah yang terdapat dalam setiap hukum
yang ditetapkan oleh Allah untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Adapun pembagian Maqashid Syari’ah yang harus dilindungi syara’
sebagai berikut :
1.
Perlindungan
terhadap agama
Setiap orang berhak memilih agamanya sesuai dengan keyakinan
masing-masing, Allah melarang seseorang untuk memaksa orang lain masuk agama
Islam.
2.
Perlindungan
terhadap nyawa
Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang dapat menentukan. Jadi,
Islam melarang seseorang membunuh tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan.
Baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain.
3.
Perlindungan
terhadap akal
Akal merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Maka,
Allah melarang manusia untuk merusak akalnya. Seperti halnya dengan cara
mengkonsumsi hal-hal yang memabukkan dan obat-obatan terlarang, yang
mengakibatkan hilang dan rusaknya akal mereka.
Manusia yang baik adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk
memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah, sehingga menjadikan mereka lebih
dekat dengan-Nya.
4.
Perlindungan
terhadap kehormatan
Islam sangat menjaga kehormatan manusia, dan melarang segala
sesuatu yang dapat merusak kehormatannya.
5.
Perlindungan
terhadap harta benda
Hidup di dunia, pastilah membutuhkan harta benda. Namun, hakikatnya
harta yang dimiliki manusia adalah milik Allah. Maka, manusia diperintahkan
untuk mendapatkan dan menggunakan harta dengan cara yang benar.
Daftar Pustaka
Lihasanah, Ahsan, al-Fiqh
al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi’,Mesir : Dar
al-Salam, 2008
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia,
Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990
Al-Qardhawi, Yusuf, Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2007
Umar, Hasbi, Nalar
Fiqih Kontemporer, Jakarta : Gaung Persada Press, 2007
Nursidin,
Ghilman, konstruksi pemikiran maqashid syari’ah Imam Al-Haramain Al-Jiwaini,Tesis,
IAIN WaliSongo Semarang, 2012
Al-Mursi
Husain Jauhar, Ahmad, MAQASHID SYARIAH, Terj. Khikmawati, Jakarta :
AMZAH, 2010
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta :
Depag RI,2009
Muslim
bin Al-Hijaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Nisyaburi, Abul Husain, Al-Jami’
As-Shahih Al Musamma Shahih Muslim, Bairut : Dar Al-Afaq, T.Tb
Bin
Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari,Muhammad, Shahih Bukhari,
Al-Qahirah : Dar Asy-Sya’b, T.Tb
Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara,1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar