BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hari ini kehidupan manusia telah
sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan diantara manusia.
Sebuah zaman yang dikenal sebagai zaman modernisasi. Sebuah era yang ditandai
oleh banyak penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap
membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastik.
Modernisasi membawa visi membangun
modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara
praktis, manusia dibuat mudah oleh temuan modernitas. Menciptakan kemungkinan
bagi taraf kehidupan manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan
beban berat manusia. Era ini telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia
desegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah
perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke
hari.
Arus modernisasi disertai juga oleh
perubahan sosial yang begitu kompleks. Kompleksitas perubahan tersebut meliputi
(hampir) seluruh dimensi kehidupan dunia. Tidak hanya pada dimensi
ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang
sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiolitas)
masyarakat kita. Perubahan sosial yang begitu dramatis telah melanda kehidupan
beragama kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah
Agama yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai
dampak proses globalisasi yang terkait
dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “reguolitas” dalam
kehidupan manusia. Temuan-temuan empiris dan perkembangan pengetahuan
menghadapkan kepada manusia beragama sebuah realitas akan kekuasaan manusia di
muka semesta ini. Hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagaimisteri Tuhan satu
persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka
lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signitifikasi dan
perannya di tengah kehidupan manusia. Dan masih ada banyak lagi permasalahan
yang timbul karena dampak proses globalisasi.
Tantangan keagamaan dewasa ini,
terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah
penganut terbanyak di dunia. Juga karena adanya persilangan ideology dan
paradigma dalam melihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah
didominasi oleh peradaban barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga
menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam era modernisasi.
Dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana resistensi Islam di zaman dahulu dan zaman modern.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
resistensi Islam di zaman dahulu?
2.
Bagaimana
resistensi Islam di zaman modern (globalisasi)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Rsesitensi Islam di zaman dahulu
Islam adalah al-Din, yaitu titah
Tuhan yang diturunkan melalui para nabi-Nya untuk memberi petunjuk kepada
segenap manusia yang mempunyai akal sehat untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Pokok ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. tertuang dalam
al-Qur’an dan dijabarkan dalam Sunnah Rasul saw.[1]
Islam pada masa Rasulullah saw.
merupakan ekspresi wahyu, dengan Muhammad saw. sebagai sentral figurnya. Masa
ini adalah masa penyusunan peraturan – peraturan, menetapkan pokok ajaran Islam,
menyatukan umat Islam dan membangun kedaulatan Islam. Apabila shahabat Nabi
menemukan problema keagamaan dan keumatan, mereka menanyakan langsung kepada
beliau, tanpa ada sedikitpun rasa keragu-raguan, kecuali hal-hal yang bersifat
duniawi dan merupakan hasil ijtihad beliau. Dalam kaitan ini mereka
kadang-kadang memecahkan hasil ijtihad alternatif setelah mengetahui bahwa apa
yang disampaikan beliau itu bukan wahyu. Inilah yang disebut Islam Ideal, ajarannya
mempunyai nilai mutlak.[2]
Sesudah Nabi wafat, mulai ada
perbedaan pandangan berbagai hal. Yang pertama kali muncul ialah problema
politik, yaitu siapa yang berhak menduduki posisi kepemimpinan sesudah beliau.
Terjadilah tarik menarik antara shahabat Anshar dan Muhajirin di
Balirung Tsaqifah Bani Sa’idah. Akhirnya Abu Bakar al-Shidiq ditunjuk
sebagai khalifah pertama, mengganti beliau.[3]
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ada
dua problema teologis dan politis yang dianggap besar, yakni sikap Islam
terhadap orang muslim yang tidak mau membayar zakat. Dari sisi teologis, mereka
adalah orang-orang mukmin yang telah membaca syahadat dan menjalankan shalat,
mempunyai hak untuk dilindungi, namun di sisi politis, mereka bisa dikatakan
merongrong kewibawaan pemerintah dan mengganggu tegaknya pemerintahan, harus
diperangi. Akhirnya Abu Bakar mengambil sikap, setelah mereka diberi penjelasan
seperlunya, dan tetap membangkang, maka akan diperangi, karena mereka dianggap
orang-orang murtad.[4]
Problem kedua ialah bahwa setelah
banyak Shahabat yang banyak menghafal al-Qur’an wafat, baik karena proses
ketuaan maupun yang mati syuhada’, maka timbul gagasan dari Umar ibn
Khattab, agar al-Qur’an dibukukan dalam sebuah mushaf. Hal ini menjadi
permasalahan besar, karena tidak ada Sunnah Rasul yang dapat dipegangi sebagai
landasan membukukannya, namun untuk menjaga keorisinilannya diperlukan upaya
tersebut, akhirnya hal ini dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq.[5]
Pengalaman Abu Bakar tatkala
menentukan khalifah, menjadikannya khawatir terjadi permasalahan yang sama
sesudah wafatnya. Untuk itu dia mengandalkan musyawarah dengan para shahabat
bahwa dia ingin menunjuk pengganti sesudahnya, mereka bertanya: “Siapakah yang
akan ditunjuk itu?” Dia menjawab: “Ialah Umar ibn Khattab”. Calon yang diajukan
ini kebetulan sama dengan yang akan dicalonkan oleh mereka.[6]
Sikap Abu Bakar ini berbeda dengan
Rasulullah saw. yang tidak meninggalkan pesan apapun tentang kepemimpinan
sesudah wafatnya. Nampaknya Abu Bakar sangat bijaksana, agar tidak terjadi
pengulangan sejarah yang hampir merobek-robek kesatuan Islam, maka semasa masih
hidup mengadakan musyawarah dengan masyarakat, dan terjadi kesepakatan. Dengan
demikian yang menggantikannya ialah Umar ibn Khattab.[7]
Umar dikenal sebagai sosok orang
yang genius. Dalam menentukan suatu hukum, dia lebih banyak menggunakan rasio
daripada al-Qur’an dan al-Hadits. Suatu contoh dia pernah berijtihad, orang
yang baru masuk Islam (mu’allafatu qulubuhum) tidak perlu diberi bagian
zakat,[8]
padahal secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Taubah :
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [التوبة : 60]
“ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS.
Al-Taubah : 60)[9]
Bahwa
mereka termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat. Umar beralasan,
mereka diberi zakat itu, karena pada masa awal, Islam masih lemah membutuhkan
anggota, sedangkan pada masa Umar situasinya sudah berubah, Islam telah kuat,
mereka dipersilahkan masuk atau tidak. Demikian pula Umar tidak memotong tangan
para pencuri,[10]
padalah secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [المائدة : 38]
“ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah
: 38)[11]
Pertimbangan
Umar ialah pada waktu itu telah terjadi paceklik. Mereka mencuri karena
terpaksa, bukan tabiatnya sebagai pencuri. Sekiranya situasinya demikian ini,
dan mereka dipotong tangannya, maka umat akan banyak yang infalid. Dan masih
banyak lagi permasalahan yang dipecahkan melalui ijtihad seperti diatas.[12]
Tentang
suksesi setelah Umar sebelum wafat ia telah menunjuk tim formatur yang terdiri
atas enam orang yang telah dijamin masuk surga (al-‘asyarah al-Mubasysyaruna
bi al-jannah), yakni Utsman bin Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn
Zubai ibn Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdur Rahman ibn ‘Auf, serta anaknya
Abdullah yang hanya berhak memilih, dan tidak berhak dipilih.[13]
Setelah
dia wafat, maka mereka bermusyawarah untuk menentukan penggantinya. Setelah
mengadakan dengar pendapat dengan masyarakat dan para formatur sekaligus
sebagai calon khalifah, maka terjadilah kesepakatan bahwa Utsmanlah yang
menggantikannnya.[14]
Pada
masa pemerintahan Utsman, tidak luput dari persoalan politik dan keagamaan,
terutama peristiwa terbunuhnya khalifah, ini menimbulkan problema yang pelik di
kalangan umat Islam. Persoalan ini berbuntut sampai peristiwa pembaiatan Ali
ibn Abi Thalib. Pemerintahan Islam secara turun-temurun. [15]
B. Resistensi
Islam di zaman Modern (Globalisasi)
Globalisasi
yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada
berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan agama. Globalisasi
yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa
perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Dalam
era glibalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan dalam
peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya pertarungan.
Namun, adakalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan. Terlebih jika
peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog, dan saling
memberi.
Pertarungan
yang terjadi dapat berupa pertarungan ideologi, dan perebutan pengaruh antara Islam
dan globalisasi. Globalisasi direprentasikan melalui peradaban Barat dengan
spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam.
Sehingga dalam banyak perjalanan gobalisasi, Islam kerap berbenturan atau
bersilang pendapat dengan Barat. Dalam keadaan seperti ini Islam hanya mampu
menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam
kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.
Benturan
Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan.
Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas diantara keduanya.
Globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan
alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena
sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holly atau
the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala
prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan
segala bentuk sakralitas.[16]
Islam
adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek
kehidupan, mulai dari cara berpakaian, budaya, politik, keilmuan dan
seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas
bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan
perkembangan situasi dan zaman.[17]
Dan disaat ini Islam dengan Globalisasi seakan berhadapan sebagai lawan.
Sebagian
umat Islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam
merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik di
bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari dunia Barat dan Timur.
Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cenderung bersifat resisten demi
melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat Islam dari pengaruh politik
negatif berbagai pemikiran dari dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat
tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau
konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara
pada saat yang sama, sebagian umat Islam yang lain cenderung menerima apa yang datang
dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal
itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok bodoh,
konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang
datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya
kemajuan dan perkembangannya.[18]
Namun
untuk memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat Islam
tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua
kelompok umat Islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara
mutlak setiap pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang
umat Islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam
artian tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang
datang dari Timur dan Barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap
kemajuan yang dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam
memandang persoalan tersebut, umat Islam harus lebih kritis dengan menelaah
setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa
mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang
utuh. Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus
digaris-bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa Islam sebagai agama, bukan
sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal belaka. Seharusnya tidak perlu
mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, karena ia memiliki basis
sejarah yang kokoh dan landasan kuat,
yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua,
harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin
ditolak. Pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke
jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah
fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak
bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas
lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi komunikasi dan
informasi, revolusi tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang tak mungkin
menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita.[19]
Globalisasi
merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat Islam menutup
diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan menggali kuburan untuk kematiannya
sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya
sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh
kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat Islam harus
bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak
zaman dahulu, umat Islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain,
ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang
filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan
kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini
tentu menganjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd
juga meneguhkan dengan ungkapannya, “kita perlu menelaah apa yang diucapkan
oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur mereka.
Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati.
Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus
berhati-hati dan menghindarinya.”[20]
Dengan
begitu secara otomatis Ibn Rusyd menginginkan umat Islam untuk mengkritisi
segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain.
Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan
modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam
sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin
rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat
bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi tetap
bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak
terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.
Selain
itu, pada era teknologi dan industrualisasi seperti sekarang ini, umat muslim
juga masih perlu dan harus tetap meneladani Nabi Muhammad saw. baik dari segi
moral, sosial maupun keagamaan.[21]
Sebagaimana firman Allah :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب : 21]
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)[22]
Situasi
yang dihadapi Muhammad saw. dengan yang dihadapi kita sekarang ini mempunyai esensi yang sama.
Beliau menghadapi masyarakat yang rusak moralnya, kemudian dibina menjadi baik,
maka pada masa sekarangpun demikian, sebab industrialisasi menuntut dan melahirkan
nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai sebelumnya. Salah satu nilai masyarakat
industri ialah birokrasi (disamping nilai-nilai lain seperti sekularisasi,
lunturnya kegotong-royongan, solidaritas dan sebagainya) yang didalamnya
tersimpul nilai-nilai seperti kerutinan, kepastian, dan instrumentalisme.
Mekanisme seperti itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan. Hal
itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia sekedar hanya
suatu fungsi dari keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian,
akan tidak mempunyai arti apa-apa. Ia akan digunakan atau dibuang semata-mata
berdasarkan fungsi yang mungkin ia lakukan; dengan kata lain, nilai
instrumentalitisnya. Sedang kemanusiaannya yang intrinsik sering tidak
diperhitungkan. Disinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk
apa?” adalah suatu pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi yang makmur
materiil di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi. Proses
industrialisasi akan membawa serta akibat menurunnya religiusitas dan kebejatan
moral. Atau manusia kehilangan visi keagamaan dan kehampaan spiritual.[23]
Dengan
melihat adanya gejala seperti diatas, maka menuntut kita untuk berbuat, minimal
untuk diri sendiri dan merambah kepada masyarakat sebagai perwujudan rahmat
li al-‘alamin.[24]
Sesuai firman Allah:
قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [الأنبياء : 108]
“Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku
adalah: "Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu
berserah diri (kepada-Nya)".(QS. Al-Anbiya’ : 108)[25]
Yang harus dilakukan
umat Islam adalah sesuatu sesuai dengan keteladanan Muhammad saw. antara lain: pertama,
memperkokoh moral religious kita, segala tingkah laku kita dijiwai oleh semangat
al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan begitu kita akan selamat dunia dan akhirat; kedua,
berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang ideal, insan kamil,
sebagaimana Nabi sendiri adalah demikian. Gambaran manusia ideal ialah manusia
yang terbebaskan (the liberated man), yaitu manusia pemurah, tak banyak
keinginan, kreatif, mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya dalam suatu
tindakan penciptaan tanpa paksaan, baik dalam pekerjaan berupa kerajinan
tangan, kegiatan intelektual maupun seni, atau dalam hubungan-hubungan dan
persahabatan-persahabatan dengan orang lain. Seorang manusia yang bebas mampu
secara sepenuhnya merasakan kesendirian pribadi tanpa berhala, dogma, prasangka
ataupun pikiran.dan bersikap toleran, disemangati rasa yang mendalam akan keadilan
dan persamaan dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia individual dan
manusia universal sekaligus; ketiga, berusaha menjadikan religiusitas
(iman dan taqwa) kita mempunyai hubungan dinamis dengan industrialisasi, yakni
diharapkan industrialisasi dapat menopang dan meningkatkan religiusitas.
Regiusitas yang paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya intrinsik
atau cultural consumantory. Yaitu sikap keagamaan yang memandang
kepercayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan
perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini
tidak mengharapkan di luar imannya sendiri; keempat, berusaha menjadikan
diri kita sebagai manusia yang berdaya dan mempunyai dua dimensi (bi-dimensional),
sebagaimana Nabi saw. adalah seorang dengan dua wajah yang kontras yang
mengejawantah dalam perang dan aksi-aksi sosial, dalam memerangi
kekuatan-kekuatan yang destruktif di tengah-tengah masyarakat. Sedang wajah
atau dimensi sucinya menampakkan diri dalam menyampaikan amanat-amanat Allah
bagi umat manusia. Dalam dirinya kenabian dan kepemimpinan mendua dan menyatu
secara sangat serasi, sebagai penuntun yang membimbing kemanusiaan kea rah
suatu tujuan tertentu dan sebagai seorang hamba yang shalih, yang selalu berdoa
dan mengabdi; kelima, menjadikan iman teoritik (nadlary) menjadi
iman penghayatan (qalby). Ini adalah ssatu dari tiga kriteria tasawuf
yang shahih. Disisi lain ada yang berpendapat bahwa dalam usaha mengobati dua
penyakit industrialisasi, yakni hilangnya visi keagamaan dan kehampaan
spiritual, ialah syahadat, pemahaman, penghayatan, proklamasi, serta tindakan
yang bertolah dari kenyataan akan ketauhidan Allah, baik dalam dzat maupun
rububiyah-Nya. Sufisme yang dikehendaki adalah spesifik Islam, sebelumnya di
dalamnya seseorang tidak bisa memasuki ke jalur sufi sebelum memasuki lingkaran
syari’at. Alternatif jenjang yang dilalui ialah zuhud, cinta kemudian ma’rifat.
Keenam, dalam menatap industrialisasi dan masa depan ialah dengan
menumbuhkan kesadaran diri, kesadaran masyarakat, kesadaran ummah, kesadaran
kemanusiaan dan kesadaran dunia.[26]
Aktualisasi Uswatun
Hasanah Rasul saw. pada masa industrialisasi ialah menanamkan akhlak Nabawi
dan akhlak ilahi (al-takhalluq bi akhlaqi Allah).[27]
Untuk mengimbangi
hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, diperlukan peningkatan
komitmen dan misi tauhid dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh, yakni iman, Islam
dan ihsan sekaligus. Aspek ihsan, penghayatan terhadap iman dan Islam perlu
ditingkatkan. Dan untuk ini perlu menjadi mutasawwifin (ahli tasawuf)
tanpa memasuki kelompok sufi ekstrim.[28]
BAB III
KESIMPULAN
Di zaman dahulu, yakni
dimasa para shahabat resistensi Islam dilakukan dengan berbagai macam cara.
Sesuai dengan kebijakan dari masing-masing khalifah. Diantaranya adalah
pembukuan al-Qur’an, terbentuknya tim formatur untuk pemilihan khalifah
selanjutnya setelah khalifah yang menjabat meninggal dunia, dan lain-lain.
Sedangkan di zaman modern
(globalisasi) ini, desistensi Islam bisa diakukan dengan cara menyaring segala
hal yang masuk dalam peradaban Islam, jika hal tersebut berupa sesuatu yang
positif, maka dapat dimanfaatkan, namun jika hal tersebut berupa sesuatu yang
negatif, maka sebisa mungkin harus menghindarinya.
Selain itu, sebagai umat
muslim kita juga harus tetap bisa meneladani Rasulullah saw. karena diutusnya
beliau untuk menjadi teladan umat hingga hari akhir. Sebagaimana firman Allah
dalam QS.Al-Ahzab:21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar