Selasa, 12 Mei 2015

resistensi islam dalam masyarakat modern

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hari ini kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan diantara manusia. Sebuah zaman yang dikenal sebagai zaman modernisasi. Sebuah era yang ditandai oleh banyak penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastik.
Modernisasi membawa visi membangun modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibuat mudah oleh temuan modernitas. Menciptakan kemungkinan bagi taraf kehidupan manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era ini telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia desegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari.
Arus modernisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu kompleks. Kompleksitas perubahan tersebut meliputi (hampir) seluruh dimensi kehidupan dunia. Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiolitas) masyarakat kita. Perubahan sosial yang begitu dramatis telah melanda kehidupan beragama kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai dampak  proses globalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “reguolitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiris dan perkembangan pengetahuan menghadapkan kepada manusia beragama sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagaimisteri Tuhan satu persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signitifikasi dan perannya di tengah kehidupan manusia. Dan masih ada banyak lagi permasalahan yang timbul karena dampak proses globalisasi.
Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia. Juga karena adanya persilangan ideology dan paradigma dalam melihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh peradaban barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam era modernisasi.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana resistensi Islam di zaman dahulu dan zaman modern.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana resistensi Islam di zaman dahulu?
2.      Bagaimana resistensi Islam di zaman modern (globalisasi)?











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Rsesitensi Islam di zaman dahulu
Islam adalah al-Din, yaitu titah Tuhan yang diturunkan melalui para nabi-Nya untuk memberi petunjuk kepada segenap manusia yang mempunyai akal sehat untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pokok ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. tertuang dalam al-Qur’an dan dijabarkan dalam Sunnah Rasul saw.[1]
Islam pada masa Rasulullah saw. merupakan ekspresi wahyu, dengan Muhammad saw. sebagai sentral figurnya. Masa ini adalah masa penyusunan peraturan – peraturan, menetapkan pokok ajaran Islam, menyatukan umat Islam dan membangun kedaulatan Islam. Apabila shahabat Nabi menemukan problema keagamaan dan keumatan, mereka menanyakan langsung kepada beliau, tanpa ada sedikitpun rasa keragu-raguan, kecuali hal-hal yang bersifat duniawi dan merupakan hasil ijtihad beliau. Dalam kaitan ini mereka kadang-kadang memecahkan hasil ijtihad alternatif setelah mengetahui bahwa apa yang disampaikan beliau itu bukan wahyu. Inilah yang disebut Islam Ideal, ajarannya mempunyai nilai mutlak.[2]
Sesudah Nabi wafat, mulai ada perbedaan pandangan berbagai hal. Yang pertama kali muncul ialah problema politik, yaitu siapa yang berhak menduduki posisi kepemimpinan sesudah beliau. Terjadilah tarik menarik antara shahabat Anshar dan Muhajirin di Balirung Tsaqifah Bani Sa’idah. Akhirnya Abu Bakar al-Shidiq ditunjuk sebagai khalifah pertama, mengganti beliau.[3]
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar ada dua problema teologis dan politis yang dianggap besar, yakni sikap Islam terhadap orang muslim yang tidak mau membayar zakat. Dari sisi teologis, mereka adalah orang-orang mukmin yang telah membaca syahadat dan menjalankan shalat, mempunyai hak untuk dilindungi, namun di sisi politis, mereka bisa dikatakan merongrong kewibawaan pemerintah dan mengganggu tegaknya pemerintahan, harus diperangi. Akhirnya Abu Bakar mengambil sikap, setelah mereka diberi penjelasan seperlunya, dan tetap membangkang, maka akan diperangi, karena mereka dianggap orang-orang murtad.[4]
Problem kedua ialah bahwa setelah banyak Shahabat yang banyak menghafal al-Qur’an wafat, baik karena proses ketuaan maupun yang mati syuhada’, maka timbul gagasan dari Umar ibn Khattab, agar al-Qur’an dibukukan dalam sebuah mushaf. Hal ini menjadi permasalahan besar, karena tidak ada Sunnah Rasul yang dapat dipegangi sebagai landasan membukukannya, namun untuk menjaga keorisinilannya diperlukan upaya tersebut, akhirnya hal ini dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq.[5]
Pengalaman Abu Bakar tatkala menentukan khalifah, menjadikannya khawatir terjadi permasalahan yang sama sesudah wafatnya. Untuk itu dia mengandalkan musyawarah dengan para shahabat bahwa dia ingin menunjuk pengganti sesudahnya, mereka bertanya: “Siapakah yang akan ditunjuk itu?” Dia menjawab: “Ialah Umar ibn Khattab”. Calon yang diajukan ini kebetulan sama dengan yang akan dicalonkan oleh mereka.[6]
Sikap Abu Bakar ini berbeda dengan Rasulullah saw. yang tidak meninggalkan pesan apapun tentang kepemimpinan sesudah wafatnya. Nampaknya Abu Bakar sangat bijaksana, agar tidak terjadi pengulangan sejarah yang hampir merobek-robek kesatuan Islam, maka semasa masih hidup mengadakan musyawarah dengan masyarakat, dan terjadi kesepakatan. Dengan demikian yang menggantikannya ialah Umar ibn Khattab.[7]
Umar dikenal sebagai sosok orang yang genius. Dalam menentukan suatu hukum, dia lebih banyak menggunakan rasio daripada al-Qur’an dan al-Hadits. Suatu contoh dia pernah berijtihad, orang yang baru masuk Islam (mu’allafatu qulubuhum) tidak perlu diberi bagian zakat,[8] padahal secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Taubah :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [التوبة : 60]
“ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Taubah : 60)[9]
                         Bahwa mereka termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat. Umar beralasan, mereka diberi zakat itu, karena pada masa awal, Islam masih lemah membutuhkan anggota, sedangkan pada masa Umar situasinya sudah berubah, Islam telah kuat, mereka dipersilahkan masuk atau tidak. Demikian pula Umar tidak memotong tangan para pencuri,[10] padalah secara tegas dinyatakan dalam al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [المائدة : 38]
“ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah : 38)[11]
                        Pertimbangan Umar ialah pada waktu itu telah terjadi paceklik. Mereka mencuri karena terpaksa, bukan tabiatnya sebagai pencuri. Sekiranya situasinya demikian ini, dan mereka dipotong tangannya, maka umat akan banyak yang infalid. Dan masih banyak lagi permasalahan yang dipecahkan melalui ijtihad seperti diatas.[12]
                        Tentang suksesi setelah Umar sebelum wafat ia telah menunjuk tim formatur yang terdiri atas enam orang yang telah dijamin masuk surga (al-‘asyarah al-Mubasysyaruna bi al-jannah), yakni Utsman bin Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Zubai ibn Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdur Rahman ibn ‘Auf, serta anaknya Abdullah yang hanya berhak memilih, dan tidak berhak dipilih.[13]
                        Setelah dia wafat, maka mereka bermusyawarah untuk menentukan penggantinya. Setelah mengadakan dengar pendapat dengan masyarakat dan para formatur sekaligus sebagai calon khalifah, maka terjadilah kesepakatan bahwa Utsmanlah yang menggantikannnya.[14]
                        Pada masa pemerintahan Utsman, tidak luput dari persoalan politik dan keagamaan, terutama peristiwa terbunuhnya khalifah, ini menimbulkan problema yang pelik di kalangan umat Islam. Persoalan ini berbuntut sampai peristiwa pembaiatan Ali ibn Abi Thalib. Pemerintahan Islam secara turun-temurun. [15]
B.     Resistensi Islam di zaman Modern (Globalisasi)
Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Dalam era glibalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya pertarungan. Namun, adakalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan. Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog, dan saling memberi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarungan ideologi, dan perebutan pengaruh antara Islam dan globalisasi. Globalisasi direprentasikan melalui peradaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sehingga dalam banyak perjalanan gobalisasi, Islam kerap berbenturan atau bersilang pendapat dengan Barat. Dalam keadaan seperti ini Islam hanya mampu menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan. Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas diantara keduanya. Globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holly atau the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.[16]
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, budaya, politik, keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan perkembangan situasi dan zaman.[17] Dan disaat ini Islam dengan Globalisasi seakan berhadapan sebagai lawan.
Sebagian umat Islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari dunia Barat dan Timur. Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cenderung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat Islam dari pengaruh politik negatif berbagai pemikiran dari dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada saat yang sama, sebagian umat Islam yang lain cenderung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangannya.[18]
Namun untuk memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat Islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua kelompok umat Islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak setiap pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat Islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam artian tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari Timur dan Barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang persoalan tersebut, umat Islam harus lebih kritis dengan menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh. Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus digaris-bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa Islam sebagai agama, bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal belaka. Seharusnya tidak perlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, karena ia memiliki basis sejarah yang kokoh  dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. Pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi komunikasi dan informasi, revolusi tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita.[19]
Globalisasi merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat Islam menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan menggali kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat Islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat Islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu menganjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan ungkapannya, “kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan menghindarinya.”[20]
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd menginginkan umat Islam untuk mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.
Selain itu, pada era teknologi dan industrualisasi seperti sekarang ini, umat muslim juga masih perlu dan harus tetap meneladani Nabi Muhammad saw. baik dari segi moral, sosial maupun keagamaan.[21] Sebagaimana firman Allah :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا  [الأحزاب : 21]
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)[22]
                        Situasi yang dihadapi Muhammad saw. dengan yang dihadapi kita  sekarang ini mempunyai esensi yang sama. Beliau menghadapi masyarakat yang rusak moralnya, kemudian dibina menjadi baik, maka pada masa sekarangpun demikian, sebab industrialisasi menuntut dan melahirkan nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai sebelumnya. Salah satu nilai masyarakat industri ialah birokrasi (disamping nilai-nilai lain seperti sekularisasi, lunturnya kegotong-royongan, solidaritas dan sebagainya) yang didalamnya tersimpul nilai-nilai seperti kerutinan, kepastian, dan instrumentalisme. Mekanisme seperti itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia sekedar hanya suatu fungsi dari keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, akan tidak mempunyai arti apa-apa. Ia akan digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin ia lakukan; dengan kata lain, nilai instrumentalitisnya. Sedang kemanusiaannya yang intrinsik sering tidak diperhitungkan. Disinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk apa?” adalah suatu pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi yang makmur materiil di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi. Proses industrialisasi akan membawa serta akibat menurunnya religiusitas dan kebejatan moral. Atau manusia kehilangan visi keagamaan dan kehampaan spiritual.[23]
                        Dengan melihat adanya gejala seperti diatas, maka menuntut kita untuk berbuat, minimal untuk diri sendiri dan merambah kepada masyarakat sebagai perwujudan rahmat li al-‘alamin.[24] Sesuai firman Allah:
قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [الأنبياء : 108]
“Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: "Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)".(QS. Al-Anbiya’ : 108)[25]
                        Yang harus dilakukan umat Islam adalah sesuatu sesuai dengan keteladanan Muhammad saw. antara lain: pertama, memperkokoh moral religious kita, segala tingkah laku kita dijiwai oleh semangat al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan begitu kita akan selamat dunia dan akhirat; kedua, berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang ideal, insan kamil, sebagaimana Nabi sendiri adalah demikian. Gambaran manusia ideal ialah manusia yang terbebaskan (the liberated man), yaitu manusia pemurah, tak banyak keinginan, kreatif, mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya dalam suatu tindakan penciptaan tanpa paksaan, baik dalam pekerjaan berupa kerajinan tangan, kegiatan intelektual maupun seni, atau dalam hubungan-hubungan dan persahabatan-persahabatan dengan orang lain. Seorang manusia yang bebas mampu secara sepenuhnya merasakan kesendirian pribadi tanpa berhala, dogma, prasangka ataupun pikiran.dan bersikap toleran, disemangati rasa yang mendalam akan keadilan dan persamaan dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia individual dan manusia universal sekaligus; ketiga, berusaha menjadikan religiusitas (iman dan taqwa) kita mempunyai hubungan dinamis dengan industrialisasi, yakni diharapkan industrialisasi dapat menopang dan meningkatkan religiusitas. Regiusitas yang paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya intrinsik atau cultural consumantory. Yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak mengharapkan di luar imannya sendiri; keempat, berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang berdaya dan mempunyai dua dimensi (bi-dimensional), sebagaimana Nabi saw. adalah seorang dengan dua wajah yang kontras yang mengejawantah dalam perang dan aksi-aksi sosial, dalam memerangi kekuatan-kekuatan yang destruktif di tengah-tengah masyarakat. Sedang wajah atau dimensi sucinya menampakkan diri dalam menyampaikan amanat-amanat Allah bagi umat manusia. Dalam dirinya kenabian dan kepemimpinan mendua dan menyatu secara sangat serasi, sebagai penuntun yang membimbing kemanusiaan kea rah suatu tujuan tertentu dan sebagai seorang hamba yang shalih, yang selalu berdoa dan mengabdi; kelima, menjadikan iman teoritik (nadlary) menjadi iman penghayatan (qalby). Ini adalah ssatu dari tiga kriteria tasawuf yang shahih. Disisi lain ada yang berpendapat bahwa dalam usaha mengobati dua penyakit industrialisasi, yakni hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, ialah syahadat, pemahaman, penghayatan, proklamasi, serta tindakan yang bertolah dari kenyataan akan ketauhidan Allah, baik dalam dzat maupun rububiyah-Nya. Sufisme yang dikehendaki adalah spesifik Islam, sebelumnya di dalamnya seseorang tidak bisa memasuki ke jalur sufi sebelum memasuki lingkaran syari’at. Alternatif jenjang yang dilalui ialah zuhud, cinta kemudian ma’rifat. Keenam, dalam menatap industrialisasi dan masa depan ialah dengan menumbuhkan kesadaran diri, kesadaran masyarakat, kesadaran ummah, kesadaran kemanusiaan dan kesadaran dunia.[26]
                        Aktualisasi Uswatun Hasanah Rasul saw. pada masa industrialisasi ialah menanamkan akhlak Nabawi dan akhlak ilahi (al-takhalluq bi akhlaqi Allah).[27]
                        Untuk mengimbangi hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, diperlukan peningkatan komitmen dan misi tauhid dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh, yakni iman, Islam dan ihsan sekaligus. Aspek ihsan, penghayatan terhadap iman dan Islam perlu ditingkatkan. Dan untuk ini perlu menjadi mutasawwifin (ahli tasawuf) tanpa memasuki kelompok sufi ekstrim.[28]









BAB III
KESIMPULAN
Di zaman dahulu, yakni dimasa para shahabat resistensi Islam dilakukan dengan berbagai macam cara. Sesuai dengan kebijakan dari masing-masing khalifah. Diantaranya adalah pembukuan al-Qur’an, terbentuknya tim formatur untuk pemilihan khalifah selanjutnya setelah khalifah yang menjabat meninggal dunia, dan lain-lain.
Sedangkan di zaman modern (globalisasi) ini, desistensi Islam bisa diakukan dengan cara menyaring segala hal yang masuk dalam peradaban Islam, jika hal tersebut berupa sesuatu yang positif, maka dapat dimanfaatkan, namun jika hal tersebut berupa sesuatu yang negatif, maka sebisa mungkin harus menghindarinya.
Selain itu, sebagai umat muslim kita juga harus tetap bisa meneladani Rasulullah saw. karena diutusnya beliau untuk menjadi teladan umat hingga hari akhir. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Ahzab:21







Tidak ada komentar:

Posting Komentar