IZIN
MENYAMPAIKAN ILMU HAKIKAT DARI ALLAH DALAM SYARAH HIKAM NOMOR INDEKS 160-163
makalah
ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah
“ Syarah al Hikam ”
Oleh
:
Maulidatun
Nuril Fitriana (2012.4.121.0028.1.00088)
Dosen
pengampu :
Mustaqim,
S. Ud.
PRODI
TASAWUF
JURUSAN
USHULUDDIN
SEKOLAH
TINGGI ILMU AGAMA ISLAM AL FITHRAH
SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap orang
yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhannya, pasti akan melalui tahapan –
tahapan tertentu. Dan tahapan – tahapan tersebut senantiasa berhubungan dengan
ilmu.
Berangkat dari
latar belakang diatas, maka pemakalah akan menguraikan beberapa nadham dalam
Syarah al-Hikam yang berkaitan dengan hal tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
penjelasan nadham dalam Syarah al-Hikam
nomor indeks 160-163?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penjelasan nadham dalam Syarah al-Hikam nomor indeks 160-163
من آذن له في التعبير فهمت في مسامع الخلق
عبارته وجليت اليهم اشارته
Siapa yang telah mendapat izin dari Allah untuk berkata – kata
(menerangkan), maka segala kata – katanya dapat dimengerti oleh pendengarnya,
dan semua isyarat petunjuknya dapat terang jelas bagi mereka.[1]
Orang yang
diizinkan itu ialah yang berbicara Lillahi wa billahi wa fillah. Karena Allah,
dan dengan bantuan Allah, serta dalam tuntunan hukum Allah.[2]
Hamdun bin Ahmad
bin Umarah Alqashshar ketika ditanya : “ Mengapakah kata-kata orang dahulu jauh
lebih berguna dari ajaran kita ini? Jawabnya : “Karena mereka bicara (berkata)
untuk kemuliakan kita ini? Jawabnya : “ Karena mereka bicara (berkata) untuk
kemuliaan Islam, dan keselamatan jiwa serta untuk mendapat keridhaan Allah.
Sedang kami bicara untuk kemuliaan diri dan mencari dunia, dan keridhaan
(penerima) makhluk. Al Junaid berkata : “ kalimat yang benar itu hanya yang
diucapkan setelah mendapat izin.[3]
Sebagaimana firman
Allah :
لَا
يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا
mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah
diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata
yang benar. (QS. An Nabaa’ : 38)[4]
ربما برزة الحقائق مكسوفة الانوار إذا لم يؤذن لك فيها بالإظهار
Adakalanya ilmu hakikat itu tampak pudar cahayanya jika
engkau mendapat izin untuk mengeluarkannya.[5]
Siapa
yang belum sempurna sifat-sifatnya, belum diizinkan untuk menerangkan hakikat,
dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena ia
sendiri masih diliputi sesuatu yang berlawanan dengan hakikat itu, dan karena
itu pula ditolak oleh pendengarnya.[6]
Abul
Abbas Almarsy berkata : seorang wali itu lebih dahulu telah dipenuhi oleh ilmu
dan pengertian ma’rifat, sehingga hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat
terang baginya. Karena itu jika melepaskan kalimat seolah – olah mendapat izin
dari Allah, dan kalimat yang dikeluarkannya itu berhias indah bukan buatan,
maka langsung diterima oleh pendengarnya.[7]
عبارتهم إمالفيضان وجد او لقصد
هداية مريد فالأول حال السالكين والثاني حال أرباب للكنة والمحققين
Kata – kata kalimat mereka itu, imma karena luapan
perasaan yang penuh dalam hati, yang tidak dapat ditahan, atau karena tujuan
member petunjuk pada seorang murid. Yang pertama itu hal keadaan yang masih
salik (sedang berjalan), sedang yang kedua : Hal keadaan orang yang sudah
matang dan mendalam benar – benar dalam ilmu hakikat.[8]
Jika
seorang salik ( yang sedang berjalan ) menuju hakikat itu berkata-kata bukan
karena luapan hatinya, niscaya ia hanya merupakan dakwa (pengakuan) yang palsu
belaka, demikian pula orang yang sudah di puncak jika bicara bukan untuk memberi
petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yang tidak diizinkan.
Sedang lazimnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab hadirat Allah
ta’ala.[9]
Firman Allah :
وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا
تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا
dan merendahlah semua suara kepada Tuhan yang Maha
pemurah, Maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (QS. Thaha : 108)[10]
العبارات قوت لعائلة المستمعين وليس
لك إلا ما أنت له اكل
Ibarat (kata-kata) itu sebagai makanan bagi pendengar
yang berhajat dan membutuhkannya, dan engkau tidak mendapat apa-apa daripadanya
kecuali yang engkau makan.[11]
Bagaimanapun
aneka warnanya hidangan, maka yang berguna bagi tiap orang hanya yang dimakannya,
dan masing – masing makan kesukaannya, memilih yang dimengertinya.[12]
Terjadi
ada tiga orang sama – sama mendengar suara yang berkata : “ Ya sa’tara birri
” maka masing – masing menerima kalimat itu sendiri – sendiri. Yang satu
berkata : “saya telah mendengar suara itu berkata : Is’a tara birri”.
Berusahalah niscaya engkau akan melihat (mendapat) kurnia pemberian-Ku. Yang
kedua berkata :”Saya telah mendengar : Assa’atatara birri”. Pada saat
itu juga engkau akan mendapat (melihat) kurnia pemberian-Ku. Yang ketiga
berkata : “ Saya telah mendengar : Ma’ausa’a birri”. Alangkah luasnya
kurnia pemberian-Ku.[13]
Firman Allah :
يُسْقَى
بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْأُكُلِ
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian
tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. (QS. Al –Ra’d : 4)[14]
Firman Allah :
قَدْ
عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ
sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya
(masing-masing).(QS. Al-Baqarah : 60)[15]
Muhyiddin
(Muhammad) bin Al-Araby ra. berkata : Pada suatu hari kami mendapat undangan
dari teman di Zuqaqil-qanadil di Mesir, tiba – tiba di situ bertemu dengan
guru-guru, dan setelah hidangan dikeluarkan, di situ ada suatu wadah dipakai
untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai
juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang-orang makan, tiba-tiba
wadah itu berkata : “ karena kini saya telah mendapat kehormatan dari Allah
untuk tempat makanan guru – guru ini maka sejak kini saya tidak rela untuk
dipakai tempat kotoran, kemudian ia belah dua. Syaikh Muhyiddin bertanya kepada
hadirin : “Apakah kamu telah mendengar? Mereka menjawab : “ Ya, kami mendengar
ia berkata : “ sejak saya dipakai tempat makan untuk guru-guru, maka saya tidak
mau menjadi tempat kotoran lagi”. Berkata Muhyiddin : “ tidak begitu katanya”.
Bertanya para hadirin : “ Lalu berkata apa? Jawab Muhyiddin : Demikian pula
hatimu setelah mendapat kehormatan dari Allah dijadikan tempat iman, maka
janganlah rela ditempati najis-najis, syirik, maksiat, dan cinta dunia.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Seseorang
yang mendapat izin Allah untuk menyampaikan sesuatu, maka apa yang disampaikan
olehnya akan dengan mudah dipahami oleh pendengarnya.
Sedangkan
orang yang belum mendapat izin dari Allah untuk menyampaikan ilmu hakikat, maka
cahayanya akan suram dan tidak akan dipahami oleh pendengarnya.
Setiap
orang memiliki porsi masing – masing, dan apa yang didapatkannya sesuai dengan
apa yang diinginkannya, serta yang diusahakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar