Selasa, 12 Mei 2015

syarakh hikam

IZIN MENYAMPAIKAN ILMU HAKIKAT DARI ALLAH DALAM SYARAH HIKAM NOMOR INDEKS 160-163
makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ Syarah al Hikam ”
 









Oleh :
Maulidatun Nuril Fitriana (2012.4.121.0028.1.00088)
Dosen pengampu :
Mustaqim, S. Ud.
PRODI TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM  AL FITHRAH
SURABAYA
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhannya, pasti akan melalui tahapan – tahapan tertentu. Dan tahapan – tahapan tersebut senantiasa berhubungan dengan ilmu.
Berangkat dari latar belakang diatas, maka pemakalah akan menguraikan beberapa nadham dalam Syarah al-Hikam yang berkaitan dengan hal tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa penjelasan nadham dalam Syarah  al-Hikam nomor indeks 160-163?











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penjelasan nadham dalam Syarah al-Hikam nomor indeks 160-163
من آذن له في التعبير فهمت في مسامع الخلق عبارته وجليت اليهم اشارته
Siapa yang telah mendapat izin dari Allah untuk berkata – kata (menerangkan), maka segala kata – katanya dapat dimengerti oleh pendengarnya, dan semua isyarat petunjuknya dapat terang jelas bagi mereka.[1]
            Orang yang diizinkan itu ialah yang berbicara Lillahi wa billahi wa fillah. Karena Allah, dan dengan bantuan Allah, serta dalam tuntunan hukum Allah.[2]
            Hamdun bin Ahmad bin Umarah Alqashshar ketika ditanya : “ Mengapakah kata-kata orang dahulu jauh lebih berguna dari ajaran kita ini? Jawabnya : “Karena mereka bicara (berkata) untuk kemuliakan kita ini? Jawabnya : “ Karena mereka bicara (berkata) untuk kemuliaan Islam, dan keselamatan jiwa serta untuk mendapat keridhaan Allah. Sedang kami bicara untuk kemuliaan diri dan mencari dunia, dan keridhaan (penerima) makhluk. Al Junaid berkata : “ kalimat yang benar itu hanya yang diucapkan setelah mendapat izin.[3]
            Sebagaimana firman Allah :
لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا
mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (QS. An Nabaa’ : 38)[4]
ربما برزة الحقائق مكسوفة الانوار إذا لم يؤذن لك فيها بالإظهار
Adakalanya ilmu hakikat itu tampak pudar cahayanya jika engkau mendapat izin untuk mengeluarkannya.[5]
            Siapa yang belum sempurna sifat-sifatnya, belum diizinkan untuk menerangkan hakikat, dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena ia sendiri masih diliputi sesuatu yang berlawanan dengan hakikat itu, dan karena itu pula ditolak oleh pendengarnya.[6]
            Abul Abbas Almarsy berkata : seorang wali itu lebih dahulu telah dipenuhi oleh ilmu dan pengertian ma’rifat, sehingga hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat terang baginya. Karena itu jika melepaskan kalimat seolah – olah mendapat izin dari Allah, dan kalimat yang dikeluarkannya itu berhias indah bukan buatan, maka langsung diterima oleh pendengarnya.[7]
عبارتهم إمالفيضان وجد او لقصد هداية مريد فالأول حال السالكين والثاني حال أرباب للكنة والمحققين
Kata – kata kalimat mereka itu, imma karena luapan perasaan yang penuh dalam hati, yang tidak dapat ditahan, atau karena tujuan member petunjuk pada seorang murid. Yang pertama itu hal keadaan yang masih salik (sedang berjalan), sedang yang kedua : Hal keadaan orang yang sudah matang dan mendalam benar – benar dalam ilmu hakikat.[8]
            Jika seorang salik ( yang sedang berjalan ) menuju hakikat itu berkata-kata bukan karena luapan hatinya, niscaya ia hanya merupakan dakwa (pengakuan) yang palsu belaka, demikian pula orang yang sudah di puncak jika bicara bukan untuk memberi petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yang tidak diizinkan. Sedang lazimnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab hadirat Allah ta’ala.[9]
Firman Allah :
وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا
dan merendahlah semua suara kepada Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (QS. Thaha : 108)[10]
العبارات قوت لعائلة المستمعين وليس لك إلا ما أنت له اكل
Ibarat (kata-kata) itu sebagai makanan bagi pendengar yang berhajat dan membutuhkannya, dan engkau tidak mendapat apa-apa daripadanya kecuali yang engkau makan.[11]
            Bagaimanapun aneka warnanya hidangan, maka yang berguna bagi tiap orang hanya yang dimakannya, dan masing – masing makan kesukaannya, memilih yang dimengertinya.[12]
            Terjadi ada tiga orang sama – sama mendengar suara yang berkata : “ Ya sa’tara birri ” maka masing – masing menerima kalimat itu sendiri – sendiri. Yang satu berkata : “saya telah mendengar suara itu berkata : Is’a tara birri”. Berusahalah niscaya engkau akan melihat (mendapat) kurnia pemberian-Ku. Yang kedua berkata :”Saya telah mendengar : Assa’atatara birri”. Pada saat itu juga engkau akan mendapat (melihat) kurnia pemberian-Ku. Yang ketiga berkata : “ Saya telah mendengar : Ma’ausa’a birri”. Alangkah luasnya kurnia pemberian-Ku.[13]
Firman Allah :
يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْأُكُلِ
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. (QS. Al –Ra’d : 4)[14]
Firman Allah :
قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ
sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).(QS. Al-Baqarah : 60)[15]
            Muhyiddin (Muhammad) bin Al-Araby ra. berkata : Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqaqil-qanadil di Mesir, tiba – tiba di situ bertemu dengan guru-guru, dan setelah hidangan dikeluarkan, di situ ada suatu wadah dipakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang-orang makan, tiba-tiba wadah itu berkata : “ karena kini saya telah mendapat kehormatan dari Allah untuk tempat makanan guru – guru ini maka sejak kini saya tidak rela untuk dipakai tempat kotoran, kemudian ia belah dua. Syaikh Muhyiddin bertanya kepada hadirin : “Apakah kamu telah mendengar? Mereka menjawab : “ Ya, kami mendengar ia berkata : “ sejak saya dipakai tempat makan untuk guru-guru, maka saya tidak mau menjadi tempat kotoran lagi”. Berkata Muhyiddin : “ tidak begitu katanya”. Bertanya para hadirin : “ Lalu berkata apa? Jawab Muhyiddin : Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Allah dijadikan tempat iman, maka janganlah rela ditempati najis-najis, syirik, maksiat, dan cinta dunia.[16]
















BAB III
KESIMPULAN
            Seseorang yang mendapat izin Allah untuk menyampaikan sesuatu, maka apa yang disampaikan olehnya akan dengan mudah dipahami oleh pendengarnya.
            Sedangkan orang yang belum mendapat izin dari Allah untuk menyampaikan ilmu hakikat, maka cahayanya akan suram dan tidak akan dipahami oleh pendengarnya.
            Setiap orang memiliki porsi masing – masing, dan apa yang didapatkannya sesuai dengan apa yang diinginkannya, serta yang diusahakannya.
           











Tidak ada komentar:

Posting Komentar