Selasa, 08 Oktober 2013

SOMETHING ABOUT DEWI SRI PART 2



Enam tahun sudah dari hari itu, kuhabiskan waktu maghrib di musholla kecil ini. Hanya untuk menunggu terulangnya kejadian yang membuatku mempercayai kembali agamaku. Mustahil memang, namun entah mengapa keyakinanku untuk bertatap muka lagi dengan gadis itu sangat kuat. Ketegasannya untuk membela agamanya masih tergambar jelas di otakku.
Tak jarang dalam doaku tercantum namanya, berharap sang empunya hidup mempertemukan kami kembali. Sungguh, tiada yang tak mungkin bagi-Nya. Memberiku hidayah melalui seorang gadis, yang usianya jauh lebih muda dariku. Mengembalikan keimananku yang dulu pernah sirna diakibatkan kekecewaan. Ya, dua puluh tahun silam, kala usiaku masih lima tahun, sekelompok manusia memporak-porandakan rumahku dan membantai keluargaku. Aku yang  menyaksikan kejadian itu dibalik pintu,hanya dapat menangis dalam diam. Tergambar jelas diotakku wajah orang-orang yang telah membuat hidupku menjadi sebatang kara.
Sejak saat itu, dendam menjadi teman sejatiku mengecam ketidak adilan tuhan, aku merasa semua yang keluargaku lakukan untuk tuhanku sia-sia.buktinya,tuhan diam saja kala keluargaku dihancurkan? padahal terlalu banyak bukti bahwa keluargaku sangat taat dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Banyak orang yang menaruh simpati padaku atas apa yang telah terjadi. Namun, aku tak butuh belas kasih dari siapapun. Toh, tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang saja tak mempedulikan kebahagiaanku? merenggut orang-orang terkasihku melalui sekelompok manusia yang mengatasnamakan islam. Kebencianku membuncah mengutuk setiap orang yang mengaku beragama Islam.
***
“ mas, mas..boleh numpang tanya? ”sebuah suara mengembalikanku kealam sadarku.
“ oh,iya..ada yang bisa dibantu? ”refleks kumenatap wajah sipenanya.
“ dari tadi saya panggil, eh tapi masnya malah enak ngelamun.” katanya yang membuatku malu
“ iya,ada yang bisa saya bantu? ” tanyaku lagi sembari mencoba menghilangkan rasa malu.
“ panti asuhan Ar-Rahim dimana ya? ”
“ ada keperluan apa? ” tanyaku balik
“ saya ingin menyumbangkan beberapa barang,mungkin bisa bermanfaat. ”pengutaraan yang santai namun tegas.
“ itu disebelah kanan musholla ini.”kataku menunjuk sebuah bangunan sederhana
“ oh,iya terima kasih. ”
                Kupandangi langkahnya yang semakin menjauh. Aneh, sepertinya wajah yang tak asing bagiku. Kucoba untuk mengingat siapa gerangan gadis itu? atau aku hanya mengalami de javu?ah, entahlah.
***

                Kini semua dugaanku benar. Dia adalah Fitri Maulidya seorang gadis yang sudah lama aku tunggu kedatangannya. Namun mengapa? bukan bahagia yang memenuhi ruang hatiku melainkan kekecewaan yang teramat sangat. Kemana jilbab yang dulu menutupi helaian rambutnya? mengapa rambut indah itu kini di obral begitu murahnya. Setiap mata kini bisa menatap liar tubuh indahnya. Aku berusaha untuk tidak mempercayai terhadap apa yang terjadi, namun semua itu ternyata sia-sia. Penantianku terasa hambar, menghadapi kenyataan di ujung mata yang tak sesuai dengan harapan.                    
                Sudah hampir satu bulan, Fitri tinggal dipanti asuhan ini. Entah alasan apa yang digunakan sehingga ketua yayasan mengizinkannya tinggal disini. Kebencianku mulai tumbuh  seiring dengan waktu yang mempertemukan kita semakin sering. Apa yang membuatku membencinya? mungkin karena perubahan penampilannya, yang sangat kontras dengan apa yang kulihat pertama kali.
                Berulang kali kuminta ketua yayasan untuk menegurnya, atau meminjamkan beberapa helai baju muslimah untuk dikenakannya selama berada di lingkungan panti. Karena menurut sudut pandangku hal ini akan mempengaruhi cara pikir anak-anak dalam berbusana. Aku khawatir, mereka yang dididik untuk selalu menutup aurat, akan berubah pikiran dan mengenakan busana sebagaimana Fitri kenakan.
                Situasi seperti ini telah berlangsung hampir sebulan lamanya. Dan aku benar-benar sudah tidak tahan untuk selalu diam. Kuputuskan untuk menemui fitri seusai shalat isya’. Apapun yang akan terjadi nantinya aku tak perduli, dan aku sangat-sangat tak peduli jika yayasan ini tak lagi mendapatkan guyuran dana darinya. Karena itulah salah satu alasan ketua yayasan sungkan untuk menegurnya.
***
“ eh mas Imran, dari tadi disitu?” tanyanya setelah tersadar bahwa ada orang lain.
“ nggak juga ”
“ ada perlu sama saya atau hanya sekedar cari udara segar?”
“ em, dua-duanya”
“ silahkan duduk mas” katanya menunjuk tempat kosong disampingnya
Akupun duduk ditempat tak jauh darinya. Mencoba mengatur nafas mencari kata apa yang sekiranya pantas untuk melatar belakangi maksud kedatanganku. Kutunggu Fitri bertanya, namun hingga lima menit berlalu tak kudengar suara Fitri.
“ Fit “ panggilku
“ iya”
“ enam tahun yang lalu saya bertemu dengan seorang gadis yang masih berstatus santri di salah satu pondok pesantren di Jombang, dia membuka kembali mata saya.” Sengaja kugantung pembicaraanku
“membuka kembali mata anda, maksudnya?” akhirnya Fitri merespon pembicaraanku
“ dulu saya bisa dibilang salah seorang yang tak percaya akan adanya tuhan”
“ atheis?” tanyanya hati-hati
“ iya”
“ lantas dimana gadis itu sekarang berada?” tanyanya yang mulai tertarik dengan pembicaraanku
“ di samping saya” jawabku spontan. Berharap dia akan menyadari bahwa kita dulu pernah bertemu. Namun sialnya, Fitri justru tertawa mendengar jawabanku.
“ mas Imran ternyata bisa becanda juga ya”
Becanda katanya? Sudah dia lupakankah kejadian itu atau pura-pura lupa? Tanpa basa basi lagi kuceritakan semua keajaiban dalam kehidupanku yang membuatku kembali memeluk agamaku. Kini wajah Fitri berubah drastis, ketegangan tampak sangat jelas.
“ jika saya bukan gadis yang anda maksudkan, bagaimana?” tanyanya datar
“ saya rasa juga begitu, awalnya saya juga beranggapan bahwa anda bukan Fitri Mauidya yang saya tunggu selama enam tahun terakhir ini. Kalian sama tapi berbeda”
“ berbeda?”
“ gadis itu berjilbab, berpegang teguh ajaran agamanya. Tapi, mengapa sekarang gadis itu mengumbar auratnya?”
“ saya bukan gadis yang anda maksud. Lagian kewajiban utama dalam agama kita shalat, bukankah shalat merupakan tiang agama? sedangkan jilbab bisa dibilang kebutuhan sekunder atau bahkan tersier!” nadanya meninggi
“ sepertinya anda tipikal wanita yang sangat selektif bahkan dalam hukum agama anda sendiri. hukum yang anda suka akan anda laksanakan sedangkan yang tidak anda suka anda abaikan”
“ mas Imran, coba anda lihat betapa banyaknya wanita yang berjilbab namun sangat meremehkan shalat”
“ tidak semua wanita seperti itu” sanggahku
“ saya wanita mas, dan saya tahu apa yang dilakukan oleh kaum saya. Pakai jilbab sekarang hanya mengikuti “trend”, lagian saya bisa jaga diri kok”
“ anda jangan berkata bahwa anda dapat menjaga diri. Sekian banyak orang yang berkata demikian, namun terjerumus. Tetapi baiklah kita menerima bahwa anda dapat menjaga diri, namun siapa yang menjamin bahwa yang melihat anda dapat menjaga dirinya seperti anda? Bukankah tabrakan dapat terjadi walaupun anda telah mengemudi dengan baik dan tidak bersalah?”[1]
“ itu resiko mereka, mengapa mereka tidak dapat menjaga pandangan mereka? Zaman sekarang susah dapat kerja kalau pakai jilbab mas, wanita juga butuh kebebasan, bagi saya melakukan lima rukun islam dengan baik sudah lebih dari cukup, bukankah hal itu inti dari agama islam? Jadi tidak haruslah saya berpakaian serba tertutup”
“ penentuan tentang aurat, sama sekali bukanlah untuk menurunkan derajat kaum wanita, bahkan justru sebaliknya. Upaya yang dilakukan oleh sementara pihak dewasa ini yang memamerkan wanita dalam berbagai gaya dan bentuk pada hakikatnya merupakan penghinaan yang terbesar terhadap kaum wanita, sebab ketika itu, mereka menjadikan wanita sebagai sarana pembangkit dan pemuasan nafsu pria yang tidak sehat.”[2]
“ maaf, inti dari pembicaraan anda apa?”
“ saya hanya keberatan jika anda terus berada disini dengan penampilan seperti ini akan berpengaruh buruk terhadap pola pikir anak-anak yang ada disini dalam cara berbusana”
“ maksud anda saya…”
Belum selesai Fitri membela diri , aku pamit pergi dengan dalih malam sudah larut, namun alasan utamanya karena aku merasa darahku sudah sangat mendidih dan kepalaku ingin pecah. Karakternya sama dengan fitri yang aku temui enam tahun lalu. Sangat berpegang teguh terhadap apa yang dia percaya. Mengapa aku sangat sedih? padahal dia bukan siapa-siapaku.
***
Jam sudah menunjukkan angka satu dini hari, kuputuskan untuk mendirikan empat raka’at shalat tasbih dan tiga raka’at shalat witir. Mencari ketenangan dengan cara mengadukan kekecewaanku terhadap penciptaku dalam doa yang kupanjatkan seusai shalat.
“ kakak kenapa nangis?”
Sebuah suara yang membuatku terkejut.
“ kakak sedih ya, habis dimarahin mas Imran?”
Aku sangat mengenal pemilik suara ini. Laras, ya Laras, salah satu penghuni yayasan ini. Seorang gadis yang masih berumur delapan tahun namun sudah menghafal seluruh ayat Al- Qur’an dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Alasan mengapa dia tinggal disini dikarenakan kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan dan tak seorangpun dari keluarganya yang berkenan untuk merawatnya.
“ apa yang dikatakan mas Imran itu benar lho kak, boleh tanya sesuatu?”
Entah mengapa aku sangat tertarik untuk mendengarkan pembicaraan dua kaum hawa ini. Kudekatkan pendengaranku menyentuh tabir yang terbuat dari kain panjang berwarna biru.
“ umur kakak berapa?” lanjut laras
“ dua puluh” jawab Fitri sembari menahan isak tangisnya
“ kakak masih sangat muda dan cantik, dalam islam yang diperbolehkan tidak menutup aurat adalah perempuan tua yang telah berhenti haidnya dan tidak lagi berhasrat untuk menikah. Hal itu terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nur ayat enam puluh yang artinya dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti, yang tidak berhasrat lagi menikah, maka tidaklah ada dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak menampakkan perhiasan; dan memelihara diri sungguh-sungguh dengan menjaga kesucian adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Penjelasan Laras panjang lebar dan hingga kini aku tak mendengar suara Fitri membantah. Melainkan suara isak tangis yang kian memekakkan telinga.
“ selain itu kak, Islam juga sangat menyayangi wanita. Memerintahkan wanita untuk menutup auratnya guna melindungi wanita itu sendiri. Menutup aurat bukan berarti membatasi wanita dalam beraktifitas.” Penjelasan lanjutan Laras yang tak peduli dihiraukan atau tidak.
“ mana ayat al-Qur’an yang menjelaskan akan hal itu?” akhirnya suara Fitri keluar mempertanyakan referensi atas penjelasan yang diutarakan Laras.
“ banyak kak, salah satunya dalam surat al - Ahzab ayat lima puluh Sembilan. Sebentar ya, Laras ambilkan al-Qur’an terjemah dulu biar kakak bisa buktikan sendiri.”
Sejenak keheningan menyapa, mungkin Laras sedang mengambil al-Qur’an. Airmataku tak mampu lagi terbendung. Betapa bangganya aku terhadap gadis kecil ini. Ternyata dia tak hanya menghafal al-Qur’an namun bisa menguraikan ma’na dan menjelaskan isi kandungan didalamnya dengan sangat tepat.
***
Seminggu sudah berlalu dari malam itu, tak pernah sekalipun aku bertemu lagi dengan Fitri. Satu sisi aku merasa bersalah namun disisi lain aku merasa memang harus melakukannya demi kemaslahatan di yayasan ini. Apa mungkin dia sudah meninggalkan tempat ini,tapi kemana dia pergi? Ah, perasaan apa ini? Mengapa aku mengkhawatirkannya? Mengapa aku sangat takut kehilangannya?
Kuedarkan pandanganku menyapu taman mini yang dibangun yayasan untuk tempat bermain anak-anak. Berbagai jenis permainan yang dapat digunakan bersama-sama sehingga mereka tak akan merasa bahwa mereka seorang diri di dunia ini.
Pandanganku terhenti pada sosok gadis berjilbab yang melangkah anggun kearahku. Deg! Gadis itu Fitri. Subhanallah, dia telah memutuskan untuk berhijab kembali. Terbata aku menjawab salam yang dilontarkannya. Aku tak mampu berkata-kata bahkan aku hanya mampu mengangguk ketika dia meminta izin untuk duduk di tempat yang tak jauh dariku.
“ saya mau pamit, mas. Saya harus pergi. Maaf atas apa yang telah saya lakukan selama ini, terima kasih atas semuanya.”
Dan aku masih dalam diamku. Bibirku terasa kelu untuk mengeluarkan kata-kata, hanya telingaku yang mampu mendengar penuturannya bahwa sebenarnya dia bukan Fitri, namanya adalah Nuri Maulidya, panti asuhan ini sudah menjadi tempat yang kesekian dia datangi           untuk mencari saudara kembarnya yang tak lain adalah Fitri Maulidya. Keluarga satu-satunya yang terpisah darinya karena diadopsi oleh keluarga yang berbeda. Mereka dulu tinggal disebuah panti asuhan di daerah Tangerang. Setelah sebuah gempa bumi meluluhlantahkan rumah mereka dikawasan Jakarta Pusat.
“ kenapa pakai nama Fitri?” tanyaku akhirnya
“ sengaja. Berharap ada orang yang mengenalnya dan membuka jalan untuk mempertemukan saya dengannya”
“ memangnya sekarang mau cari kemana lagi?”
“ entahlah. Namun saya bangga mas, setelah mendengar bahwa Allah telah membuka mata hati seorang pemuda melaluinya. Dan melalui pemuda itu kini Allah telah membuka mata hati saya untuk berhijab, terima kasih. Dikuatkan lagi oleh argumen bidadari kecil yang seminggu lalu tak sengaja mendengar perdebatan antara saya dengan pemuda itu”
Kupandangi wajah cantik itu yang kini tertunduk menahan embun diujung matanya. Perasaan dalam hatiku kian nyata. Dan kini aku benar-benar yakin atas apa yang kupilih.
“ Nuri, sebelum kau pergi. Bisakah kau menjawab satu pertanyaanku?”
“ apa?” jawabnya datar
“bersediakah kau menemaniku mengarungi kehidupan dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?” tanyaku tanpa basa-basi. Tertangkap diujung mataku wajah terkejut gadis ini.
“ tapi…”
“ aku hanya butuh jawaban iya atau tidak” sanggahku tak membiarkan Fitri menyelesaikan ucapannya.
“ iya, dengan satu syarat ” kini mata kami beradu
“ apa? ”
“ setelah kau menjadi suamiku, tolong bimbinglah aku dengan penuh kesabaran untuk menjadi muslimah seutuhnya.” Kepalaku mengangguk sebagai tanda setuju atas persyaratan yang diajukannya.
Matahari tersenyum renyah menjadi saksi atas kebahagiaan yang memenuhi jiwaku. Terima kasihku tertuju pada pelukis alam yang telah mengabulkan doaku. Dari hari ini akan kuukir hariku bersama seorang gadis yang telah ditentukan oleh tuhanku. Berharap melalui rahimnya akan lahir mujahid-mujahid kecilku yang akan berpegang teguh membela agama-Nya.Amin
                                                                           
                                                                  
                                                                             el_tryana                                                                                  





[1] M. Quraish Shihab, Jilbab,pakaian wanita muslimah (Jakarta:Lentera hati,2004)hal.62
[2] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar