Enam tahun sudah dari
hari itu, kuhabiskan
waktu maghrib di musholla kecil ini.
Hanya untuk menunggu terulangnya kejadian yang membuatku
mempercayai kembali agamaku. Mustahil memang, namun entah mengapa keyakinanku untuk bertatap muka lagi dengan gadis
itu sangat kuat. Ketegasannya untuk membela agamanya masih tergambar jelas di
otakku.
Tak jarang dalam doaku
tercantum namanya, berharap sang empunya hidup mempertemukan kami kembali. Sungguh,
tiada yang tak mungkin bagi-Nya. Memberiku hidayah melalui seorang gadis, yang usianya
jauh lebih muda dariku. Mengembalikan keimananku yang dulu pernah sirna
diakibatkan kekecewaan. Ya, dua puluh tahun silam, kala usiaku masih lima
tahun, sekelompok manusia memporak-porandakan rumahku dan membantai keluargaku.
Aku yang menyaksikan kejadian itu
dibalik pintu,hanya dapat menangis dalam diam. Tergambar jelas diotakku wajah orang-orang yang
telah membuat hidupku menjadi sebatang kara.
Sejak saat itu, dendam
menjadi teman sejatiku mengecam ketidak adilan tuhan, aku merasa semua yang
keluargaku lakukan untuk tuhanku sia-sia.buktinya,tuhan diam saja kala
keluargaku dihancurkan? padahal terlalu banyak bukti bahwa keluargaku sangat
taat dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Banyak orang
yang menaruh simpati padaku atas apa yang telah terjadi. Namun, aku tak butuh
belas kasih dari siapapun. Toh, tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang saja tak mempedulikan
kebahagiaanku? merenggut orang-orang terkasihku melalui sekelompok manusia yang
mengatasnamakan islam. Kebencianku membuncah mengutuk setiap orang yang mengaku beragama Islam.
***
“ mas, mas..boleh
numpang tanya? ”sebuah suara mengembalikanku kealam sadarku.
“ oh,iya..ada
yang bisa dibantu? ”refleks kumenatap wajah sipenanya.
“ dari tadi
saya panggil, eh tapi masnya malah enak ngelamun.” katanya yang membuatku malu
“ iya,ada yang
bisa saya bantu? ” tanyaku lagi sembari mencoba menghilangkan rasa malu.
“ panti asuhan
Ar-Rahim dimana ya? ”
“ ada keperluan
apa? ” tanyaku balik
“ saya ingin
menyumbangkan beberapa barang,mungkin bisa bermanfaat. ”pengutaraan yang santai
namun tegas.
“ itu disebelah
kanan musholla ini.”kataku menunjuk sebuah bangunan sederhana
“ oh,iya terima
kasih. ”
Kupandangi langkahnya yang
semakin menjauh. Aneh, sepertinya wajah yang tak asing bagiku. Kucoba untuk
mengingat siapa gerangan gadis itu? atau aku hanya mengalami de javu?ah,
entahlah.
***
Kini semua dugaanku benar. Dia
adalah Fitri Maulidya seorang gadis yang sudah lama aku tunggu kedatangannya. Namun
mengapa? bukan bahagia yang memenuhi ruang hatiku melainkan kekecewaan yang
teramat sangat. Kemana jilbab yang dulu menutupi helaian rambutnya? mengapa
rambut indah itu kini di obral begitu murahnya. Setiap mata kini bisa menatap
liar tubuh indahnya. Aku berusaha untuk tidak mempercayai terhadap apa yang
terjadi, namun semua itu ternyata sia-sia. Penantianku terasa hambar, menghadapi
kenyataan di ujung mata yang tak sesuai dengan harapan.
Sudah hampir satu bulan, Fitri
tinggal dipanti asuhan ini. Entah alasan apa yang digunakan sehingga ketua
yayasan mengizinkannya tinggal disini. Kebencianku mulai tumbuh seiring dengan waktu yang mempertemukan kita
semakin sering. Apa yang membuatku membencinya? mungkin karena perubahan
penampilannya, yang sangat kontras dengan apa yang kulihat pertama kali.
Berulang kali kuminta ketua
yayasan untuk menegurnya, atau meminjamkan beberapa helai baju muslimah untuk
dikenakannya selama berada di lingkungan panti. Karena menurut sudut pandangku
hal ini akan mempengaruhi cara pikir anak-anak dalam berbusana. Aku khawatir,
mereka yang dididik untuk selalu menutup aurat, akan berubah pikiran dan
mengenakan busana sebagaimana Fitri kenakan.
Situasi seperti ini telah
berlangsung hampir sebulan lamanya. Dan aku benar-benar sudah tidak tahan untuk
selalu diam. Kuputuskan untuk menemui fitri seusai shalat isya’. Apapun yang
akan terjadi nantinya aku tak perduli, dan aku sangat-sangat tak peduli jika
yayasan ini tak lagi mendapatkan guyuran dana darinya. Karena itulah salah satu
alasan ketua yayasan sungkan untuk menegurnya.
***
“ eh mas Imran,
dari tadi disitu?” tanyanya setelah tersadar bahwa ada orang lain.
“ nggak juga ”
“ ada perlu
sama saya atau hanya sekedar cari udara segar?”
“ em,
dua-duanya”
“ silahkan
duduk mas” katanya menunjuk tempat kosong disampingnya
Akupun
duduk ditempat tak jauh darinya. Mencoba mengatur nafas mencari kata apa yang
sekiranya pantas untuk melatar belakangi maksud kedatanganku. Kutunggu Fitri bertanya,
namun hingga lima menit berlalu tak kudengar suara Fitri.
“ Fit “
panggilku
“ iya”
“ enam tahun
yang lalu saya bertemu dengan seorang gadis yang masih berstatus santri di
salah satu pondok pesantren di Jombang, dia membuka kembali mata saya.” Sengaja
kugantung pembicaraanku
“membuka
kembali mata anda, maksudnya?” akhirnya Fitri merespon pembicaraanku
“ dulu saya
bisa dibilang salah seorang yang tak percaya akan adanya tuhan”
“ atheis?”
tanyanya hati-hati
“ iya”
“ lantas dimana
gadis itu sekarang berada?” tanyanya yang mulai tertarik dengan pembicaraanku
“ di samping
saya” jawabku spontan. Berharap dia akan menyadari bahwa kita dulu pernah
bertemu. Namun sialnya, Fitri justru tertawa mendengar jawabanku.
“ mas Imran
ternyata bisa becanda juga ya”
Becanda
katanya? Sudah dia lupakankah kejadian itu atau pura-pura lupa? Tanpa basa basi
lagi kuceritakan semua keajaiban dalam kehidupanku yang membuatku kembali
memeluk agamaku. Kini wajah Fitri berubah drastis, ketegangan tampak sangat
jelas.
“ jika saya bukan
gadis yang anda maksudkan, bagaimana?” tanyanya datar
“ saya rasa
juga begitu, awalnya saya juga beranggapan bahwa anda bukan Fitri Mauidya yang
saya tunggu selama enam tahun terakhir ini. Kalian sama tapi berbeda”
“ berbeda?”
“ gadis itu
berjilbab, berpegang teguh ajaran agamanya. Tapi, mengapa sekarang gadis itu
mengumbar auratnya?”
“ saya bukan
gadis yang anda maksud. Lagian kewajiban utama dalam agama kita shalat,
bukankah shalat merupakan tiang agama? sedangkan jilbab bisa dibilang kebutuhan
sekunder atau bahkan tersier!” nadanya meninggi
“ sepertinya
anda tipikal wanita yang sangat selektif bahkan dalam hukum agama anda sendiri.
hukum yang anda suka akan anda laksanakan sedangkan yang tidak anda suka anda
abaikan”
“ mas Imran,
coba anda lihat betapa banyaknya wanita yang berjilbab namun sangat meremehkan
shalat”
“ tidak semua
wanita seperti itu” sanggahku
“ saya wanita
mas, dan saya tahu apa yang dilakukan oleh kaum saya. Pakai jilbab sekarang
hanya mengikuti “trend”, lagian saya bisa jaga diri kok”
“ anda jangan
berkata bahwa anda dapat menjaga diri. Sekian banyak orang yang berkata
demikian, namun terjerumus. Tetapi baiklah kita menerima bahwa anda dapat
menjaga diri, namun siapa yang menjamin bahwa yang melihat anda dapat menjaga
dirinya seperti anda? Bukankah tabrakan dapat terjadi walaupun anda telah
mengemudi dengan baik dan tidak bersalah?”[1]
“ itu resiko
mereka, mengapa mereka tidak dapat menjaga pandangan mereka? Zaman sekarang
susah dapat kerja kalau pakai jilbab mas, wanita juga butuh kebebasan, bagi
saya melakukan lima rukun islam dengan baik sudah lebih dari cukup, bukankah
hal itu inti dari agama islam? Jadi tidak haruslah saya berpakaian serba
tertutup”
“ penentuan
tentang aurat, sama sekali bukanlah untuk menurunkan derajat kaum wanita,
bahkan justru sebaliknya. Upaya yang dilakukan oleh sementara pihak dewasa ini
yang memamerkan wanita dalam berbagai gaya dan bentuk pada hakikatnya merupakan
penghinaan yang terbesar terhadap kaum wanita, sebab ketika itu, mereka
menjadikan wanita sebagai sarana pembangkit dan pemuasan nafsu pria yang tidak
sehat.”[2]
“ maaf, inti
dari pembicaraan anda apa?”
“ saya hanya
keberatan jika anda terus berada disini dengan penampilan seperti ini akan
berpengaruh buruk terhadap pola pikir anak-anak yang ada disini dalam cara
berbusana”
“ maksud anda
saya…”
Belum
selesai Fitri membela diri , aku pamit pergi dengan dalih malam sudah larut,
namun alasan utamanya karena aku merasa darahku sudah sangat mendidih dan
kepalaku ingin pecah. Karakternya sama dengan fitri yang aku temui enam tahun
lalu. Sangat berpegang teguh terhadap apa yang dia percaya. Mengapa aku sangat
sedih? padahal dia bukan siapa-siapaku.
***
Jam
sudah menunjukkan angka satu dini hari, kuputuskan untuk mendirikan empat
raka’at shalat tasbih dan tiga raka’at shalat witir. Mencari ketenangan dengan
cara mengadukan kekecewaanku terhadap penciptaku dalam doa yang kupanjatkan
seusai shalat.
“ kakak kenapa
nangis?”
Sebuah suara
yang membuatku terkejut.
“ kakak sedih
ya, habis dimarahin mas Imran?”
Aku
sangat mengenal pemilik suara ini. Laras, ya Laras, salah satu penghuni yayasan
ini. Seorang gadis yang masih berumur delapan tahun namun sudah menghafal
seluruh ayat Al- Qur’an dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Alasan mengapa
dia tinggal disini dikarenakan kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah
kecelakaan dan tak seorangpun dari keluarganya yang berkenan untuk merawatnya.
“ apa yang
dikatakan mas Imran itu benar lho kak, boleh tanya sesuatu?”
Entah mengapa
aku sangat tertarik untuk mendengarkan pembicaraan dua kaum hawa ini.
Kudekatkan pendengaranku menyentuh tabir yang terbuat dari kain panjang
berwarna biru.
“ umur kakak
berapa?” lanjut laras
“ dua puluh”
jawab Fitri sembari menahan isak tangisnya
“ kakak masih
sangat muda dan cantik, dalam islam yang diperbolehkan tidak menutup aurat
adalah perempuan tua yang telah berhenti haidnya dan tidak lagi berhasrat untuk
menikah. Hal itu terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nur ayat enam puluh
yang artinya dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti, yang tidak
berhasrat lagi menikah, maka tidaklah ada dosa atas mereka menanggalkan pakaian
mereka dengan tidak menampakkan perhiasan; dan memelihara diri sungguh-sungguh
dengan menjaga kesucian adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui.” Penjelasan Laras panjang lebar dan hingga kini aku
tak mendengar suara Fitri membantah. Melainkan suara isak tangis yang kian
memekakkan telinga.
“ selain itu
kak, Islam juga sangat menyayangi wanita. Memerintahkan wanita untuk menutup auratnya
guna melindungi wanita itu sendiri. Menutup aurat bukan berarti membatasi
wanita dalam beraktifitas.” Penjelasan lanjutan Laras yang tak peduli
dihiraukan atau tidak.
“ mana ayat
al-Qur’an yang menjelaskan akan hal itu?” akhirnya suara Fitri keluar
mempertanyakan referensi atas penjelasan yang diutarakan Laras.
“ banyak kak,
salah satunya dalam surat al - Ahzab ayat lima puluh Sembilan. Sebentar ya,
Laras ambilkan al-Qur’an terjemah dulu biar kakak bisa buktikan sendiri.”
Sejenak
keheningan menyapa, mungkin Laras sedang mengambil al-Qur’an. Airmataku tak
mampu lagi terbendung. Betapa bangganya aku terhadap gadis kecil ini. Ternyata
dia tak hanya menghafal al-Qur’an namun bisa menguraikan ma’na dan menjelaskan
isi kandungan didalamnya dengan sangat tepat.
***
Seminggu
sudah berlalu dari malam itu, tak pernah sekalipun aku bertemu lagi dengan
Fitri. Satu sisi aku merasa bersalah namun disisi lain aku merasa memang harus
melakukannya demi kemaslahatan di yayasan ini. Apa mungkin dia sudah
meninggalkan tempat ini,tapi kemana dia pergi? Ah, perasaan apa ini? Mengapa
aku mengkhawatirkannya? Mengapa aku sangat takut kehilangannya?
Kuedarkan
pandanganku menyapu taman mini yang dibangun yayasan untuk tempat bermain
anak-anak. Berbagai jenis permainan yang dapat digunakan bersama-sama sehingga
mereka tak akan merasa bahwa mereka seorang diri di dunia ini.
Pandanganku
terhenti pada sosok gadis berjilbab yang melangkah anggun kearahku. Deg! Gadis
itu Fitri. Subhanallah, dia telah memutuskan untuk berhijab kembali. Terbata
aku menjawab salam yang dilontarkannya. Aku tak mampu berkata-kata bahkan aku
hanya mampu mengangguk ketika dia meminta izin untuk duduk di tempat yang tak
jauh dariku.
“ saya mau pamit,
mas. Saya harus pergi. Maaf atas apa yang telah saya lakukan selama ini, terima
kasih atas semuanya.”
Dan
aku masih dalam diamku. Bibirku terasa kelu untuk mengeluarkan kata-kata, hanya
telingaku yang mampu mendengar penuturannya bahwa sebenarnya dia bukan Fitri,
namanya adalah Nuri Maulidya, panti asuhan ini sudah menjadi tempat yang
kesekian dia datangi untuk
mencari saudara kembarnya yang tak lain adalah Fitri Maulidya. Keluarga
satu-satunya yang terpisah darinya karena diadopsi oleh keluarga yang berbeda.
Mereka dulu tinggal disebuah panti asuhan di daerah Tangerang. Setelah sebuah
gempa bumi meluluhlantahkan rumah mereka dikawasan Jakarta Pusat.
“ kenapa pakai
nama Fitri?” tanyaku akhirnya
“ sengaja.
Berharap ada orang yang mengenalnya dan membuka jalan untuk mempertemukan saya
dengannya”
“ memangnya
sekarang mau cari kemana lagi?”
“ entahlah.
Namun saya bangga mas, setelah mendengar bahwa Allah telah membuka mata hati
seorang pemuda melaluinya. Dan melalui pemuda itu kini Allah telah membuka mata
hati saya untuk berhijab, terima kasih. Dikuatkan lagi oleh argumen bidadari
kecil yang seminggu lalu tak sengaja mendengar perdebatan antara saya dengan
pemuda itu”
Kupandangi
wajah cantik itu yang kini tertunduk menahan embun diujung matanya. Perasaan dalam
hatiku kian nyata. Dan kini aku benar-benar yakin atas apa yang kupilih.
“ Nuri, sebelum
kau pergi. Bisakah kau menjawab satu pertanyaanku?”
“ apa?”
jawabnya datar
“bersediakah
kau menemaniku mengarungi kehidupan dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?”
tanyaku tanpa basa-basi. Tertangkap diujung mataku wajah terkejut gadis ini.
“ tapi…”
“ aku hanya
butuh jawaban iya atau tidak” sanggahku tak membiarkan Fitri menyelesaikan
ucapannya.
“ iya, dengan
satu syarat ” kini mata kami beradu
“ apa? ”
“ setelah kau
menjadi suamiku, tolong bimbinglah aku dengan penuh kesabaran untuk menjadi
muslimah seutuhnya.” Kepalaku mengangguk sebagai tanda setuju atas persyaratan
yang diajukannya.
Matahari
tersenyum renyah menjadi saksi atas kebahagiaan yang memenuhi jiwaku. Terima
kasihku tertuju pada pelukis alam yang telah mengabulkan doaku. Dari hari ini
akan kuukir hariku bersama seorang gadis yang telah ditentukan oleh tuhanku.
Berharap melalui rahimnya akan lahir mujahid-mujahid kecilku yang akan
berpegang teguh membela agama-Nya.Amin
el_tryana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar