17 Agustus 2010
Entah apa maksud dari semua
lembaran ini. Hanya dapat membuatku tertegun dalam setiap huruf yang tertata
rapi. Semacam surat jika bisa kukatakan. Atau lebih pantas dikatakan catatan
harian yang sengaja dikirimkan pemiliknya padaku. Wanita, pasti penulisnya
seorang wanita.Tertulis jelas, dia adalah salah seorang penghuni sekolah
berasrama di kota pahlawan, Surabaya. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun,
kelas dua SMA. Dia bersekolah disana hanya untuk memenuhi keinginan orang
tuanya. Hal ini menyebabkan dia harus berjauhan dengan kekasihnya.
Bisa dikatakan hal ini
merupakan sesuatu yang misterius. Atau hanya lelucon seseorang yang ingin
menggangguku, dengan menceritakan kisah pribadinya bahwa dia sedang menjalin
hubungan jarak jauh dengan kekasihnya. Namun, jika aku boleh jujur, rasa
penasaran menyelimutiku. Ya, aku penasaran kelanjutan kisahnya.
***
17 Januari 2011
Aku mencintainya, bahkan teramat
sangat mencintainya. Entah apa yang membuatku tak mampu sedetikpun membuangnya
dari ingatanku. Padahal Dia hanyalah
pemuda biasa, kakak kelasku yang terpaut usia tiga tahun denganku. Ini salah
satu alasan orang tuaku menyekolahkanku di sekolah berasrama. Di sebuah sekolah
yang terisolasi dari lawan jenis. Baik pengajar maupun yang belajar semua kaum
hawa. Sangat menjemukan. Dengan segudang peraturan yang tak ayal membuat
leherku seakan tercekat. Bahkan komunikasi dengan orang di luar asramapun
terbatas. Bukan karena komunikasi dengan orang tua yang aku permasalahkan,
melainkan dengan dia, seorang pemuda yang kurasa sangat berarti kehadirannya
dalam hidupku.
Jika ditanya mengapa aku
memilihnya untuk diriku, maka aku hanya mampu terbungkam.Karena tak mampu aku
menuliskan kata-kata yang tepat mengisyaratkannya.Aku sadar, bahkan terlalu
sadar, bahwa ini keterlaluan. Mengingatnya melebihi waktu untuk mengingat
penciptaku. Sehingga tak bisa kuhindari apapun yang dipintanya dariku. Semuanya
menjanjikan keabadian. Seakan meyakinkan bahwa kita akan selalu bersama.
Setahun yang lalu, di bulan ini
orang tuaku akhirnya luluh. Mereka mengizinkanku untuk melangkah ke jenjang
yang lebih serius. Walaupun semua ini terjadi karena “ rengekanku”. Aku tahu,
orang tuaku masih sangat tidak merestui hubungan yang terjalin. Dengan berbagai
macam alasan. Diantaranya karena dia pengangguran, tak berpendidikan dan
hal-hal yang membedakan status sosial antara aku dan dia.
Pesta yang sangat meriah sebagai
hadiah “ terpaksa” dari orang tuaku. Undangan tersebar luas, acara yang
meninggalkan decak kagum hadirin yang datang.inilah kebahagiaan kita. Namun,
hal sebaliknya yang dirasakan orang tuaku. Tak sedikit temanku bertanya mengapa
orang tuaku bisa merestui? Hanya senyuman yang menjadi jawabanku.
Ini surat keduanya yang dia
kirimkan kepadaku, masih belum mampu aku menerjemahkan tujuannya mengirimkan lembaran-lembaran
ini padaku. Siapa gerangan pengirim tulisan ini? apakah dia ingin mencari
solusi? Atau sekedar mencari teman untuk mencurahkan isi hatinya. Lantas
darimana dia tahu alamat rumahku? Apa aku mengenalnya?
Kugabungkan lembaran surat ini
dengan surat yang terdahulu, kucermati kembali huruf demi hurif yang tertera.
Dapat aku simpulkan dia seorang gadis yang menjalin hubungan dengan seorang
pemuda tanpa restu dari orang tuanya. Ingin sekali aku membalas surat- surat
yang telah dikirimkannya padaku. Sebagai salah satu bukti bahwa aku menghargai
tulisannya. Namun, tak jarang aku berfikir, mungkin dia hanya membutuhkan orang
yang dapat menampung ceritanya tanpa harus mendapat tanggapan.
***
Akhir Februari 2011
Alhamdulillah aku diwisuda, sarjana
sastra bahasa Indonesia telah aku sandang. Sesuai dengan cita-citaku dari
kecil. Mendapatkan Indeks Prestasi diluar dugaan. Sujud syukur kupersembahkan
kepada tuhanku, sebagai rasa terima kasih atas anugerah yang telah diberikannya
kepadaku. Senyum bahagia terpancar diwajah kedua orang tua dan suamiku. Aku
telah menikah, seminggu sebelum aku diwisuda menjadi sarjana sastra bahasa
Indonesia. Semua ini keinginan suamiku, dia ingin aku sudah sah menjadi istrinya
ketika dia hadir mendampingi prosesi wisudaku.
Ada sedikit kemiripan antara
kisahku dengan gadis pengirim surat berkala tanpa nama itu. Kita sama-sama
menjalin hubungan dengan kakak kelas, yang membedakan hanyalah aku mendapat
restu dari kedua orang tuaku sedangkan dia tidak. Restu kedua orang tua adalah
salah satu peganganku untuk terus melangkah dalam kehidupan. Karena ridho
tuhanku ada dalam ridho kedua orang tuaku. Tak mungkin aku bisa meraih semua
ini tanpa bimbingan mereka, begitu pula pernikahanku tak akan pernah terjadi
jika mereka tak mengizinkan.
Rasa lelah yang mengiringi
kebahagiaanku seketika lenyap, tatkala suamiku menyerahkan amplop berwarna ungu
yang di temukannya di teras rumah. Tanpa kesabaran sedikitpun kubuka isi amplop
itu, dan aku sangat yakin bahwa pengirimnya masih orang yang sama. Pasti ini
kelanjutan kisahnya, batinku.
Tak ku hiraukan tatapan heran
suamiku, terus saja kubaca tulisan tangan yang tampak terburu-buru itu. Diawali
dengan ucapan selamat atas pernikahan dan wisudaku dia melanjutkan kisah
hidupnya. Setelah pesta pertunangan yang sangat meriah itu, dia mengaku semakin
dekat dengan kekasihnya, orang tuanya sudah tak lagi menggubris apapun yang
mereka lakukan. Kerap kali dia pergi tanpa izin dari asramanya hanya untuk menemui
kekasihnya. Berbagai pelanggaran sudah dia lakukan, namun dia bahagia karena
apa yang dia lakukan ini untuk kelangsungan hubungannya dengan sang kekasih.
Hingga suatu hari dia dikeluarkan dari asrama karena sudah terlalu banyak tata
tertib yang dilanggar. Dan hal ini justru membuatnya senang. Keluarnya dia dari
asrama berarti menambah peluang untuk bertemu dengan kekasihnya. Tanpa henti
kuburu tulisan itu dengan mataku yang semakin cermat. Hingga akhirnya kutemukan
tulisan yang mengusik hatiku.
Aku sadar, dalam al-Qur’an
sebagai pedomanku, Allah berfirman bahwa kita dilarang untuk mendekati zina,
apalagi melakukannya. Sayangnya, mataku telah buta. Aku teramat malu untuk
mengakui hal ini, bahwa kedekatanku dengannya sudah layaknya kedekatan dua
insan yang mengarungi hubungan rumah tangga. Melakukan hubungan yang hanya
diperbolehkan setelah ikrar suci pernikahan, telah menjadi sarapan rutin kami,
dan bodohnya aku begitu saja menyerahkan kehormatanku sebagai wanita.
Jlep! Tanganku bergetar hebat
setelah membaca tulisan itu, mutiara bening tak dapat lagi aku bendung,
seketika mereka berlomba membasahi pipiku. Disatu sisi aku ucapkan rasa syukur
kepada sang khaliq yang masih berkenan untuk menjaga kesucianku hingga aku di
pertemukan dengan seorang pemuda pilihannya untuk menjadi imamku. Disisi lain,
aku turut merasakan sakit yag diderita oleh gadis itu.
***
Mei 2011
Aku
merasa sangat lelah akhir-akhir ini, dan kisah gadis pengirim surat tanpa
identitas itu menjadi salah satu beban pikiranku. Siapa dia sebenarnya?
Darimana dia mengenalku? Darimana dia tahu aktifitasku? Jujur, kehidupanku
mulai terusik semenjak kehadiran surat-suratnya yang seakan-akan berteriak
minta tolong.
Suamiku
sering menegurku, saat ditemuinya aku sedang duduk terdiam dengan tatapan
kosong. Omelan-omelan kecil tak jarang terlontar yang ku artikan sebagai bentuk
perhatiannya kepadaku. Aku tahu dia sangat mencintaiku dan seseorang yang kini
menjadi penghuni rahimku. Dua bulan usia kandunganku, mengharuskanku serba
berhati-hati.
Baru
kemarin kuterima lagi surat dari orang yang sama, dan masih tanpa identitas.
Surat ketiga ini dititipkannya pada tetangga sebelah rumahku. Saat aku tanya
siapa yang mengantarkan surat ini, tetanggaku menjawab pengantarnya adalah
perempuan berjilbab dan bercadar. Kesal memang perasaanku atas kehadiran
surat-surat ini, tapi rasa penasaranku melebihi rasa kesalku.
Dia
berkisah bahwa hubungan dengan sang kekasih kandas. Lantaran tunangannya tak
kunjung menemukan pekerjaan sedangkan orangtuanya menuntut pekerjaan yang
mapan. Yang lebih menyakitkan adalah dia hamil tujuh belas minggu. Kebingungan
hebat telah melandanya, dengan situasi yang serba sulit. Sedemikian rupa
disembunyikan kandungannya. Namun apalah daya, sepandai-pandai tupai melompat
pasti suatu ketika bakalan jatuh juga.
Sang
ibu menyadari perubahan tubuhnya. Dan mengurungnya dikamar, setelah dihujani
dengan cacian. Dia sadar, bahwa apa yang telah dilakukannya ini merupakan
pukulan berat bagi orang tuanya. Anak semata wayang dari keluarga terpandang
harus menanggung beban moral.
Tak
usai, tepat jam dua malam sang ibu memasuki kamar dan memintanya untuk pergi
dari rumah dengan segala sesuatu yang telah dipersiapkan. Hatinya miris
bercampur bingung, saat dijumpainya mobil kijang telah bertengger di halaman
rumahnya. Dengan hati pasrah diikutinya titah sang ibu untuk memasuki mobil
yang berisi dua orang lelaki suruhan ibunya untuk mengantar ke suatu tempat.
Airmata
tertahan yang menemaninya memasuki bangunan kecil di dalam hutan. Di temuinya
banyak gadis-gadis belia seusianya disana, barulah dia mengerti di tempat
seperti apa kini dia berada. Tempat pengaborsian bayi. Tak bisa berkutik saat
dia dipaksa untuk memasuki ruang aborsi. Gelap. Pandangannya gelap. Setelah
beberapa saat dia sadarkan diri, dia sudah dalam keadaan tak lagi mengandung.
Anaknya telah dibuang.
***
September 2011
Assalamu’alaikum wr.wb.
Semoga tetap dalam lindungan-Nya..
Amin..
Mungkin ini sebagai surat terakhir yang aku kirimkan
padamu.
Aku tahu kau mampu untuk membantuku..
Tapi sebelumnya aku mengenalkan namaku Ananda..
Jangan tanya mengapa aku mengirimkan surat-surat berkala
itu padamu..
Semua mengandung arti…
Namun tak usahlah kau gubris..
Alasan mengapa aku memilihmu yang mendengar ceritaku?
Karena aku ingin kau menyebarkannya..
Jangan tanya darimana aku tahu kamu..
Itu bukan merupakan hal penting..
Kau penuliskan?
Surat ini bisa dikata merupakan surat permohonan..
Aku mohon kau tulis kisahku ini..
Katakan pada para gadis..
Cinta yang haqiqi..
Adalah cinta yang didasari karena Allah..
Cinta yang lahir setelah ikrar pernikahan..
Cinta yang hadir sebelum pernikahan hanyalah cinta semu..
Katakan pada para gadis..
Jangan biarkan sang kumbang menghisap madu..
Sebelum mereka berani mengatakan qobiltu di depan
penghulu..
Jangan terlena oleh rayuan jemu..
Yang justru menghancurkanmu..
Katakan pada para gadis..
Cukup aku dan kisahku yang kelabu..
Menjalani skenario tanpa menghiraukan rambu..
Kini tersisa penyesalan yang memburu..
Surabaya, 2 september 2011
Ananda
Tangisku pecah tatkala kubaca surat dari gadis yang akhirnya
ku ketahui bernama Ananda. Terima kasih terucap atas kepeduliannya terhadap
gadis lain. Betapa mulianya hati gadis ini. Dan aku berjanji untuk mengangkat
kisahnya dalam tarian jemariku. Sebagai tanda terima kasih telah menjadi
inspirasiku dan semoga bisa menjadi inspirasi orang lain.
( untuk seseorang yang jejak kisahnya tertinggal dihidupku )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar