Sabtu, 12 Oktober 2013

sepucuk kisah ananda





17 Agustus 2010
Entah apa maksud dari semua lembaran ini. Hanya dapat membuatku tertegun dalam setiap huruf yang tertata rapi. Semacam surat jika bisa kukatakan. Atau lebih pantas dikatakan catatan harian yang sengaja dikirimkan pemiliknya padaku. Wanita, pasti penulisnya seorang wanita.Tertulis jelas, dia adalah salah seorang penghuni sekolah berasrama di kota pahlawan, Surabaya. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun, kelas dua SMA. Dia bersekolah disana hanya untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Hal ini menyebabkan dia harus berjauhan dengan kekasihnya.
Bisa dikatakan hal ini merupakan sesuatu yang misterius. Atau hanya lelucon seseorang yang ingin menggangguku, dengan menceritakan kisah pribadinya bahwa dia sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihnya. Namun, jika aku boleh jujur, rasa penasaran menyelimutiku. Ya, aku penasaran kelanjutan kisahnya.

***
17 Januari 2011
Aku mencintainya, bahkan teramat sangat mencintainya. Entah apa yang membuatku tak mampu sedetikpun membuangnya dari ingatanku. Padahal  Dia hanyalah pemuda biasa, kakak kelasku yang terpaut usia tiga tahun denganku. Ini salah satu alasan orang tuaku menyekolahkanku di sekolah berasrama. Di sebuah sekolah yang terisolasi dari lawan jenis. Baik pengajar maupun yang belajar semua kaum hawa. Sangat menjemukan. Dengan segudang peraturan yang tak ayal membuat leherku seakan tercekat. Bahkan komunikasi dengan orang di luar asramapun terbatas. Bukan karena komunikasi dengan orang tua yang aku permasalahkan, melainkan dengan dia, seorang pemuda yang kurasa sangat berarti kehadirannya dalam hidupku.
Jika ditanya mengapa aku memilihnya untuk diriku, maka aku hanya mampu terbungkam.Karena tak mampu aku menuliskan kata-kata yang tepat mengisyaratkannya.Aku sadar, bahkan terlalu sadar, bahwa ini keterlaluan. Mengingatnya melebihi waktu untuk mengingat penciptaku. Sehingga tak bisa kuhindari apapun yang dipintanya dariku. Semuanya menjanjikan keabadian. Seakan meyakinkan bahwa kita akan selalu bersama.
Setahun yang lalu, di bulan ini orang tuaku akhirnya luluh. Mereka mengizinkanku untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Walaupun semua ini terjadi karena “ rengekanku”. Aku tahu, orang tuaku masih sangat tidak merestui hubungan yang terjalin. Dengan berbagai macam alasan. Diantaranya karena dia pengangguran, tak berpendidikan dan hal-hal yang membedakan status sosial antara aku dan dia.
Pesta yang sangat meriah sebagai hadiah “ terpaksa” dari orang tuaku. Undangan tersebar luas, acara yang meninggalkan decak kagum hadirin yang datang.inilah kebahagiaan kita. Namun, hal sebaliknya yang dirasakan orang tuaku. Tak sedikit temanku bertanya mengapa orang tuaku bisa merestui? Hanya senyuman yang menjadi jawabanku.
Ini surat keduanya yang dia kirimkan kepadaku, masih belum mampu aku menerjemahkan tujuannya mengirimkan lembaran-lembaran ini padaku. Siapa gerangan pengirim tulisan ini? apakah dia ingin mencari solusi? Atau sekedar mencari teman untuk mencurahkan isi hatinya. Lantas darimana dia tahu alamat rumahku? Apa aku mengenalnya?
Kugabungkan lembaran surat ini dengan surat yang terdahulu, kucermati kembali huruf demi hurif yang tertera. Dapat aku simpulkan dia seorang gadis yang menjalin hubungan dengan seorang pemuda tanpa restu dari orang tuanya. Ingin sekali aku membalas surat- surat yang telah dikirimkannya padaku. Sebagai salah satu bukti bahwa aku menghargai tulisannya. Namun, tak jarang aku berfikir, mungkin dia hanya membutuhkan orang yang dapat menampung ceritanya tanpa harus mendapat tanggapan.
***
Akhir Februari 2011

Alhamdulillah aku diwisuda, sarjana sastra bahasa Indonesia telah aku sandang. Sesuai dengan cita-citaku dari kecil. Mendapatkan Indeks Prestasi diluar dugaan. Sujud syukur kupersembahkan kepada tuhanku, sebagai rasa terima kasih atas anugerah yang telah diberikannya kepadaku. Senyum bahagia terpancar diwajah kedua orang tua dan suamiku. Aku telah menikah, seminggu sebelum aku diwisuda menjadi sarjana sastra bahasa Indonesia. Semua ini keinginan suamiku, dia ingin aku sudah sah menjadi istrinya ketika dia hadir mendampingi prosesi wisudaku.
Ada sedikit kemiripan antara kisahku dengan gadis pengirim surat berkala tanpa nama itu. Kita sama-sama menjalin hubungan dengan kakak kelas, yang membedakan hanyalah aku mendapat restu dari kedua orang tuaku sedangkan dia tidak. Restu kedua orang tua adalah salah satu peganganku untuk terus melangkah dalam kehidupan. Karena ridho tuhanku ada dalam ridho kedua orang tuaku. Tak mungkin aku bisa meraih semua ini tanpa bimbingan mereka, begitu pula pernikahanku tak akan pernah terjadi jika mereka tak mengizinkan.
Rasa lelah yang mengiringi kebahagiaanku seketika lenyap, tatkala suamiku menyerahkan amplop berwarna ungu yang di temukannya di teras rumah. Tanpa kesabaran sedikitpun kubuka isi amplop itu, dan aku sangat yakin bahwa pengirimnya masih orang yang sama. Pasti ini kelanjutan kisahnya, batinku.
Tak ku hiraukan tatapan heran suamiku, terus saja kubaca tulisan tangan yang tampak terburu-buru itu. Diawali dengan ucapan selamat atas pernikahan dan wisudaku dia melanjutkan kisah hidupnya. Setelah pesta pertunangan yang sangat meriah itu, dia mengaku semakin dekat dengan kekasihnya, orang tuanya sudah tak lagi menggubris apapun yang mereka lakukan. Kerap kali dia pergi tanpa izin dari asramanya hanya untuk menemui kekasihnya. Berbagai pelanggaran sudah dia lakukan, namun dia bahagia karena apa yang dia lakukan ini untuk kelangsungan hubungannya dengan sang kekasih. Hingga suatu hari dia dikeluarkan dari asrama karena sudah terlalu banyak tata tertib yang dilanggar. Dan hal ini justru membuatnya senang. Keluarnya dia dari asrama berarti menambah peluang untuk bertemu dengan kekasihnya. Tanpa henti kuburu tulisan itu dengan mataku yang semakin cermat. Hingga akhirnya kutemukan tulisan yang mengusik hatiku.
Aku sadar, dalam al-Qur’an sebagai pedomanku, Allah berfirman bahwa kita dilarang untuk mendekati zina, apalagi melakukannya. Sayangnya, mataku telah buta. Aku teramat malu untuk mengakui hal ini, bahwa kedekatanku dengannya sudah layaknya kedekatan dua insan yang mengarungi hubungan rumah tangga. Melakukan hubungan yang hanya diperbolehkan setelah ikrar suci pernikahan, telah menjadi sarapan rutin kami, dan bodohnya aku begitu saja menyerahkan kehormatanku sebagai wanita.
Jlep! Tanganku bergetar hebat setelah membaca tulisan itu, mutiara bening tak dapat lagi aku bendung, seketika mereka berlomba membasahi pipiku. Disatu sisi aku ucapkan rasa syukur kepada sang khaliq yang masih berkenan untuk menjaga kesucianku hingga aku di pertemukan dengan seorang pemuda pilihannya untuk menjadi imamku. Disisi lain, aku turut merasakan sakit yag diderita oleh gadis itu.
***


Mei 2011
                Aku merasa sangat lelah akhir-akhir ini, dan kisah gadis pengirim surat tanpa identitas itu menjadi salah satu beban pikiranku. Siapa dia sebenarnya? Darimana dia mengenalku? Darimana dia tahu aktifitasku? Jujur, kehidupanku mulai terusik semenjak kehadiran surat-suratnya yang seakan-akan berteriak minta tolong.
                Suamiku sering menegurku, saat ditemuinya aku sedang duduk terdiam dengan tatapan kosong. Omelan-omelan kecil tak jarang terlontar yang ku artikan sebagai bentuk perhatiannya kepadaku. Aku tahu dia sangat mencintaiku dan seseorang yang kini menjadi penghuni rahimku. Dua bulan usia kandunganku, mengharuskanku serba berhati-hati.
                Baru kemarin kuterima lagi surat dari orang yang sama, dan masih tanpa identitas. Surat ketiga ini dititipkannya pada tetangga sebelah rumahku. Saat aku tanya siapa yang mengantarkan surat ini, tetanggaku menjawab pengantarnya adalah perempuan berjilbab dan bercadar. Kesal memang perasaanku atas kehadiran surat-surat ini, tapi rasa penasaranku melebihi rasa kesalku.
                Dia berkisah bahwa hubungan dengan sang kekasih kandas. Lantaran tunangannya tak kunjung menemukan pekerjaan sedangkan orangtuanya menuntut pekerjaan yang mapan. Yang lebih menyakitkan adalah dia hamil tujuh belas minggu. Kebingungan hebat telah melandanya, dengan situasi yang serba sulit. Sedemikian rupa disembunyikan kandungannya. Namun apalah daya, sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu ketika bakalan jatuh juga.
                Sang ibu menyadari perubahan tubuhnya. Dan mengurungnya dikamar, setelah dihujani dengan cacian. Dia sadar, bahwa apa yang telah dilakukannya ini merupakan pukulan berat bagi orang tuanya. Anak semata wayang dari keluarga terpandang harus menanggung beban moral.
                Tak usai, tepat jam dua malam sang ibu memasuki kamar dan memintanya untuk pergi dari rumah dengan segala sesuatu yang telah dipersiapkan. Hatinya miris bercampur bingung, saat dijumpainya mobil kijang telah bertengger di halaman rumahnya. Dengan hati pasrah diikutinya titah sang ibu untuk memasuki mobil yang berisi dua orang lelaki suruhan ibunya untuk mengantar ke suatu tempat.
                Airmata tertahan yang menemaninya memasuki bangunan kecil di dalam hutan. Di temuinya banyak gadis-gadis belia seusianya disana, barulah dia mengerti di tempat seperti apa kini dia berada. Tempat pengaborsian bayi. Tak bisa berkutik saat dia dipaksa untuk memasuki ruang aborsi. Gelap. Pandangannya gelap. Setelah beberapa saat dia sadarkan diri, dia sudah dalam keadaan tak lagi mengandung. Anaknya telah dibuang.
***
September 2011
Assalamu’alaikum wr.wb.
Semoga tetap dalam lindungan-Nya..
Amin..

Mungkin ini sebagai surat terakhir yang aku kirimkan padamu.
Aku tahu kau mampu untuk membantuku..
Tapi sebelumnya aku mengenalkan namaku Ananda..
Jangan tanya mengapa aku mengirimkan surat-surat berkala itu padamu..
Semua mengandung arti…
Namun tak usahlah kau gubris..
Alasan mengapa aku memilihmu yang mendengar ceritaku?
Karena aku ingin kau menyebarkannya..
Jangan tanya darimana aku tahu kamu..
Itu bukan merupakan hal penting..
Kau penuliskan?
Surat ini bisa dikata merupakan surat permohonan..
Aku mohon kau tulis kisahku ini..

Katakan pada para gadis..
Cinta yang haqiqi..
Adalah cinta yang didasari karena Allah..
Cinta yang lahir setelah ikrar pernikahan..
Cinta yang hadir sebelum pernikahan hanyalah cinta semu..

Katakan pada para gadis..
Jangan biarkan sang kumbang menghisap madu..
Sebelum mereka berani mengatakan qobiltu di depan penghulu..
Jangan terlena oleh rayuan jemu..
Yang justru menghancurkanmu..

Katakan pada para gadis..
Cukup aku dan kisahku yang kelabu..
Menjalani skenario tanpa menghiraukan rambu..
Kini tersisa penyesalan yang memburu..

Surabaya, 2 september 2011
Ananda

Tangisku pecah tatkala kubaca surat dari gadis yang akhirnya ku ketahui bernama Ananda. Terima kasih terucap atas kepeduliannya terhadap gadis lain. Betapa mulianya hati gadis ini. Dan aku berjanji untuk mengangkat kisahnya dalam tarian jemariku. Sebagai tanda terima kasih telah menjadi inspirasiku dan semoga bisa menjadi inspirasi orang lain.

( untuk seseorang yang jejak kisahnya tertinggal dihidupku )




               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar