Pekat.
Sepekat kopi tanpa sebulir gulapun. Dan disini tersaji rasa serupa saat ku
tenggelam dalam penantian. Semilir angin tak dapat terelakkan, merengkuh dingin
tubuhku dalam kegelapan. Kembali kumenatap petunjuk waktu, mengangguk tanda
setuju dengan apa yang akan kulakukan.
Terseok
kulontarkan untaian doa, untuk mereka yang senantiasa menjadikanku tempat
bermuara kasih.
Tuhan,
tak bisakah kau hapus luka disetiap kerut wajah mereka?
Jera
aku menjadi penyebab setiap duka
Kirimlah
dia untuk menjemputku
Sebagai
pengganti sayatan perih yang kusebabkan
Manusia
berkata, kaulah tempat meminta
Pelipur
lara
***
Perempuan
itu datang lagi, dengan seulas senyum menyapaku. Ah, pekerjaan yang menuntutnya
untuk melesikkan senyum dimataku. Percikan-percikan pertanyaan terlontar begitu
antusias. Dan aku lebih suka memperhatikan setiap gerakan bibirnya daripada
harus menjawab pertanyaan yang semakin membosankan.
Ibu
sembari merangkul pundakku, memintaku menjawab semua pertanyaan wanita itu,
yang disebutnya dengan julukan dokter. Namun, aku terlalu letih, malas dan
terlebih tak lagi percaya dengan setiap ungkapan manusia.
Silih
berganti scenario Tuhan terlaksana
Tak
habis ku berpikir,,
Dihalaman
keberapa Tuhan akan membubuhkanmu menjadi penutup ceritaku
Dan
jiwaku terseret dalam ketidak pastian
Ragaku
terpatri dalam kesendirian
***
Kugenggap
tangan ibu, mencari kejujuran di lubuk hatinya. Kubantah semua tudingan licik
mereka. Secarik kertas kuserahkan, dan sejenak kemudian mata kita beradu.
Kuanggukkan kepala tanda bersungguh-sungguh menginginkannya.
Rintik
hujan menjadi saksi cerita malam.
Saat
kuhirup setiap cemohan dari para penghuni alam.
Semakin
lama aku tenggelam dalam amarah yang tak kunjung meredam.
“
berbicaralah”
Dokter
itu kini tak lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat aku kian bosan.
Namun, dia memberikan perintah untuk berbicara. Apa yang harus kubicarakan? Aku
tak mengenalnya. Dimulai dari huruf apakah aku harus membuka pembicaraan?
Apakah dia bisa dipercaya? Sanggupkah dia menyimpan semua ceritaku? Ah, aku tak
percaya.
“
dulu dia pribadi yang periang, dok.” Jawab salah satu keluargaku dan ibuku
mulai terisak dalam pelukan ayah.
Jenuh
menatap wajah wanita itu, kualihkan pandangan menatap benda-benda disekitar.
Sebuah tulisan yang cukup jelas menjadikan alasan mengapa aku berada dalam
ruangan ini. Mereka menganggapku GILA. Berapa biaya yang harus dikeluarkan
keluargaku untuk tempat tinggal ini? Serentak tanpa komando bulir-bulir airmata
menyeruak keluar. Kutelungkupkan kedua tangan diatas bantal. Beragam suara
tertangkap telinga memaksaku untuk menegakkan wajah.
***
“aku
baik-baik saja, bu. Aku ingin pulang, disini bukan tempatku, bu.” Rengekku
dihari kesepuluh berada dalam ruangan pengap dan menejuhkan ini.
Tangis
bunda pecah seketika, diciuminya kening dan kedua belah pipiku. Tanpa ada
suara, hangat peluknya menjadi tanda bahagia yang tak terungkap. Ketika
kupertegas lagi keinginanku untuk pulang, hanya anggukan kepala yang menjadi
jawaban.
Sirnakan
luka dalam hatinya
Sunggingkan
senyuman dibibirnya
Tautkan
cinta-Mu dalam langkahnya
Senada
cintanya dalam kisahku
Bergegas
ayah keluar ruangan, dan kembali membawa wanita yang mereka panggil dengan
sebutan dokter. Basa basi dokter itu kembali lagi terngiang ditelingaku, tapi
kini berusaha aku jawab meski aku tak suka. Berharap dengan jawaban-jawabanku
ini, menjadi jalan untuk meninggalkan tempat ini.
Senyuman
melengkung di bibirnya, mungkin dia merasa pekerjaannya berhasil. Ditawarinya
aku pulang keesokan harinya, namun segera kutolak. Sekarang. Kupertegas.
***
Petunjuk
waktu didinding kamarku tak lagi berdenting. Dengan tetap diam membisu
diperhatikannya tetes demi tetes airmataku. Dua belas angka yang senantiasa
dihampirinya dengan tiga buah jarum menjadi saksi perjalanan nafasku.
Bulan
sumringah berdendang menemani bintang. Dan petunjuk waktu yang kini telah
menghampiri angka satu menatapku dengan sendu seraya berbisik, “pejamkanlah
matamu,dan mintalah perlindungan tuhanmu yang tak akan pernah lelah kau mintai
perlindungan. Berhentilah menantinya. Tanpa kau nanti dimasa yang tlah
ditentukan dia akan datang.”
Hening
Sebagian
penghuni alam terbuai dalam mimpi
Sebagian
yang lain mulai beraktivitas
Dan
aku berada diantara keduanya
Ingin
merajut mimpi namun aktivitas otakku tak kunjung usai
***
Deburan
ombak bagai tarian baleria
indah
tertangkap pandangan
ribuan
pasir disapanya
menikmati
sang surya yang mulai terbangun
menuai
tugas dari pemiliknya
“nama
seseorangkah?” satu sapaan pagi ini datang dari orang yang berbeda. Aku tak
mengenalnya.
“nama
sang kekasihkah? Berinisial I, dibelakangnya ada dua huruf M.M, berarti ini
title dari pemilik inisial I?” sambungnya menerka-nerka goresan yang kuciptakan
diatas pasir.
“
senyummu indah” katanya lagi yang menangkap seluet senyum dibibirku
“kau
boleh mengenalku, namun jangan pernah jatuh cinta kepadaku” ucapku seraya
meninggalkan dia termenung sendiri.
***
Dia
datang. Dia benar-benar datang. Aku tak mampu memandangnya namun kehadirannya
dapat kurasa. Sakit. Ya sakit menjadi bukti dari kehadirannya. Ah, haruskah
dengan cara ini kau datang menjemputku? Beragam suara manusia tertangkap, dan
yang paling jelas ditelinga kiriku dilafadzkan asma Tuhanku. Bibirku berusaha
mengikuti suara itu. Mataku sedikit terbuka remang-remang tampak wajah pemuda
yang kularang untuk mencintaiku. Secarik kertas dibawanya entah mengapa begitu
jelas tulisan yang tertera “ Izrail, Malaikat Maut.”. menahan sakit aku
tersenyum, dia berhasil menebak sendiri siapakah yang kumaksud dalam tulisan dipantai
kala itu. Sedetik kemudian airmatanya bertaburan, dan pandanganku padam.
@el_tryana
080615