Suatu malam, seorang pemuda mengambil pisau. Dibelahlah langit yang hitam berhiaskan butir-butir bintang yang disatukan rasi-rasi yang membingungkan. Langit yang lebih mirip jenang bertabur wijen itu menarik selera makannya, satu garis lebih maju dari biasanya. Dipotongnya menjadi segi empat, lalu dimasukkan dalam sebuah amplop untuk dihadiahkan pada kekasihnya yang hendak menikah.
***
Ada yang selalu gelap dari malam, kenangan yang berulang akan keindahan yang tak mungkin diulang. Dia jadi teringat pada jenang yang pertama kali diberikan oleh kekasihnya. Jenang yang selama seminggu tak kunjung dia makan, lantaran takut akan ada yang hilang. Bagian kecil dari potongan rindu yang tak kan bisa dikembalikan. Namun di hari ke tujuh, jenang itu berakhir dengan malang di perut sang pemuda. Kala dia sama sekali tak memegang uang, dan di meja kerjanya tak ada makanan apapun yang bisa dimakan kecuali jenang. Dia hanya berkeyakinan bahwa jenang itu akan diserap sarinya oleh tubuh, dan dia akan mengurung potongan rindu itu selamanya.
Dia lupa kalau ada yang tak abadi. Konon rindu itu abadi, dan cinta itu kekal, hanya saja perasaan manusia bak air laut, yang punya masa pasang surut. Pun dengan sepasang kekasih yang disatukan jenang di suatu siang itu. Selalu ada gravitasi lain, sehingga terjadi pasang surut, dan selalu ada gaya kehendak Tuhan yang tak bisa kita tuntut.
Tuhan selalu punya kehendak mutlak, dia pernah belajar akan hal itu, tapi dia terlalu yakin bahwa jenang telah melekatkan dia dengan kekasihnya. Dan dia ingat sebuah qaidah ushul fikih bahwa "keyakinan tak akan hilang oleh keraguan". Keyakinan yang akhirnya kalah oleh kenyataan.
Dia tak pernah merancang kisahnya menjadi semacam ini. Tak pernah menduga hal-hal yang tak lazim yang disebut fiktif belaka di tivi ternyata di alam nyata bisa juga terjadi. Kabar pertunangan dan pernikahan secara tiba-tiba, yang pernah ditulisnya akhirnya terwujud. Hanya saja nama tokoh dan latar kejadiannya sedikit menimbulkan luka. Tak dalam tapi cukup menghujam untuk mengurangi selera makan.
***
Malam ini selera makannya membuncah, tatkala melihat langit hitam legam, bertabur bintang. Mengingatkannya pada sebuah jenang, yang takdirnya berhenti untuk dikenang. Maka diambilah pisau untuk memotong langit menjadi segi empat, dimasukkannya ke dalam amplop bersama selembar kertas yang bertuliskan :
"Tujh se judaa gar ho jaayenge, to khud se hi ho jaayenge judaa."
(Jika aku berpisah denganMu, maka aku juga berpisah dari diriku sendiri)
Ditatanya serapi mungkin untuk diberikan pada kekasihnya sebagai kado pernikahan.
Surabaya 28 Januari 2016
#belajarnyerpen