Jumat, 23 Januari 2015

bab waris

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi, Tujuan dan Hikmah Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.[1]
Menurut Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim dalam bukunya “ fiqh sunnah wanita” menjelaskan bahwa waris adalah hukum – hukum yang telah ditentukan kadarnya secara syar’i untuk diberikan kepada para mustahiq (pihak yang berhak mendapatkannya) dari harta orang yang meninggal dunia.[2]
Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu waris atau lebih dikenal dengan sebutan faraidh. Kata faraidh (فرائض) merupakan bentuk plural dari kata faridhah (فريضة) yang berarti diwajibkan. Disebut demikian karena di dalamnya membahas tentang bagian – bagian yang ditetapkan menurut syara’.
Secara etimologi, fardh (فرض) adalah ketetapan, seperti firman Allah :
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tetapkan itu.”(QS. Al Baqarah : 237) yaitu, sebagian harta yang telah kamu tentukan.
Menurut syara’, fardh adalah bagian yang ditetapkan untuk ahli waris. Adapun ilmu faraidh, secara syara’ adalah fiqh mawarits, ilmu hitung yang berguna untuk mengetahui setiap bagian ahli waris dalam harta warisan. Ada yang mendefinisikannya sebagai ilmu tentang kaidah – kaidah fikih dan penjumlahan untuk mengetahui setiap bagian ahli waris dan harta warisan.
Ilmu faraidh bisa disebut dengan ilmu mawarits, mirats, turats, dan irts yang menjadi nama barang yang ditinggalkan mayat. Kata itu diambil dari waratsa fulan ghairahu : ‘seseorang mewarisi orang lain’, jika dia mengambil sesuatu dari peninggalan orang lain atau menggantikan urusannya setelah meninggalnya. Seperti firman Allah :
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“dan kepunyaan Allah lah segala warisan di langit dan di bumi. (QS. Ali Imran : 180)
Sudah jelas bahwa pewaris mengganti posisi orang yang telah meninggal dalam memiliki hartanya.[3]
Hukum – hukum pembagian waris bersumber pada :
1.      Al Qur’an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan – ketentuan fard tiap –tiap ahli waris, seperti tercantum dalam surat an Nisa’ ayat 7 :
ِللرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“ bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”


2.      As Sunnah, diantaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.:
“berilah orang – orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masi ng – masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashabah yang lebih dekat, yaitu orang laki – laki yang lebih utama.”(HR. Bukhori dan Muslim)
3.      Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari ijtihad para sahabat.
Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan – pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash yang sharih.[4]
Adapun tujuan dari ilmu faraidh adalah mengetahui harta pusaka yang membedakan setiap ahli waris. Sedangkan hikmah disyariatkannya warisan, diantaranya :
a.       Memuaskan fithrah manusia
Manusia telah diciptakan, begitu pula pada dirinya telah diciptakan rasa kecintaan terhadap anak, yang dipandang sebagai perhiasan dunia. Kecintaan terhadap panjangnya umur si anak dan kehidupannya. Oleh karena itu, ia terlihat berusaha keras demi anaknya. Dengan usaha keras dan kerja ini, ia dapat hidup dan muncul berbagai kebaikan.
Apabila agama mengharamkan warisan, niscaya sia – sia kecintaan terhadap pekerjaan dalam hidup manusia, dirinya akan merasa sempit, dan hidupnya merasa suram. Ia menganggap bahwa usaha kerasnya sia – sia dan buah dari jerih payahnya akan lenyap dan barangkali akan jatuh kepada orang yang tidak ia sukai. Keadaan ini tidak bertentangan dengan fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah untuknya, dan akan hilang dengan kebahagiaannya.
Allah berfirman :
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“ Harta dan anak – anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al Kahfi : 46)
Dan, firmannya yang lain :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
“dihiasi pada diri manusia kecintaan terhadap hawa nafsu, wanita dan anak – anak.” (QS. Ali Imran : 14)
b.      Mewujudkan saling ketergantungan dalam lingkungan keluarga.
Ini terjadi dengan harta yang diperoleh dari warisan, dan dalam hal ini terdapat kemaslahatan.
c.       Menyambung silaturrahim setelah meninggalnya orang yang mewariskan.
Hal ini dengan adanya kerabat si mayat, seperti saudaranya dan kerabat lainnya yang ikut mendapat bagian harta warisan.[5]

B.     Syarat dan Rukun Warisan
Syarat warisan ada tiga, yaitu :
Pertama, wafatnya al – muwarrits (pewarits), baik sebenarnya (haqiqatan) maupun dianggap atau dinyatakan telah meninggal (hukman).
Harta peninggalan seseorang tidak boleh dibagi sebelum pemiliknya benar – benar telah wafat, atau sebelum hakim memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat. Yang terakhir inilah yang dimaksud “kematian secara hukum”. Misalnya, orang yang hilang dan tidak diketahui keadaannya, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Jika hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah wafat berdasarkan beberapa bukti atau indikasi, maka harta peninggalannya boleh dibagikan kepada para ahli warisnya.
Dengan demikian, syarat pertama adalah ia benar – benar telah wafat secara pasti, atau didasarkan pada keputusan hakim bahwa ia dinyatakan telah wafat. Hal ini disebabkan, karena selama manusia masih hidup ia berhak mengelola hartanya dan kepemilikannya masih tetap, sehingga tidak boleh digantikan oleh orang lain. Jika ia sudah wafat, maka ia tidak berdaya sama sekali untuk mengelola harta kekayaan yang menjadi miliknya, sehingga hak kepemilikannya dan berpindah kepada ahli waris.
Kedua, adanya kepastian masih hidupnya al warits (ahli waris) pada waktu pewaris wafat.
Berhubung ahli waris adalah orang yang akan menggantikan kedudukan pewaris dan kepemilikan harta berpindah kepadanya melalui proses kewarisan, maka ketika pewaris wafat ia harus benar – benar dalam keadaan hidup. Dengan demikian ia benar – benar layak menerima kedudukan sebagai pengganti. Karena, bila sudah mati, ia tidak layak memiliki sesuatu, baik melalui proses kewarisan maupun yang lain.
Berdasarkan syarat ini dapat diketahui, bahwa jika ada dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan kerabat yang saling mewarisi wafat dan tidak diketahui secara pasti siapa diantara mereka yang wafat lebih dahulu, maka mereka tidak dapat saling mewarisi dan tidak memperoleh harta peninggalan yang lain. Seperti ayah dan anak yang wafat dalam kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, atau tertimpa bangunan yang roboh, maka mereka tidak saling mewarisi dan tidak berhak memperoleh harta warisan yang lain. Oleh karena itu, tirkah (harta peninggalan mayat) diberikan kepada ahli waris yang benar – benar dipastikan masih hidup.
Ketiga, mengetahui sisi kekerabatan dan jalur kewarisannya seperti ikatan suami istri, ikatan kekerabatan, dan tingkat kekerabatan.
Hal ini dimaksudkan agar seseorang (ulama) yang akan melaksanakan pembagian harta warisan dapat melakukannya dengan mudah dan benar. Karena, hukum kewarisan berbeda – beda menurut perbedaan jalur kewarisan dan tingkat kekerabatan. Oleh karena itu kita tidak cukup hanya dengan mengatakan, “dia adalah saudara laki – laki mayat,” tanpa menjelaskan apakah saudara laki – laki sekandung, seayah, atau seibu, karena masing – masing mempunyai hukum yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Diantara mereka ada yang berhak mendapatkan harta warisan bil fardh yaitu dengan bagian yang pasti, ada yang mendapatkan bit ta’shib yaitu mendapat bagian sisa atau keseluruhan, ada yang mahjub yaitu terhalang tidak mendapatkan apa – apa, dan adapula yang tidak mahjub.[6]
Rukun Warisan ada tiga, yaitu :
1.      Al – Muwarrits (Pewaris). Yaitu, mayat yang harta peninggalannya berhak diwarisi oleh orang lain (ahli waris) sesudah ia wafat.
2.      Al warits (ahli waris). Yaitu, orang yang berhak memperoleh pembagian harta warisan mayat karena mempunyai satu dari tiga sebab, yakni ikatan nasab darah / kekerabatan / keturunan), ikatan perkawinan, ataupun ikatan wala’ (memerdekakan hamba sahaya ).
3.      Al Mauruts ( harta warisan ). Yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh mayat, baik berupa uang, tanah, maupun yang lain. Al mauruts ini juga dinamakan al irts, al – turats, al mirats, dan at – tarikah semuanya mempunyai pengertian sama.[7]
C.    Sebab Mendapat dan Tidak Mendapat Warisan
Sebab Mendapat Warisan
Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah menyangkut waris, kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan waris berasal dari bahasa Arab, yaitu warits, secara gramatikal berarti yang tinggal atau yang kekal, maka dengan demikian apanila dihubungkan dengan persoalan hukum waris tersebut berarti orang – orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan popular diistilahkan dengan ahli waris.
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapatkan warisan dari si mayat (ahli waris) dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
1.      Hubungan Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri si mayat.
2.      Hubungan Darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah / kekeluargaan dengan si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain – lain.
3.      Memerdekakan si Mayat
Seseorang dapat memperoleh warisan (menjadi ahli waris) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki – laki atau seorang perempuan.
4.      Sesama Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.[8]

Sebab Tidak Mendapat Warisan
Hal – hal yang mencegah kewarisan ialah segala sesuatu yang menghalangi seorang ahli waris untuk mendapatkan hak waris, terdiri dari tiga hal sebagai berikut :
1.      Budak, dengan berbagai macamnya
Budak ini bisa menghalangi dari dua arah. Seorang budak tidak dapat menjadi pewaris karena apabila dia dapat menerima waris, apa yang ia warisi menjadi milik majikannya.
Di sisi lain, seorang budak adalah orang lain bagi orang yang mewariskan. Budak juga tidak bisa menjadi pewaris karena tidak memiliki hak milik, bahkan dirinya dan semua yang menyertainya adalah milik majikannya. Hanya saja, kalau budak muba’adh [9]sebagian hartanya yang merdeka dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
2.      Membunuh
Ahli waris sama sekali tidak dapat menerima warisan dari orang yang dibunuhnya, baik pembunuhan tersebut dilakukan secara disengaja ataupun tersalah karena menjalankan hak (qishas) atau bukan, dengan vonis hakim, adanya perkara yang menyebabkan dia pantas dibunuh atau karena adanya laporan seseorang. Sebab membunuh itu bisa memutus perwalian, sedangkan perwalian itu adalah sebab mewarisi.
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Pembunuh tidak mendapatkan apa – apa.” Yaitu, warisan. Dan sabdanya, “Pembunuh tidak boleh menerima waris.”(HQ. Abu Daud no. 4564)
Namun, orang yang dibunuh dapat menerima waris dari orang yang membunuhnya. Semisal, ada seorang anak yang melukai ayahnya yang menyebabkan meninggal, kemudian anak itu lebih dahulu meninggal sebelum ayahnya, maka bapak sebagai yang dilukai dapat menerima warisan dari anaknya yang telah membunuhnya karena tidak ada perkara yang menghalanginya untuk menerima waris.
3.      Perbedaan agama
Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam, begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan terputusnya hubungan perwalian antara keduanya. Rasulullah saw. Telah bersabda, “Seorang Muslim tidak bisa mewarisi orang akfir, dan orang kafir tidak bisa mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Orang yang keluar dari agama Islam juga disebut orang kafir, ia sama saja tidak bisa mewaris dari siapa pun. Hartanya merupakan fay’ sehingga dimasukkan ke baitul mal, baik harta itu didapatkan di waktu masih memeluk Islam atau semasa kemurtadannya. Adapun orang kafir, mereka bias saling mewarisi dengan agama yang berbeda – beda. Nasrani boleh mewarisi orang Yahudi, Yahudi boleh mewarisi Majusi, Majusi bias mewarisi Watsani dan demikian pula sebaliknya, mereka dapat saling mewarisi. Karena dalam warisan, semua orang kafir satu agama.

Allah swt. berfirman :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“ Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus : 32)
Akan tetapi, para fuqaha’ mengecualikan hal saling mewarisi antara orang – orang kafir, yakni antara kafir dzimmi dan kafir harbi. Menurut mereka, keduanya tidak boleh saling mewarisi, meskipun keduanya berasal dari satu agama. Yahudi, misalnya. Ini karena perwalian antara keduanya sudah terputus.[10]

D.    Hak – hak yang berkaitan dengan harta peninggalan (tirkah)
Bila seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris, maka tidaklah muthlak seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris tersebut menjadi hak ahli waris, sebab di dalam harta peninggalan si pewaris tersebut masih ada hal – hal lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.[11]
Adapun hak – hak yang berkaitan dengan harta peninggalan secara berurutan adalah sebagai berikut :
1.      Perawatan Mayat
Mayat diurus (tajhiz) dan dikafani dengan biaya yang wajar, tidak berlebihan dan tidak pula terlalu sempit. Yang dimaksud dengan tajhiz al – mayyit adalah suatu tindakan yang diperlukan oleh mayat sejak saat wafatnya hingga penguburannya. Adapun biaya yang diperlukan untuk mengurus mayat adalah biaya memandikan, mengkafankan, menguburkan, dan biaya – biaya lain yang diperlukan hingga ia berada di tempat peristirahatannya yang terakhir. Semua biaya tersebut dibayarkan dari harta peninggalan mayat yang nilainya bervariasi sesuai dengan kondisi harta mayat, apakah ia termasuk orang kaya atau orang miskin, dan apakah ia laki – laki atau perempuan.[12]
2.      Hutang Pewaris
Apabila mayat yang meninggalkan hutang kepada seseorang, maka seharusnya hutang tersebut dilunasi/dibayar terlebih dahulu (dari harta peninggalan si mayat) sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya.[13]
Para ahli hokum Islam mengelompokkan hutang seseorang itu menjadi dua kelompok :
a.       Hutang terhadap sesame manusia, atau dalam istilah hokum Islam disebut juga dengan dain al – “ibad
b.      Hutang kepada Allah swt atau dalam istilah hokum Islam disebut juga dengan dain Allah[14]
3.      Wasiat Pewaris
Wasiat mayat yang tidak lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah seluruh harta peninggalannya dan diberikan kepada selain ahli waris harus dilaksanakan tanpa tergantung pada izin siapa pun. Wasiat ini wajib dilaksanakan sesudah melunasi biaya tajhiz al – mayyit dan hutang – hutangnya.  Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah saw. Kepada Sa’ad bin Abi Waqqash :
الثلث والثلث كثير إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس
 “(Hendaklah engkau berwasiat) sepertiga saja (dari harta bendamu) karena sepertiga itu sudah cukup banyak. Bila engkau (pergi) meninggalkan ahli warismu yang kaya, jauh lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka (dalam kondisi) tak punya apa – apa, (menjadi beban orang lain dan) selalu tengadahkan tangan memohon belas kasihan orang.”
Rasulullah juga bersabda :
إن الله تصدق عليكم عند وفاتكم بثلث أموالكم زيادة في أعمالكم
“ Allah memberikan sepertiga harta menjelang kematian untuk diwasiatkan, sebagai penambah amal baik kalian.”
Adapun wasiat yang lebih dari segitiga (1/3), maka bagian yang lebihnya itu tidak dapat dilaksanakan kecuali jika mendapat persetujuan seluruh ahli waris.[15]
4.      Hibah Pewaris
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang member kepada tangan orang yang diberi.[16]
Apabila diperhatikan ketentuan – ketentuan hokum Islam tentang pelaksanaan hibah ini, maka hibah tersebut harus dilaksanakan dengan cara sebagai berikut.
a.       Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
b.      Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan, dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak dalam hokum (misalnya belum dewasa atau kurang sehat akalnya), maka penerimaan dilakukan oleh walinya.
c.       Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh pemberi hibah.
d.      Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunnah), hal ini dimaksudkan untuk menghindari saling sengketa dibelakang hari.[17]
Dengan demikian, apabila penghibahan telah dilakukan semasa hidupnya (mayat) dan ketika itu belum sempat dilakukan penyerahan barang, maka sebelum harta dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hibah tersebut.[18]













BAB III
KESIMPULAN
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu waris atau lebih dikenal dengan sebutan faraidh.
Syarat warisan ada tiga, yaitu :
Pertama, wafatnya al – muwarrits (pewarits), baik sebenarnya (haqiqatan) maupun dianggap atau dinyatakan telah meninggal (hukman).
Kedua, adanya kepastian masih hidupnya al warits (ahli waris) pada waktu pewaris wafat.
Ketiga, mengetahui sisi kekerabatan dan jalur kewarisannya seperti ikatan suami istri, ikatan kekerabatan, dan tingkat kekerabatan.
Rukun Warisan ada tiga, yaitu :
1.      Al – Muwarrits (Pewaris).
2.      Al warits (ahli waris).
3.      Al Mauruts ( harta warisan ).
Sebab Mendapat Warisan
1.      Hubungan Perkawinan
2.      Hubungan Darah
3.      Memerdekakan si Mayat
4.      Sesama Islam
Sebab Tidak Mendapat Warisan
1.      Budak, dengan berbagai macamnya
2.      Membunuh
3.      Perbedaan agama

Hak – hak yang berkaian dengan harta peninggalan (tirkah)
1.      Perawatan Mayat
2.      Hutang Pewaris
3.      Wasiat Pewaris
4.      Hibah Pewaris