BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi, Tujuan dan Hikmah Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras bentuk jamaknya
adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan
dibagikan kepada ahli warisnya.[1]
Menurut Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim dalam bukunya “ fiqh
sunnah wanita” menjelaskan bahwa waris adalah hukum – hukum yang telah
ditentukan kadarnya secara syar’i untuk diberikan kepada para mustahiq (pihak
yang berhak mendapatkannya) dari harta orang yang meninggal dunia.[2]
Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu waris atau lebih
dikenal dengan sebutan faraidh. Kata faraidh (فرائض) merupakan bentuk plural dari kata faridhah
(فريضة) yang berarti diwajibkan. Disebut demikian
karena di dalamnya membahas tentang bagian – bagian yang ditetapkan menurut
syara’.
Secara etimologi, fardh (فرض) adalah ketetapan, seperti firman Allah :
فَنِصْفُ
مَا فَرَضْتُمْ
“maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tetapkan itu.”(QS. Al Baqarah :
237) yaitu, sebagian harta yang telah kamu tentukan.
Menurut syara’, fardh adalah bagian yang ditetapkan untuk
ahli waris. Adapun ilmu faraidh, secara syara’ adalah fiqh mawarits,
ilmu hitung yang berguna untuk mengetahui setiap bagian ahli waris dalam harta
warisan. Ada yang mendefinisikannya sebagai ilmu tentang kaidah – kaidah fikih
dan penjumlahan untuk mengetahui setiap bagian ahli waris dan harta warisan.
Ilmu faraidh bisa disebut dengan ilmu mawarits, mirats,
turats, dan irts yang menjadi nama barang yang ditinggalkan
mayat. Kata itu diambil dari waratsa fulan ghairahu : ‘seseorang
mewarisi orang lain’, jika dia mengambil sesuatu dari peninggalan orang lain
atau menggantikan urusannya setelah meninggalnya. Seperti firman Allah :
وَلِلَّهِ
مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“dan
kepunyaan Allah lah segala warisan di langit dan di bumi. (QS. Ali Imran : 180)
Sudah jelas bahwa pewaris mengganti posisi orang yang telah
meninggal dalam memiliki hartanya.[3]
Hukum – hukum pembagian waris bersumber pada :
1.
Al
Qur’an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan
ketentuan – ketentuan fard tiap –tiap ahli waris, seperti tercantum dalam surat
an Nisa’ ayat 7 :
ِللرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا
مَفْرُوضًا
“ bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
2.
As
Sunnah, diantaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.:
“berilah
orang – orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masi ng –
masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashabah yang lebih dekat, yaitu
orang laki – laki yang lebih utama.”(HR. Bukhori dan Muslim)
3.
Sebagian
kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari ijtihad para
sahabat.
Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid dapat
digunakan dalam pemecahan – pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan
oleh nash yang sharih.[4]
Adapun tujuan dari ilmu faraidh adalah mengetahui harta
pusaka yang membedakan setiap ahli waris. Sedangkan hikmah disyariatkannya
warisan, diantaranya :
a.
Memuaskan
fithrah manusia
Manusia telah diciptakan, begitu pula pada dirinya telah diciptakan
rasa kecintaan terhadap anak, yang dipandang sebagai perhiasan dunia. Kecintaan
terhadap panjangnya umur si anak dan kehidupannya. Oleh karena itu, ia terlihat
berusaha keras demi anaknya. Dengan usaha keras dan kerja ini, ia dapat hidup
dan muncul berbagai kebaikan.
Apabila agama mengharamkan warisan, niscaya sia – sia kecintaan
terhadap pekerjaan dalam hidup manusia, dirinya akan merasa sempit, dan
hidupnya merasa suram. Ia menganggap bahwa usaha kerasnya sia – sia dan buah
dari jerih payahnya akan lenyap dan barangkali akan jatuh kepada orang yang
tidak ia sukai. Keadaan ini tidak bertentangan dengan fitrah manusia yang telah
diciptakan oleh Allah untuknya, dan akan hilang dengan kebahagiaannya.
Allah
berfirman :
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“
Harta dan anak – anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al Kahfi : 46)
Dan,
firmannya yang lain :
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
“dihiasi
pada diri manusia kecintaan terhadap hawa nafsu, wanita dan anak – anak.” (QS.
Ali Imran : 14)
b.
Mewujudkan
saling ketergantungan dalam lingkungan keluarga.
Ini terjadi dengan harta yang diperoleh dari warisan, dan dalam hal
ini terdapat kemaslahatan.
c.
Menyambung
silaturrahim setelah meninggalnya orang yang mewariskan.
Hal ini dengan adanya kerabat si mayat, seperti saudaranya dan
kerabat lainnya yang ikut mendapat bagian harta warisan.[5]
B.
Syarat dan Rukun Warisan
Syarat
warisan ada tiga, yaitu :
Pertama, wafatnya al
– muwarrits (pewarits), baik sebenarnya (haqiqatan) maupun dianggap
atau dinyatakan telah meninggal (hukman).
Harta peninggalan seseorang tidak boleh dibagi sebelum pemiliknya
benar – benar telah wafat, atau sebelum hakim memutuskan bahwa yang
bersangkutan telah wafat. Yang terakhir inilah yang dimaksud “kematian secara hukum”.
Misalnya, orang yang hilang dan tidak diketahui keadaannya, apakah ia masih
hidup atau sudah mati. Jika hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah wafat
berdasarkan beberapa bukti atau indikasi, maka harta peninggalannya boleh
dibagikan kepada para ahli warisnya.
Dengan demikian, syarat pertama adalah ia benar – benar telah wafat
secara pasti, atau didasarkan pada keputusan hakim bahwa ia dinyatakan telah
wafat. Hal ini disebabkan, karena selama manusia masih hidup ia berhak
mengelola hartanya dan kepemilikannya masih tetap, sehingga tidak boleh
digantikan oleh orang lain. Jika ia sudah wafat, maka ia tidak berdaya sama
sekali untuk mengelola harta kekayaan yang menjadi miliknya, sehingga hak
kepemilikannya dan berpindah kepada ahli waris.
Kedua, adanya
kepastian masih hidupnya al warits (ahli waris) pada waktu pewaris
wafat.
Berhubung ahli waris adalah orang yang akan menggantikan kedudukan
pewaris dan kepemilikan harta berpindah kepadanya melalui proses kewarisan,
maka ketika pewaris wafat ia harus benar – benar dalam keadaan hidup. Dengan
demikian ia benar – benar layak menerima kedudukan sebagai pengganti. Karena,
bila sudah mati, ia tidak layak memiliki sesuatu, baik melalui proses kewarisan
maupun yang lain.
Berdasarkan syarat ini dapat diketahui, bahwa jika ada dua orang
atau lebih yang mempunyai hubungan kerabat yang saling mewarisi wafat dan tidak
diketahui secara pasti siapa diantara mereka yang wafat lebih dahulu, maka
mereka tidak dapat saling mewarisi dan tidak memperoleh harta peninggalan yang
lain. Seperti ayah dan anak yang wafat dalam kecelakaan pesawat terbang, kapal
laut, atau tertimpa bangunan yang roboh, maka mereka tidak saling mewarisi dan
tidak berhak memperoleh harta warisan yang lain. Oleh karena itu, tirkah
(harta peninggalan mayat) diberikan kepada ahli waris yang benar – benar
dipastikan masih hidup.
Ketiga, mengetahui
sisi kekerabatan dan jalur kewarisannya seperti ikatan suami istri, ikatan
kekerabatan, dan tingkat kekerabatan.
Hal ini dimaksudkan agar seseorang (ulama) yang akan melaksanakan
pembagian harta warisan dapat melakukannya dengan mudah dan benar. Karena, hukum
kewarisan berbeda – beda menurut perbedaan jalur kewarisan dan tingkat
kekerabatan. Oleh karena itu kita tidak cukup hanya dengan mengatakan, “dia adalah
saudara laki – laki mayat,” tanpa menjelaskan apakah saudara laki – laki
sekandung, seayah, atau seibu, karena masing – masing mempunyai hukum yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Diantara mereka ada yang berhak
mendapatkan harta warisan bil fardh yaitu dengan bagian yang pasti, ada
yang mendapatkan bit ta’shib yaitu mendapat bagian sisa atau
keseluruhan, ada yang mahjub yaitu terhalang tidak mendapatkan apa – apa, dan
adapula yang tidak mahjub.[6]
Rukun
Warisan ada tiga, yaitu :
1.
Al –
Muwarrits (Pewaris). Yaitu, mayat yang harta
peninggalannya berhak diwarisi oleh orang lain (ahli waris) sesudah ia wafat.
2.
Al
warits (ahli waris). Yaitu, orang yang
berhak memperoleh pembagian harta warisan mayat karena mempunyai satu dari tiga
sebab, yakni ikatan nasab darah / kekerabatan / keturunan), ikatan perkawinan,
ataupun ikatan wala’ (memerdekakan hamba sahaya ).
3.
Al
Mauruts ( harta warisan ). Yaitu sesuatu
yang ditinggalkan oleh mayat, baik berupa uang, tanah, maupun yang lain. Al
mauruts ini juga dinamakan al irts, al – turats, al mirats,
dan at – tarikah semuanya mempunyai pengertian sama.[7]
C.
Sebab Mendapat dan Tidak Mendapat Warisan
Sebab
Mendapat Warisan
Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam
adalah menyangkut waris, kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan waris
berasal dari bahasa Arab, yaitu warits, secara gramatikal berarti yang
tinggal atau yang kekal, maka dengan demikian apanila dihubungkan dengan
persoalan hukum waris tersebut berarti orang – orang yang berhak untuk menerima
pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan popular
diistilahkan dengan ahli waris.
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab
seseorang itu mendapatkan warisan dari si mayat (ahli waris) dapat
diklarifikasikan sebagai berikut :
1.
Hubungan
Perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)
disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang
tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri si mayat.
2.
Hubungan
Darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)
disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah / kekeluargaan dengan si
mayat, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek,
anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain – lain.
3.
Memerdekakan
si Mayat
Seseorang dapat memperoleh warisan (menjadi ahli waris) dari si
mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal
ini dapat saja seorang laki – laki atau seorang perempuan.
4.
Sesama
Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli
waris sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Mal,
dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.[8]
Sebab
Tidak Mendapat Warisan
Hal – hal yang mencegah kewarisan ialah segala sesuatu yang
menghalangi seorang ahli waris untuk mendapatkan hak waris, terdiri dari tiga
hal sebagai berikut :
1.
Budak,
dengan berbagai macamnya
Budak ini bisa menghalangi dari dua arah. Seorang budak tidak dapat
menjadi pewaris karena apabila dia dapat menerima waris, apa yang ia warisi
menjadi milik majikannya.
Di sisi lain, seorang budak adalah orang lain bagi orang yang
mewariskan. Budak juga tidak bisa menjadi pewaris karena tidak memiliki hak
milik, bahkan dirinya dan semua yang menyertainya adalah milik majikannya.
Hanya saja, kalau budak muba’adh [9]sebagian
hartanya yang merdeka dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
2.
Membunuh
Ahli waris sama sekali tidak dapat menerima warisan dari orang yang
dibunuhnya, baik pembunuhan tersebut dilakukan secara disengaja ataupun
tersalah karena menjalankan hak (qishas) atau bukan, dengan vonis hakim,
adanya perkara yang menyebabkan dia pantas dibunuh atau karena adanya laporan
seseorang. Sebab membunuh itu bisa memutus perwalian, sedangkan perwalian itu
adalah sebab mewarisi.
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah
saw. Bersabda, “Pembunuh tidak mendapatkan apa – apa.” Yaitu, warisan. Dan
sabdanya, “Pembunuh tidak boleh menerima waris.”(HQ. Abu Daud no. 4564)
Namun, orang yang dibunuh dapat menerima waris dari orang yang
membunuhnya. Semisal, ada seorang anak yang melukai ayahnya yang menyebabkan
meninggal, kemudian anak itu lebih dahulu meninggal sebelum ayahnya, maka bapak
sebagai yang dilukai dapat menerima warisan dari anaknya yang telah membunuhnya
karena tidak ada perkara yang menghalanginya untuk menerima waris.
3.
Perbedaan
agama
Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam, begitu juga
sebaliknya. Hal ini dikarenakan terputusnya hubungan perwalian antara keduanya.
Rasulullah saw. Telah bersabda, “Seorang Muslim tidak bisa mewarisi orang
akfir, dan orang kafir tidak bisa mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Orang yang keluar dari agama Islam juga disebut orang kafir, ia
sama saja tidak bisa mewaris dari siapa pun. Hartanya merupakan fay’ sehingga
dimasukkan ke baitul mal, baik harta itu didapatkan di waktu masih memeluk
Islam atau semasa kemurtadannya. Adapun orang kafir, mereka bias saling
mewarisi dengan agama yang berbeda – beda. Nasrani boleh mewarisi orang Yahudi,
Yahudi boleh mewarisi Majusi, Majusi bias mewarisi Watsani dan demikian pula
sebaliknya, mereka dapat saling mewarisi. Karena dalam warisan, semua orang
kafir satu agama.
Allah swt. berfirman :
فَمَاذَا
بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah
kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus : 32)
Akan tetapi, para fuqaha’ mengecualikan hal saling mewarisi antara
orang – orang kafir, yakni antara kafir dzimmi dan kafir harbi. Menurut mereka,
keduanya tidak boleh saling mewarisi, meskipun keduanya berasal dari satu
agama. Yahudi, misalnya. Ini karena perwalian antara keduanya sudah terputus.[10]
D.
Hak – hak yang berkaitan dengan harta peninggalan (tirkah)
Bila seseorang
meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris, maka tidaklah muthlak
seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris tersebut menjadi hak ahli
waris, sebab di dalam harta peninggalan si pewaris tersebut masih ada hal – hal
lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan
kepada ahli waris.[11]
Adapun hak –
hak yang berkaitan dengan harta peninggalan secara berurutan adalah sebagai
berikut :
1.
Perawatan
Mayat
Mayat
diurus (tajhiz) dan dikafani dengan biaya yang wajar, tidak berlebihan dan
tidak pula terlalu sempit. Yang dimaksud dengan tajhiz al – mayyit adalah
suatu tindakan yang diperlukan oleh mayat sejak saat wafatnya hingga
penguburannya. Adapun biaya yang diperlukan untuk mengurus mayat adalah biaya
memandikan, mengkafankan, menguburkan, dan biaya – biaya lain yang diperlukan
hingga ia berada di tempat peristirahatannya yang terakhir. Semua biaya
tersebut dibayarkan dari harta peninggalan mayat yang nilainya bervariasi
sesuai dengan kondisi harta mayat, apakah ia termasuk orang kaya atau orang
miskin, dan apakah ia laki – laki atau perempuan.[12]
2.
Hutang
Pewaris
Apabila
mayat yang meninggalkan hutang kepada seseorang, maka seharusnya hutang
tersebut dilunasi/dibayar terlebih dahulu (dari harta peninggalan si mayat)
sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya.[13]
Para
ahli hokum Islam mengelompokkan hutang seseorang itu menjadi dua kelompok :
a.
Hutang
terhadap sesame manusia, atau dalam istilah hokum Islam disebut juga dengan dain
al – “ibad
b.
Hutang
kepada Allah swt atau dalam istilah hokum Islam disebut juga dengan dain
Allah[14]
3.
Wasiat
Pewaris
Wasiat
mayat yang tidak lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah seluruh harta
peninggalannya dan diberikan kepada selain ahli waris harus dilaksanakan tanpa
tergantung pada izin siapa pun. Wasiat ini wajib dilaksanakan sesudah melunasi
biaya tajhiz al – mayyit dan hutang – hutangnya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah
saw. Kepada Sa’ad bin Abi Waqqash :
الثلث
والثلث كثير إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس
“(Hendaklah engkau berwasiat) sepertiga saja
(dari harta bendamu) karena sepertiga itu sudah cukup banyak. Bila engkau
(pergi) meninggalkan ahli warismu yang kaya, jauh lebih baik daripada engkau
tinggalkan mereka (dalam kondisi) tak punya apa – apa, (menjadi beban orang
lain dan) selalu tengadahkan tangan memohon belas kasihan orang.”
Rasulullah
juga bersabda :
إن
الله تصدق عليكم عند وفاتكم بثلث أموالكم زيادة في أعمالكم
“ Allah memberikan sepertiga harta menjelang
kematian untuk diwasiatkan, sebagai penambah amal baik kalian.”
Adapun
wasiat yang lebih dari segitiga (1/3), maka bagian yang lebihnya itu tidak
dapat dilaksanakan kecuali jika mendapat persetujuan seluruh ahli waris.[15]
4.
Hibah
Pewaris
Kata
hibah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti melewatkan
atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang
yang member kepada tangan orang yang diberi.[16]
Apabila diperhatikan ketentuan – ketentuan hokum Islam tentang
pelaksanaan hibah ini, maka hibah tersebut harus dilaksanakan dengan cara
sebagai berikut.
a.
Penghibahan
dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
b.
Beralihnya
hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan, dan kalau si
penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak dalam hokum (misalnya belum
dewasa atau kurang sehat akalnya), maka penerimaan dilakukan oleh walinya.
c.
Dalam
melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh pemberi
hibah.
d.
Penghibahan
hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunnah), hal
ini dimaksudkan untuk menghindari saling sengketa dibelakang hari.[17]
Dengan demikian, apabila penghibahan telah dilakukan semasa
hidupnya (mayat) dan ketika itu belum sempat dilakukan penyerahan barang, maka
sebelum harta dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan
hibah tersebut.[18]
BAB III
KESIMPULAN
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras bentuk jamaknya
adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan
dibagikan kepada ahli warisnya. Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu
waris atau lebih dikenal dengan sebutan faraidh.
Syarat
warisan ada tiga, yaitu :
Pertama, wafatnya al
– muwarrits (pewarits), baik sebenarnya (haqiqatan) maupun dianggap
atau dinyatakan telah meninggal (hukman).
Kedua, adanya
kepastian masih hidupnya al warits (ahli waris) pada waktu pewaris
wafat.
Ketiga, mengetahui
sisi kekerabatan dan jalur kewarisannya seperti ikatan suami istri, ikatan
kekerabatan, dan tingkat kekerabatan.
Rukun
Warisan ada tiga, yaitu :
1.
Al – Muwarrits (Pewaris).
2.
Al warits (ahli waris).
3.
Al Mauruts ( harta
warisan ).
Sebab
Mendapat Warisan
1.
Hubungan
Perkawinan
2.
Hubungan
Darah
3.
Memerdekakan
si Mayat
4.
Sesama
Islam
Sebab
Tidak Mendapat Warisan
1.
Budak,
dengan berbagai macamnya
2.
Membunuh
3.
Perbedaan
agama
Hak
– hak yang berkaian dengan harta peninggalan (tirkah)
1.
Perawatan
Mayat
2.
Hutang
Pewaris
3.
Wasiat
Pewaris
4.
Hibah
Pewaris