Senin, 12 Desember 2016

JENANG




Suatu malam, seorang pemuda mengambil pisau. Dibelahlah langit yang hitam berhiaskan butir-butir bintang yang disatukan rasi-rasi yang membingungkan. Langit yang lebih mirip jenang bertabur wijen itu menarik selera makannya, satu garis lebih maju dari biasanya. Dipotongnya menjadi segi empat, lalu dimasukkan dalam sebuah amplop untuk dihadiahkan pada kekasihnya yang hendak menikah.

***

Ada yang selalu gelap dari malam, kenangan yang berulang akan keindahan yang tak mungkin diulang. Dia jadi teringat pada jenang yang pertama kali diberikan oleh kekasihnya. Jenang yang selama seminggu tak kunjung dia makan, lantaran takut akan ada yang hilang. Bagian kecil dari potongan rindu yang tak kan bisa dikembalikan. Namun di hari ke tujuh, jenang itu berakhir dengan malang di perut sang pemuda. Kala dia sama sekali tak memegang uang, dan di meja kerjanya tak ada makanan apapun yang bisa dimakan kecuali jenang. Dia hanya berkeyakinan bahwa jenang itu akan diserap sarinya oleh tubuh, dan dia akan mengurung potongan rindu itu selamanya.

Dia lupa kalau ada yang tak abadi. Konon rindu itu abadi, dan cinta itu kekal, hanya saja perasaan manusia bak air laut, yang punya masa pasang surut. Pun dengan sepasang kekasih yang disatukan jenang di suatu siang itu. Selalu ada gravitasi lain, sehingga terjadi pasang surut, dan selalu ada gaya kehendak Tuhan yang tak bisa kita tuntut.
Tuhan selalu punya kehendak mutlak, dia pernah belajar akan hal itu, tapi dia terlalu yakin bahwa jenang telah melekatkan dia dengan kekasihnya. Dan dia ingat sebuah qaidah ushul fikih bahwa "keyakinan tak akan hilang oleh keraguan". Keyakinan yang akhirnya kalah oleh kenyataan.

Dia tak pernah merancang kisahnya menjadi semacam ini. Tak pernah menduga hal-hal yang tak lazim yang disebut fiktif belaka di tivi ternyata di alam nyata bisa juga terjadi. Kabar pertunangan dan pernikahan secara tiba-tiba, yang pernah ditulisnya akhirnya terwujud. Hanya saja nama tokoh dan latar kejadiannya sedikit menimbulkan luka. Tak dalam tapi cukup menghujam untuk mengurangi selera makan.

***

Malam ini selera makannya membuncah, tatkala melihat langit hitam legam, bertabur bintang. Mengingatkannya pada sebuah jenang, yang takdirnya berhenti untuk dikenang. Maka diambilah pisau untuk memotong langit menjadi segi empat, dimasukkannya ke dalam amplop bersama selembar kertas yang bertuliskan :

"Tujh se judaa gar ho jaayenge, to khud se hi ho jaayenge judaa."
(Jika aku berpisah denganMu, maka aku juga berpisah dari diriku sendiri)

Ditatanya serapi mungkin untuk diberikan pada kekasihnya sebagai kado pernikahan.


Surabaya 28 Januari 2016
#belajarnyerpen

Jumat, 11 Maret 2016

Bukan Cintaku Yang Salah

Oleh : Maulidatun Nuril Fitriana
Suara merdunya ketika mengumandangkan ayat-ayat al-Qur’an selalu membuatku berlinang airmata. Syahdu aku terpana. Ketika dia menatapku dengan senyumnya yang menawan, tak sanggup hatiku untuk tak bergetar. Kau ciptaan Tuhan yang terindah.
“ada apa Nan?” pertanyaan yang mengejutkanku.
“ti,tidak ada apa-apa kok Fik.” Aku kian gugup.
“sudah shalat? Kalau belum ayo berjama’ah sama aku.”
“i..iya”
***
Hanya kebahagiaan yang kurasakan ketika bersama dengannya, dia teman satu kostku. Kita sudah terbiasa makan bersama, berangkat ke kampus bersama, bahkan pernah tidur di atas kasur yang sama.
Tuhan tak pernah salah memberikan cinta kepada hamba-Nya
Degup rindu kerap mendera saat ku tak jumpa
Kepada siapapun berbincang walau tak ditanya
Angin media salam cinta
Hujan derai rindu kian membara
Lentur sekali rasanya ku goreskan kata-kata. Ku baca lagi tulisanku, ku baca lagi dan lagi. Aku tertawa kegirangan tanpa ada manusia yang tahu.
***
“Nan, kenapa ketawa-ketawa sendiri?” dia mengejutkanku lagi.
“ah, ndak ada apa-apa!”
“kamu lagi jatuh cinta ya? Ke siapa? Anak kampus kita juga? Apa salah satu cewek di kost seberang jalan itu?” deretan pertanyaan itu terlontar bersama suara cekikikan dan kertas bergoreskan untaian kataku di tangannya.
“Fikri, kembalikan. Bukan siapa-siapa.” Aku yakin wajahku pucat pasi
***
Nanda marahnya udahan ya?
Aku janji nggak bakal iseng lagi, kan kita sodara!
J
Satu sms terkirim ke inbox ku, dan sudah pasti itu dari Fikri. Hampir dua minggu sudah aku menjauhinya. Bukan karena aku marah, hanya saja aku bingung harus bertindak seperti apa ketika berada di hadapannya. Aku sangat malu. Aku takut dia tahu untuk siapa gerangan kutuliskan puisi itu.
Enggan ku balas sms itu, namun rinduku tak lagi mampu terbendung. Lama kubiarkan hp tergeletak mengaung-ngaung dengan bunyinya menandakan ada deretan sms lain yang antri dibaca.
Tok..tok..tok..
Kini dadaku kian berdegup kencang, badanku bergetar hebat. Membuatku tak mampu berjalan. Ku tarik nafas dalam-dalam, dan ku hempaskan perlahan. Setelah dirasa artikulasi darahku kembali berjalan normal, baru kubuka pintu secara perlahan.
“Ya Allah, apa salahku tak bisa dimaafkan? Sampai-sampai kamu nggak mau ketemu aku, nggak bales sms aku, nggak angkat telephon aku?” pertanyaannya kembali bertubi dan aku hanya mampu terdiam
“Nanda Prasetya, aku nggak bisa lama-lama dicuekin sama kamu.”
Deg! Pucuk dicinta ulam pun tibakah? Apakah pernyataan ini menandakan bahwa Fikri memiliki perasaan yang sama denganku? Cintaku tak bertepuk sebelah tangankan? Tuhan benar-benar tak pernah salah mengirim alamat cinta. Kucari jawaban dari pertanyaan hatiku ke dalam mata Fikri.
“kamu nggak boleh ngambek lagi ya, ayo aku traktir makan bakso kesukaanmu.” Masih tanpa sepatah katapun keluar dari bibirku, tanganku sudah di tariknya keluar.
***
“Nanda, aku boleh minta pendapat?” tanyanya serius menatap tajam kearahku
“apa?”
Setelah kulihat dia mengatur nafas, kemudian mengalirlah cerita dari bibirnya bahwa dia selama ini mengamati seorang gadis berjilbab yang satu jurusan dengannya. Matanya berbinar penuh semangat. Entah mengapa hatiku perih mendengarnya.
“intinya kamu mau cerita apa Fik?”kutatap langit mengantisipasi airmataku jatuh
“ Namanya Nafisa, aku ingin segera melamarnya Nan. Meskipun kita belum lulus kuliah, namun niat baik harus disegerakan, benarkan?”
Uhuk! Tenggorokanku tercekat mendengar perkataannya kali ini. Aku tak mampu lagi berdiam diri dihadapan Fikri, seperti tak terjadi apa-apa. Sebelum airmataku mengalir deras, langkah seribu ku tempuh meninggalkannya. Tak kuhiraukan suaranya yang tak henti memanggil.
***
Pening menyergapku. Mataku berkunang saat kucoba membukanya.
“Nanda, kamu sudah sadar?” kupalingkan wajah ke tempat suara itu berasal, Fikri tampak sangat khawatir. Namun, Fikri tidak sendirian. Ada seorang gadis di sebelahnya. Gadis berjilbab.
“siapa dia?” suaraku tertahan
“dia Nafisha, aku bingung mau menghubungi siapa Nan, melihat kondisimu yang tiba-tiba ambruk. Yang ada dipikiranku cuma dia, jadi aku minta dia kesini. Alhamdulillah, dia punya pengalaman di PMR. Jadi..”
“sudah hentikan. Tega kamu Fik!” suaraku kembali tertahan, sedangkan Fikri mengernyitkan wajah tak paham
“ apa kamu tak tahu perasaanku selama ini Fik? Atau hanya pura-pura tak tahu? Aku cinta sama kamu Fik, dan kamu dengan lugas menceritakan tentang orang lain dihadapanku, bahkan meminta pendapatku?”
***
Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!
Sebab cinta adalah anugerah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
(Asma Nadia - Sepotong Cinta dalam Diam)
Lima tahun sudah aku bermukim di negeri orang, bersama malu yang tak kunjung hilang. Pengakuanku tak terelakkan, melesik di hadapan Fikri bahwa aku mencintainya. Masih tergambar jelas wajah kala itu, Fikri sempat tampak terkejut, namun hanya beberapa detik kemudian air mukanya kembali tenang bersama senyum damai diwajah teduhnya.
“sehatkah Nan?”
“bagaimana punya kabar?”
“kenapa tak pernah balas pesanku Nan? Kamu baik-baik sajakan?”
“Nan, kamu dimana?”
“Nan, aku akan menikahi Nafisha bulan depan, aku harap kamu berkenan hadir sebagai sahabat dan saudara terbaikku.”
Sebagian kecil pesan Fikri yang terkirim ke berbagai akun sosmedku. Sengaja tak pernah kubalas, bukan tak ingin hanya tak sanggup.
***
“Assalamu’alaikum” ini salam ketiga kalinya yang kulontarkan sembari mengetuk pintu rumah berwarna coklat itu.
“Wa’alaikum salam.” Seorang wanita berjilbab membukakan pintu
“Nafisha?”tebakku.
“iya, maaf anda siapa ya?”
“Fikrinya ada?” tanyaku tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaannya.
“ada, silahkan masuk.”
Tak lama kemudian, seorang lelaki yang sangat aku kenal dan pernah kucintai ada dihadapanku.
“Nandakah?” tanyanya terkejut dan aku hanya mampu tersenyum
“subhanallah, gimana punya kabar?kemana saja?.” Pelukan hangat diberikannya tanpa ragu, tanpa ada kecanggungan berbeda denganku.
“ini siapa?” tanyanya setelah sadar ada seorang wanita berhijab di sampingku
“assalamu’alaikum, my name is Meirine. I’m her wife.” Tampak wajah mereka terperangah, terkejut tak dapat dihindari.
Kuceritakan semua pengalamanku, dimulai aku harus menanggung malu karena memiliki perasaan kepada sesama jenis, meninggalkan negeri tercinta, meninggalkan kuliah, hingga kemudian bertemu dengan seseorang yang awalnya aku kira akan menghujat keberadaanku seperti yang orang lain lakukan, namun sebaliknya malah memberikan dukungan untuk ‘sembuh’ dari semua penderitaan batin yang kurasa. Ya, dialah Meirine muslimah asal Beijing yang kini telah resmi menjadi istriku. Pilihan tepat untuk mencintai dan dicintai.
Terhadap Fikri, bukan cintaku yang salah. Hanya saja arah cinta yang tak tepat. Namun, tak dapat dipungkiri cintaku terhadap Fikri dulu adalah cara-Nya untuk mempertemukanku dengan cinta yang sebenarnya yaitu cintaku kepada-Nya melalui cintaku kepada Meirine.
Surabaya, 030316






Kamis, 03 Maret 2016

MENCOBA BERSUARA TENTANG LGBT (semoga tak salah)

Oleh : Maulidatun Nuril Fitriana
Masyarakat Indonesia saat ini sedang dihebohkan dengan segala hal mengenai LGBT, banyak yang mencaci maki, mencibir, mengecam, tanpa ada yang mencoba mencari solusi. Ah, kebiasaan lama menghakimi tanpa tahu terlebih dahulu duduk permasalahannya, tanpa mengerti apa yang membuat mereka menjadi seperti itu. Eit, bukan berarti saya mendukung mereka. Saya menentang keras hubungan semacam itu, namun bukan dengan berkoar menjatuhkan mereka.
Sekitar tahun 2008
Masa-masa terakhir saya belajar di salah satu pondok pesantren di Jombang. Banyak sekali tugas akhir yang harus di selesaikan, dan diantaranya harus berupa print out, wal hasil saya harus sering bolak balik ke warnet di sekitar pesantren, mengejar tumpukan tugas karena laptop masih sangat langka masa itu, dan larangan asrama bagi anak yang masih mengenyam bangku sekolah.
***
Anggap saja namanya A, seorang gadis berpenampilan laki-laki penjaga salah satu warnet di sekitar pesantren. A pernah mengenyam pendidikan MTs sejenak pulang pergi dari rumah. Cantik sekali ketika mengenakan jilbab. Namun, karena olokan orang-orang sekitarnya, dia enggan untuk mengenakan jilbab (lagi). Dia lebih suka mengenakan kaos berlapis jaket dengan celana pendek menutupi lututnya. Kuku-kuku jemarinya yang lentik tak terawat sebagaimana mestinya perempuan sangat menjaga penampilan. Suatu hari saya pernah iseng menanyakan gimana pendidikannya setelah putus sekolah, dia dengan santai menjawab “ aku ikut kejar paket.” Agak lega mendengarnya. Dia masih sangat peduli dengan pendidikannya.
***
Sepulang sekolah, tanpa sengaja saya melihat A di bopong teman-teman lelakinya. Kepala menunduk dengan mata merah. Mabuk. Itu prediksi saya melihat keadaannya. Seorang laki-laki cukup dewasa menunggu di pintu warnet. Melihat kedatangannya, tampak sangat kekhawatiran menyelimuti wajahnya.
“ teko endi ae?”[1] tanyanya.
Tak lama kemudian mereka memasuki warnet. Usut punya usut, A kerap kali terlibat tawuran antar lelaki, pernah suatu ketika dia bertengkar dengan seorang lelaki karena merebutkan PEREMPUAN! Nah, ketika kita mengetahui kondisi ini, mayoritas diantara kita akan mengecam tindakannya. Em, istilah LGBT untuk masa kini, namun dulu belum ada istilah seperti itu. Tahu kenapa kita mengecam? Karena kita belum pernah belajar untuk mengertikan dia, belum tahu kondisinya, belum tahu apa penyebabnya, dan kita yang merasa manusia normal dan ta jarang merasa sempurna akan dengan mudah mencibirnya.
Saya yakin, mereka juga tidak menginginkan posisi itu. Mereka juga ingin menjadi seperti kita, hidup normal dan mencintai lawan jenis. Sebagaimana yang telah di nash oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa diciptakan semua makhluk hidup secara berpasangan.
Mereka juga manusia yang lemah seperti kita, bahkan lebih lemah. Sangat lemah. Tekanan terhadap mereka ada dimana-mana, namun tak ada yang mau dan rela membantu mereka. Ya, mereka butuh bantuan. Sangat membutuhkannya. Mereka sedang sakit, kita sebagai manusia yang sehat sudah seharusnya memberikan motivasi agar mereka sembuh.
Keilmuan kini kian canggih, bukankah tidak ada penyakit tanpa obat? Bantu mereka untuk menempatkan diri pada kodrat masing-masing. Kita bukan manusia bodoh, yang diberikan otak hanya untuk memikirkan cacian.
Hati-hati !
Ketika kita dengan mudahnya menjustifikasi mereka, lupakah kita bahwa jika Allah berkehendak maka kita pun bisa berada di posisi mereka. Na’udzubillah. Karena tidak ada hal yang tidak mungkin bagi Allah untuk merubah satu tragedy ke tragedy yang lain.
Mari bantu mereka untuk sembuh.


Lewat tengah malam
                                                                                                            23 Feb 16




[1] “darimana saja?”