Jumat, 11 Maret 2016

Bukan Cintaku Yang Salah

Oleh : Maulidatun Nuril Fitriana
Suara merdunya ketika mengumandangkan ayat-ayat al-Qur’an selalu membuatku berlinang airmata. Syahdu aku terpana. Ketika dia menatapku dengan senyumnya yang menawan, tak sanggup hatiku untuk tak bergetar. Kau ciptaan Tuhan yang terindah.
“ada apa Nan?” pertanyaan yang mengejutkanku.
“ti,tidak ada apa-apa kok Fik.” Aku kian gugup.
“sudah shalat? Kalau belum ayo berjama’ah sama aku.”
“i..iya”
***
Hanya kebahagiaan yang kurasakan ketika bersama dengannya, dia teman satu kostku. Kita sudah terbiasa makan bersama, berangkat ke kampus bersama, bahkan pernah tidur di atas kasur yang sama.
Tuhan tak pernah salah memberikan cinta kepada hamba-Nya
Degup rindu kerap mendera saat ku tak jumpa
Kepada siapapun berbincang walau tak ditanya
Angin media salam cinta
Hujan derai rindu kian membara
Lentur sekali rasanya ku goreskan kata-kata. Ku baca lagi tulisanku, ku baca lagi dan lagi. Aku tertawa kegirangan tanpa ada manusia yang tahu.
***
“Nan, kenapa ketawa-ketawa sendiri?” dia mengejutkanku lagi.
“ah, ndak ada apa-apa!”
“kamu lagi jatuh cinta ya? Ke siapa? Anak kampus kita juga? Apa salah satu cewek di kost seberang jalan itu?” deretan pertanyaan itu terlontar bersama suara cekikikan dan kertas bergoreskan untaian kataku di tangannya.
“Fikri, kembalikan. Bukan siapa-siapa.” Aku yakin wajahku pucat pasi
***
Nanda marahnya udahan ya?
Aku janji nggak bakal iseng lagi, kan kita sodara!
J
Satu sms terkirim ke inbox ku, dan sudah pasti itu dari Fikri. Hampir dua minggu sudah aku menjauhinya. Bukan karena aku marah, hanya saja aku bingung harus bertindak seperti apa ketika berada di hadapannya. Aku sangat malu. Aku takut dia tahu untuk siapa gerangan kutuliskan puisi itu.
Enggan ku balas sms itu, namun rinduku tak lagi mampu terbendung. Lama kubiarkan hp tergeletak mengaung-ngaung dengan bunyinya menandakan ada deretan sms lain yang antri dibaca.
Tok..tok..tok..
Kini dadaku kian berdegup kencang, badanku bergetar hebat. Membuatku tak mampu berjalan. Ku tarik nafas dalam-dalam, dan ku hempaskan perlahan. Setelah dirasa artikulasi darahku kembali berjalan normal, baru kubuka pintu secara perlahan.
“Ya Allah, apa salahku tak bisa dimaafkan? Sampai-sampai kamu nggak mau ketemu aku, nggak bales sms aku, nggak angkat telephon aku?” pertanyaannya kembali bertubi dan aku hanya mampu terdiam
“Nanda Prasetya, aku nggak bisa lama-lama dicuekin sama kamu.”
Deg! Pucuk dicinta ulam pun tibakah? Apakah pernyataan ini menandakan bahwa Fikri memiliki perasaan yang sama denganku? Cintaku tak bertepuk sebelah tangankan? Tuhan benar-benar tak pernah salah mengirim alamat cinta. Kucari jawaban dari pertanyaan hatiku ke dalam mata Fikri.
“kamu nggak boleh ngambek lagi ya, ayo aku traktir makan bakso kesukaanmu.” Masih tanpa sepatah katapun keluar dari bibirku, tanganku sudah di tariknya keluar.
***
“Nanda, aku boleh minta pendapat?” tanyanya serius menatap tajam kearahku
“apa?”
Setelah kulihat dia mengatur nafas, kemudian mengalirlah cerita dari bibirnya bahwa dia selama ini mengamati seorang gadis berjilbab yang satu jurusan dengannya. Matanya berbinar penuh semangat. Entah mengapa hatiku perih mendengarnya.
“intinya kamu mau cerita apa Fik?”kutatap langit mengantisipasi airmataku jatuh
“ Namanya Nafisa, aku ingin segera melamarnya Nan. Meskipun kita belum lulus kuliah, namun niat baik harus disegerakan, benarkan?”
Uhuk! Tenggorokanku tercekat mendengar perkataannya kali ini. Aku tak mampu lagi berdiam diri dihadapan Fikri, seperti tak terjadi apa-apa. Sebelum airmataku mengalir deras, langkah seribu ku tempuh meninggalkannya. Tak kuhiraukan suaranya yang tak henti memanggil.
***
Pening menyergapku. Mataku berkunang saat kucoba membukanya.
“Nanda, kamu sudah sadar?” kupalingkan wajah ke tempat suara itu berasal, Fikri tampak sangat khawatir. Namun, Fikri tidak sendirian. Ada seorang gadis di sebelahnya. Gadis berjilbab.
“siapa dia?” suaraku tertahan
“dia Nafisha, aku bingung mau menghubungi siapa Nan, melihat kondisimu yang tiba-tiba ambruk. Yang ada dipikiranku cuma dia, jadi aku minta dia kesini. Alhamdulillah, dia punya pengalaman di PMR. Jadi..”
“sudah hentikan. Tega kamu Fik!” suaraku kembali tertahan, sedangkan Fikri mengernyitkan wajah tak paham
“ apa kamu tak tahu perasaanku selama ini Fik? Atau hanya pura-pura tak tahu? Aku cinta sama kamu Fik, dan kamu dengan lugas menceritakan tentang orang lain dihadapanku, bahkan meminta pendapatku?”
***
Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!
Sebab cinta adalah anugerah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
(Asma Nadia - Sepotong Cinta dalam Diam)
Lima tahun sudah aku bermukim di negeri orang, bersama malu yang tak kunjung hilang. Pengakuanku tak terelakkan, melesik di hadapan Fikri bahwa aku mencintainya. Masih tergambar jelas wajah kala itu, Fikri sempat tampak terkejut, namun hanya beberapa detik kemudian air mukanya kembali tenang bersama senyum damai diwajah teduhnya.
“sehatkah Nan?”
“bagaimana punya kabar?”
“kenapa tak pernah balas pesanku Nan? Kamu baik-baik sajakan?”
“Nan, kamu dimana?”
“Nan, aku akan menikahi Nafisha bulan depan, aku harap kamu berkenan hadir sebagai sahabat dan saudara terbaikku.”
Sebagian kecil pesan Fikri yang terkirim ke berbagai akun sosmedku. Sengaja tak pernah kubalas, bukan tak ingin hanya tak sanggup.
***
“Assalamu’alaikum” ini salam ketiga kalinya yang kulontarkan sembari mengetuk pintu rumah berwarna coklat itu.
“Wa’alaikum salam.” Seorang wanita berjilbab membukakan pintu
“Nafisha?”tebakku.
“iya, maaf anda siapa ya?”
“Fikrinya ada?” tanyaku tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaannya.
“ada, silahkan masuk.”
Tak lama kemudian, seorang lelaki yang sangat aku kenal dan pernah kucintai ada dihadapanku.
“Nandakah?” tanyanya terkejut dan aku hanya mampu tersenyum
“subhanallah, gimana punya kabar?kemana saja?.” Pelukan hangat diberikannya tanpa ragu, tanpa ada kecanggungan berbeda denganku.
“ini siapa?” tanyanya setelah sadar ada seorang wanita berhijab di sampingku
“assalamu’alaikum, my name is Meirine. I’m her wife.” Tampak wajah mereka terperangah, terkejut tak dapat dihindari.
Kuceritakan semua pengalamanku, dimulai aku harus menanggung malu karena memiliki perasaan kepada sesama jenis, meninggalkan negeri tercinta, meninggalkan kuliah, hingga kemudian bertemu dengan seseorang yang awalnya aku kira akan menghujat keberadaanku seperti yang orang lain lakukan, namun sebaliknya malah memberikan dukungan untuk ‘sembuh’ dari semua penderitaan batin yang kurasa. Ya, dialah Meirine muslimah asal Beijing yang kini telah resmi menjadi istriku. Pilihan tepat untuk mencintai dan dicintai.
Terhadap Fikri, bukan cintaku yang salah. Hanya saja arah cinta yang tak tepat. Namun, tak dapat dipungkiri cintaku terhadap Fikri dulu adalah cara-Nya untuk mempertemukanku dengan cinta yang sebenarnya yaitu cintaku kepada-Nya melalui cintaku kepada Meirine.
Surabaya, 030316






Tidak ada komentar:

Posting Komentar