Oleh
: Maulidatun Nuril Fitriana
Suara
merdunya ketika mengumandangkan ayat-ayat al-Qur’an selalu membuatku berlinang
airmata. Syahdu aku terpana. Ketika dia menatapku dengan senyumnya yang
menawan, tak sanggup hatiku untuk tak bergetar. Kau ciptaan Tuhan yang terindah.
“ada apa Nan?” pertanyaan
yang mengejutkanku.
“ti,tidak ada apa-apa kok
Fik.” Aku kian gugup.
“sudah shalat? Kalau belum
ayo berjama’ah sama aku.”
“i..iya”
***
Hanya kebahagiaan yang
kurasakan ketika bersama dengannya, dia teman satu kostku. Kita sudah terbiasa
makan bersama, berangkat ke kampus bersama, bahkan pernah tidur di atas kasur
yang sama.
Tuhan tak pernah salah
memberikan cinta kepada hamba-Nya
Degup rindu kerap mendera
saat ku tak jumpa
Kepada siapapun berbincang
walau tak ditanya
Angin media salam cinta
Hujan derai rindu kian
membara
Lentur sekali rasanya ku
goreskan kata-kata. Ku baca lagi tulisanku, ku baca lagi dan lagi. Aku tertawa
kegirangan tanpa ada manusia yang tahu.
***
“Nan, kenapa ketawa-ketawa
sendiri?” dia mengejutkanku lagi.
“ah, ndak ada apa-apa!”
“kamu lagi jatuh cinta ya?
Ke siapa? Anak kampus kita juga? Apa salah satu cewek di kost seberang jalan
itu?” deretan pertanyaan itu terlontar bersama suara cekikikan dan
kertas bergoreskan untaian kataku di tangannya.
“Fikri, kembalikan. Bukan
siapa-siapa.” Aku yakin wajahku pucat pasi
***
Nanda marahnya udahan ya?
Aku janji nggak bakal
iseng lagi, kan kita sodara!
J
Satu sms terkirim ke inbox
ku, dan sudah pasti itu dari Fikri. Hampir dua minggu sudah aku menjauhinya.
Bukan karena aku marah, hanya saja aku bingung harus bertindak seperti apa
ketika berada di hadapannya. Aku sangat malu. Aku takut dia tahu untuk siapa
gerangan kutuliskan puisi itu.
Enggan ku balas sms itu,
namun rinduku tak lagi mampu terbendung. Lama kubiarkan hp tergeletak
mengaung-ngaung dengan bunyinya menandakan ada deretan sms lain yang antri
dibaca.
Tok..tok..tok..
Kini dadaku kian berdegup
kencang, badanku bergetar hebat. Membuatku tak mampu berjalan. Ku tarik nafas
dalam-dalam, dan ku hempaskan perlahan. Setelah dirasa artikulasi darahku
kembali berjalan normal, baru kubuka pintu secara perlahan.
“Ya Allah, apa salahku tak
bisa dimaafkan? Sampai-sampai kamu nggak mau ketemu aku, nggak bales sms aku,
nggak angkat telephon aku?” pertanyaannya kembali bertubi dan aku hanya mampu
terdiam
“Nanda Prasetya, aku nggak
bisa lama-lama dicuekin sama kamu.”
Deg! Pucuk dicinta ulam
pun tibakah? Apakah pernyataan ini menandakan bahwa Fikri memiliki perasaan
yang sama denganku? Cintaku tak bertepuk sebelah tangankan? Tuhan benar-benar
tak pernah salah mengirim alamat cinta. Kucari jawaban dari pertanyaan hatiku
ke dalam mata Fikri.
“kamu nggak boleh ngambek
lagi ya, ayo aku traktir makan bakso kesukaanmu.” Masih tanpa sepatah katapun
keluar dari bibirku, tanganku sudah di tariknya keluar.
***
“Nanda, aku boleh minta
pendapat?” tanyanya serius menatap tajam kearahku
“apa?”
Setelah kulihat dia
mengatur nafas, kemudian mengalirlah cerita dari bibirnya bahwa dia selama ini
mengamati seorang gadis berjilbab yang satu jurusan dengannya. Matanya berbinar
penuh semangat. Entah mengapa hatiku perih mendengarnya.
“intinya kamu mau cerita
apa Fik?”kutatap langit mengantisipasi airmataku jatuh
“ Namanya Nafisa, aku
ingin segera melamarnya Nan. Meskipun kita belum lulus kuliah, namun niat baik
harus disegerakan, benarkan?”
Uhuk!
Tenggorokanku tercekat mendengar perkataannya kali ini. Aku tak mampu lagi
berdiam diri dihadapan Fikri, seperti tak terjadi apa-apa. Sebelum airmataku
mengalir deras, langkah seribu ku tempuh meninggalkannya. Tak kuhiraukan
suaranya yang tak henti memanggil.
***
Pening menyergapku. Mataku
berkunang saat kucoba membukanya.
“Nanda, kamu sudah sadar?”
kupalingkan wajah ke tempat suara itu berasal, Fikri tampak sangat khawatir.
Namun, Fikri tidak sendirian. Ada seorang gadis di sebelahnya. Gadis berjilbab.
“siapa dia?” suaraku
tertahan
“dia Nafisha, aku bingung
mau menghubungi siapa Nan, melihat kondisimu yang tiba-tiba ambruk. Yang ada
dipikiranku cuma dia, jadi aku minta dia kesini. Alhamdulillah, dia punya
pengalaman di PMR. Jadi..”
“sudah hentikan. Tega kamu
Fik!” suaraku kembali tertahan, sedangkan Fikri mengernyitkan wajah tak paham
“ apa kamu tak tahu
perasaanku selama ini Fik? Atau hanya pura-pura tak tahu? Aku cinta sama kamu
Fik, dan kamu dengan lugas menceritakan tentang orang lain dihadapanku, bahkan
meminta pendapatku?”
***
Siapa yang bisa memilih
cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada siapa
cinta harus tumbuh? Tak ada!
Sebab cinta adalah
anugerah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
(Asma Nadia - Sepotong
Cinta dalam Diam)
Lima tahun sudah aku
bermukim di negeri orang, bersama malu yang tak kunjung hilang. Pengakuanku tak
terelakkan, melesik di hadapan Fikri bahwa aku mencintainya. Masih tergambar
jelas wajah kala itu, Fikri sempat tampak terkejut, namun hanya beberapa detik
kemudian air mukanya kembali tenang bersama senyum damai diwajah teduhnya.
“sehatkah Nan?”
“bagaimana punya kabar?”
“kenapa tak pernah balas
pesanku Nan? Kamu baik-baik sajakan?”
“Nan, kamu dimana?”
“Nan, aku akan menikahi
Nafisha bulan depan, aku harap kamu berkenan hadir sebagai sahabat dan saudara
terbaikku.”
Sebagian kecil pesan Fikri
yang terkirim ke berbagai akun sosmedku. Sengaja tak pernah kubalas, bukan tak ingin
hanya tak sanggup.
***
“Assalamu’alaikum” ini
salam ketiga kalinya yang kulontarkan sembari mengetuk pintu rumah berwarna
coklat itu.
“Wa’alaikum salam.”
Seorang wanita berjilbab membukakan pintu
“Nafisha?”tebakku.
“iya, maaf anda siapa ya?”
“Fikrinya ada?” tanyaku
tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaannya.
“ada, silahkan masuk.”
Tak lama kemudian, seorang
lelaki yang sangat aku kenal dan pernah kucintai ada dihadapanku.
“Nandakah?” tanyanya
terkejut dan aku hanya mampu tersenyum
“subhanallah, gimana punya
kabar?kemana saja?.” Pelukan hangat diberikannya tanpa ragu, tanpa ada
kecanggungan berbeda denganku.
“ini siapa?” tanyanya
setelah sadar ada seorang wanita berhijab di sampingku
“assalamu’alaikum, my name
is Meirine. I’m her wife.” Tampak wajah mereka terperangah, terkejut tak dapat
dihindari.
Kuceritakan semua
pengalamanku, dimulai aku harus menanggung malu karena memiliki perasaan kepada
sesama jenis, meninggalkan negeri tercinta, meninggalkan kuliah, hingga
kemudian bertemu dengan seseorang yang awalnya aku kira akan menghujat
keberadaanku seperti yang orang lain lakukan, namun sebaliknya malah memberikan
dukungan untuk ‘sembuh’ dari semua penderitaan batin yang kurasa. Ya, dialah
Meirine muslimah asal Beijing yang kini telah resmi menjadi istriku. Pilihan
tepat untuk mencintai dan dicintai.
Terhadap Fikri, bukan
cintaku yang salah. Hanya saja arah cinta yang tak tepat. Namun, tak dapat
dipungkiri cintaku terhadap Fikri dulu adalah cara-Nya untuk mempertemukanku
dengan cinta yang sebenarnya yaitu cintaku kepada-Nya melalui cintaku kepada Meirine.
Surabaya, 030316