Rabu, 12 Juni 2013

RU'YAH UNTUK 1 SYAWAL 1433 H

Ini untuk kedua kalinya aku ikut ru'yah, dan untuk kedua kalinya pula gagal melihat si hilal (asembzt) sebenarnya beberapa kali aku sering diajak ikut buat ru'yah, cuman waktunya tak pernah pas. Alhamdulillah setelah beberapa kesempatan terlewatkan, aku diberi kesempatanuntuk ikut. Persiapannya terbilang sederhana, sore aku dikasih tahu sama PJ. Falaq Ust. Ahull Ayiss
"dzul, nanati malam ikut rapat buat persiapan ru'yah"
"injih ustadz,"
Malamnya sehabis tarawih persiapan pun dimulai, mulai dari pembahasan posisi kira-kira hilal akan muncul, perhitungan kalender dengan beberapa metode, hingga pembagian wilayah. Wal hasil, aku ditugasin buat ru'yah di tanjung kodok (WBL), dengan personil
Sekitar pukul sepuluh sabtu pagi, meluncurlah kami dengan AVANZA warna hitam, panas bercampur debu, ditambah dengan keringnya kerongkongan dan perut yang kosong (lebay mas...). akhirnya samapai juga kami di lokasi.
Agenda di lokasi
  1. Sholat Jama' Dhuhur-Ashar (pastinya),
  2. Setelah mencari lapak yang pas buat mentelengin(ngamati) hilal yang konon dari hasil perhitungan, masih setipis rambut.
  3. Mencari si Hilal
  4. BERBUKA PUASA
Pas tiba di lokasi behh,,, tenyata alatnya gedhe-gedhe dan kita hanya memakai alat yang bernama TAMAYA (TAMAYA lho ya!!! bukan TAMIYA). 
Matahari mulai tenggelam teletubies berpamitan, eh nah,, bukan-bukan, waktunya fokus ke titik tempat dimana diperkirakan hilal akan muncul.
Detik terus berjalan, samapai bosan lalu diganti menit, terus menit juga mulai bosan, giliran jam, sampai matahari benar-benar tenggelam dan hasilnya 0.
Adzan dikumandangakan, tapi sekian mata masih memadati langit berharap Hilal sejenak menampakkan dirinya, tapi setelah waktu untuk memungkikan bertemu dengan hilal habis, mata-mata itu pun bubar.
Setelah itu diadakan pembacaan keputusan oleh Kanwil Depag Lamongan.
Ba'da itu kita makan-makan, wa ba'duhu Go back to our habitat.
Eh, ditengah perjalanan, ada acara tambahan, "MUTER_MUTER RAMAYAN GRESIK", lihat dompet unga terbatas, untung ada Ust. Agus Saputra, yg ternyata membawa amunisi cukup banyak. Ya, perburuan pun dimulai, akhirnya dapat deh tas Nortwand buat netpy kekasih hati Maulidatun Nuril Fitrian.
11 lebih sekian kita sampai kembali ke masjid tanpa pintu, fyuh tapi diujung sana tugas baru menanti

ini ceritaku apa ceritamu :)

belajar :)

walau masih terlihat kekurangannya, tapi ini proses belajar :D

STICKER TV HAUL AKBAR AL FITHRAH 2013

salam dari kematian



:)
Aku datang
penantianmu akan terbayar lunas

:’(
Hei hei
Jangan menangis sayang
Aku telah datang
Untuk menjemputmu
Sambut aku dengan senyuman

:’(
Hei hei
Jangan menangis sayang
Tenang
Aku tak butuh jamuan
Aku hanya butuh keihlasan

--“
Ah…
Kenapa kau ini???
Kemaren kau memintaku datang
Aku datang
Kau mengusirku

X(
Ah,,,
Aku hanya menjalankan tugas
Jangan kau memakiku

^.^
Oh,
Ma’af beribu ribu ma’af
Kalau aku tak kirimkan pemberitahuan

:(
Hmm
Sudahlah
Kau terlalu banyak berargumen
Aku tak punya cukup waktu
Segera ucapkan salam
Aku masih harus menjemput banyak orang

2012
#salamdarikematian

SHAHIFAH


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Hadits Nabi SAW. merupakan sumber hukum  ke dua bagi umat islam, yang mana kedudukannya setelah Al Qur’an. Keberadaan Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni Al Quran. Sedangkan Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran Al Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW. maupun para shahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan Al Quran telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar As Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah SAW.. Hal ini terjadi mengingat pada awalnya Rasulullah SAW.  melarang para shahabat untuk menulis hadits, namun akhirnya Rasulullah mengizinkan shahabat Abdullah bin Amru bin Ash untuk menulis hadits-hadits beliau, sehingga ada beberapa shahabat yang telah memiliki hadits-hadits Rasulullah SAW. dalam bentuk Shahifah. Menyikapi wacana ini para ulama’ memiliki pandangan pandangan tersendiri sehingga membuat kedua hal ini tidak bertentangan.
Penulisan hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abddul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah SAW. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi  berkaitan dengan otentisitas Hadits. Disamping itu keberadaan shahifah-shahifah shahabat ini tidak sampai ke masa sekarang.
 Jadi penulisan hadits sebenarnya sudah dimulai pada zaman Rasulullah SAW., dan tulisan hadits ini berbentuk shahifah. Diantara para shaifah shahabat yang terkenal adalah shahifah Ali bin Abi Thalib, Shahifah Abdullah bin Amru bin Ash, selain itu masih ada beberapa penulisan hadits lain dalam bentuk shahifah yang insyaAllah akan kami uraikan pada pembahasan “Kitab-Kitab Hadits Dalam Bentuk Shahifah

B.  Rumusan Masalah
Pembahasan pada makalah ini dibatasi oleh rumusan masalah sebagai berikut
1.   Bagaimana sejarah lahirnya shahifah ?
2.   Bagaimana metode penulisan hadits dalam bentuk shahifah ?
3.   Sebutkan contoh kitab-kitab hadits dalam bentuk shahifah?


BAB II
KITAB-KITAB HADITS DALAM BENTUK SHAHIFAH


A. Sejarah Lahirnya Shahifah
Sejarah penulisan hadits rasulullah saw diawali dengan larangan penulisan hadits diantara sumber yang menjelaskan tentang larangan untuk menulis Hadits Rasulullah SAW. adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shohih Muslim.

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :" لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُه ..."[1]

“ Janganlah kalian semua menulis sesuatu dariku, dan barang siapa yang menulis sesuatau dariku selain alQur’an, hendaklah kalian hapus….

Dalam hadits lain juga diriwayatkan dalam Sunan Ad Daromiy

أخبرنا أبو معمر عن سفيان بن عيينة قال حدثنا زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد الخدري : انهم استأذنوا النبي صلى الله عليه و سلم في ان يكتبوا عنه فلم يأذن لهم. [2]

“ Sesungguhnya mereka meinta izin pada Nabi SAW.   untuk menulis sesuatu(hadits) dari beliau, dan beliau tidak mengizinkan “
Diantara para kelompok shahabat yang melarang penulisan hadits adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain.
Namun dalam perjalanannya rasulullah SAW. juga menngizinkan sebagian shahabat untuk menulisnya, seperti shahabat Abdullah bin Amru bin Ash. Sebagaimana dalam keterangan:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ : حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ : أَخْبَرَنِي وَهْبُ بْنُ مُنَبِّهٍ عَنْ أَخِيهِ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ ، وَلاَ أَكْتُبُ.[3]
Abi hurairah berkata : “ Tidak ada shahabat nabi SAW. yang riwayat Haditsnya lebih banayak dari akau kecuali Abdullah bin Amru bin Ash, karena sesungguhnya dia menulis, dan aku tidak”
Keterangan lain terdapat dalam sebuah potongan hadits :
"اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه الا حق"[4]
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”

Dalam hal ini banyak ulama’ yang berkomentar diataranya As Shon’ani beliau berkata bahwasanya penulisan hadits ini dilarang oleh Rasulullah SAW. karena beliau takut terjadinya percampuran antara Al Qur’an dan hadits pada awal perkembangan islam. Setelah tambah banyaknya muslimin dan mereka telah mengetahui Al Qur’an, maka hilanglah ketakutan tersebut.[5]
Kemudian para ulama’ menambahi bahwa diantara alasan rasulullah SAW. melarang menulis adalah sebagai berikut
1.   Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis.
2.   Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa shahabat khusus diizinkan.
3.   Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya dengan Al Quran, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
4.   Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf Al Quran, sedang untuk diakai sendiri tidak dilaarang.
5.   Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para shahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.[6] Wallahu a’lam.

B.  Metode Penulisan Hadits dalam bentuk Shahifah
Penulisan hadits pada masa shahabat berbeda jauh pada masa setelahnya. Melihat pada masa –masa setelah shahabat hadits ditulis dengan berbagai metode, ada yang ditulis menurut abjad periwayat, ada yang ditulis menurut bab-bab, namun hal ini tidak terjadi pada masa shahabat.
Sebagaimana shahifah yang ditulis oleh shahabat Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya beliau selalu menulis apapun yang beliau dengar dari Rasulullah SAW.[7], dalam kata lain penulisan ini hanya berupa catatan catatan yang dikumpulkan menjadi satu.
Namun ada sebagian shahabat yang menulis hadits Rasulullah SAW. dan sudah membaginya dalam masalah tertentu tertentu,  hal ini seperti Amru bin Hazm. Beliau menulis hadits yang beliau dapat dalam pembahasan-pembahasan tentang shodaqah, diyat, dan faroidh[8].
Sulitnya untuk lebih merinci metode penyusunan shahifah ini dikarenakan keberadaannya yang tidak sampai ke masa kita. Wallahu a’lam.

C. Kitab-Kitab Hadits Dalam Bentuk Shahifah
Dalam kitab Shohaifush Shahabat, penulisan hadits dalam bentuk shahifah terbagi menjadi dua masa yakni, ketika Rasulullah SAW. masih hidup dan setelah beliau wafat.  Shahifah yang ditulis ketika beliau masih hidup diantaranya adalah shahifah Ali bin Abi Thalib, shahifah Abdullah bin Amru bin Ash,dan shahifah Amru bin Hazm. Shahifah yang ditulis setelah Rasulullah SAW. wafat diantaranya adalah shahifah Jabir bin Abdullah, shahifah Samrah bin Jundub, dan sahifah Abu Hurairah[9].
Berikut sedikit pemaparan mengenai sahahifah-shahifah diatas :
1.   Shahifah Ali bin Abi Thalib
Sahahifah ini merupakan kumpulan hadits tertua yang ditulis langsung oleh Ali bin Abi Thalib.  Menurut imam Al Qustholani shahifah ini hanya berupa lembaran yang berjumlah satu, yang berisi kumpulan hadits[10]. Jadi dalam shahifah tersebut hanya terdapat sedikit hadits. Diantara hadits yang ditulis dalam sahahifah ini antara lain:
" مَنْ وَالَى قَوْمًا بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ صَرْفًا ، وَلاَ عَدْلاً "[11]

" لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ "[12]
2.   Shahifah Abdullah bin Amru bin Ash
Shahifah ini ditulis langsung oleh Abdullah bin Amru bin Ash. Beliau merupakan salah satu shahabat yang mendapat izin dari Rasulullah SAW. untuk menulis hadits beliau. Bahkan beliau (Abdullah bin Amru bin Ash) berkata bahwasanya beliau selalu menulis apapun yang beliau dengar dari Rasulullah SAW.[13]. Shahifah beliau terkenal dengan nama Shahifah As Shadiqah[14]. Melihat keterangan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa shahifah beliau hanya berbentuk catatan-catatan yang berisi apa yang beliau (Abdullah bin Amru bin Ash) dengar dari Rasulullah SAW.. Diantara hadits yang terdapat dalam shahifah beliau adalah:

" كنا عند عبد الله بن عمرو بن العاص فسئل أي المدينتين تفتح أولا قسطنطينية أو رومية ؟ قال : فدعا بصندوق طهم و الطهم الخلق فأخرج منها كتابا فنظر فيه ثم قال : كنا عند رسول الله صلى الله عليه و سلم نكتب ما قال فسئل أي المدينتين تفتح أولا القسطنطينية أو رومية ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مدينة هرقل تفتح أولا يعني القسطنطينية "[15]

3.   Shahifah Amru bin Hazm
Shahifah ini ditulis oleh Amru bin Hazm, shahifah ini lebih tersusun dari dua shahifah diatas. Menurut  Imam Ibnu Qayyim kitab ini merupakan kitab yang mulia yang mana didalamnya terdapat berbagai masalah tentang fiqh seperti zakat, diyat, thalaq, menyentuh mushaf, dan lain-lain[16]. Dalam kitab Shohaifush Shahabat dijelaskan bahwa dalam shahifah ini terdapat hadits-hadits yang terdaapat dalam 21 masalah diantaranya zakat hewan ternak, dan zakat pertanian beserta nishobnya[17]. Diantara hadits yang terdapat dalam shahifah ini adalah :

" وَمَا كَتَبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ مِنَ الْعُشْرِ فِي الْعَقَارِ ، وَمَا سَقَتِ السَّمَاءُ أَوْ كَانَ سَيْحًا أَوْ بَعْلًا ، فَفِيهِ الْعُشْرُ إِذَا بَلَغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ ، وَمَا سُقِيَ بِالرَّشَاءِ ، وَالدَّالِيَةِ ، فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ إِذَا بَلَغَ خَمْسَةَ أَوْسُق "[18]


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
1.      Sejarah penulisan hadits pada awalnya dilarang oleh Rasulullah SAW. namun akhirnya beliau mengizinkan beberapa shahabat untuk menulisnya.
2.      Metode penulisan hadits dalam bentuk shahifah ini tidak beraturan, ada yang berbentuk catatan catatan, ada pula yang disusun menurut masalah masalah yang timbul.
3.      Kitab-kitab hadits dalam bentuk shahifah antara lain hahifah Ali bin Abi Thalib, shahifah Abdullah bin Amru bin Ash,dan shahifah Amru bin Hazm
B.  Penutup
Demikianlah sedikit uraian mengenai shahifah, semoga bermanfa’at dan dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.


***waAllahu a’lam***



Daftar Pustaka


Abdurrahman, Ahmad, Shohaifush Shahabat, 1990.
Mujtahid, Problema Penulisan Hadits, Blog UIN Maliki Malang.
Shoftware Maktabah Syameelaa versi 3,32


[1] Imam Muslim, Shohih Muslim, hadits No. 3004,  juz 4, hal 2298
[2] Ad Daromiy, Sunan Ad Daromiy, hadits No. 458, juz 1, hal 98
[3] Al Bukhori, Shohih Bukhori, hadits No. 113
[4] Ahmad Abdurrahman, Shohaifush Shahabat, 1990. hal. 30
[5] As Shon’ani dalam Shohaifush Shahabat, hal 41
[7] Shohaifush Shahabat, hal 30
[8] Shohaifush Shahabat , hal 92
[9] Shohaifush Shahabat , hal 57
[10] Al Qustholani dalam Shohaifush Shahabat , hal 64
[11] Hadits ini terdapat dalam Shohih Bukhori hadits no. 1870, 3172, 3179, 6755, 7300, Shohih Muslim juz 1 hal. 994, Sunan Abu Daud, no. 2034, dan dalam kitab-kitab hadits yang lain. Shohaifush Shahabat , hal 60-61
[12]  Hadits ini terdapat dalam Shohih Muslim, hadits no. 1978, Sunan Nasa’i, juz 7 hal. 232, Musnad Ahmad, juz 1, hal. 108 no. 118 dan 152. Shohaifush Shahabat , hal 61
[13] Shohaifush Shahabat. hal 30
[14] Shohaifush Shahabat. hal 65
[15]  Hadits ini terdapat dalam Musnad Ahmad, juz 2, hal. 176, Sunan Ad Daromiy, hadits No. 492, Mustadzrok Imam Hakim, juz 4, hal. 508, Shohaifush Shahabat , hal 69
[16] Shohaifush Shahabat. hal 113
[17] Shohaifush Shahabat. hal 114
[18] Hadits ini terdapat dalam Shohih Bukhori no. 1483,  Sunan Nasa’i, juz 5 hal. 41,  Sunan Ibnu Majah, no. 1817, Sunan Abu Daud, no. 1596, Shohaifush Shahabat , hal 118