Rabu, 27 Mei 2015

secercah pesan habib Umar bin Hamid al Jilany kepada santri Al Fithrah surabaya

Jum’at, 22 Mei 2015 ba’da shalat jum’at, di masjid pondok pesantren Assalafi Al Fithrah, Habib Umar bin Hamid Al-Jilany, dari Makkah Mukarramah berkenan untuk memberikan tausiyah yang diterjemahkan oleh Ust. Nur Kholis, Lc. M.H.I. kepada segenap santri pondok pesantren as-salafi Al Fithrah.
Diawali dengan ucapan basmalah, Alhamdulillah, dan shalawat serta salam kepada Nabi, shahabat, dan tabi’in. belliau menyampaikan beberapa point yang berkaitan dengan hari yang Mubarak yakni hari jum’at dan menyampaikan beberapa pesan kepada para penuntut ilmu (santri).
Pertama : mengenai hari yang barokah (jum’at) beliau paring dawuh.
·         “ salah satu bukti kecintaan kepada Rasulullah adalah dengan bershalawat tatkala nama beliau disebut.”
·         “ tatkala berkumpul dalam suatu majlis yang barokah, dan hari yang barokah, dianjurkan untuk membersihkan membersihkan jiwa. Serta membersihkan pakaian ketika hendak melaksanakan shalat jum’at. Selain itu juga membaca shalawat , allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala alihi wa barik wa shahbihi w sallim sebanyak tiga kali.”
·         “dianjurkan juga membaca surat al-Kahfi, dan barokah surat tersebut bisa menjaga kita dari segala hal.”
Kedua : kepada segenap pencari ilmu beliau paring dawuh, diantaranya :
§  “ gelar santri (pencari ilmu) merupakan gelar yang diberi Allah kepada kita, agar kita menjadi dai (orang yang mengajak kepada jalan yang menuju Allah). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Mujadalah : 11,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ  [المجادلة : 11]
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”(QS. Al Mujadalah :11)
Juga sabda Rasul : “ barangsiapa yang menuntut ilmu akan dimudahkan menuju surga.”
§  “ santri juga dimintai doa oleh ikan-ikan yang berada di laut. Padahal secara logika mereka tidak bisa berbicara, namun hal ini nyata adanya.”
§  “ santri adalah para pencari ilmu yang memiliki kesempatan berharga, maka jangan menyia-nyiakan kesempatan ini.”
§  “ setelah kurang lebih 20 tahun yang akan datang, santri akan menjadi orang yang bermanfaat, jika (ditekankan) bersungguh-sungguh mencari ilmu. Agar dapat mengamalkan apa yang telah diajarkan di pondok ini.”
§  “Masyarakat, Negara, wilayah, dan agama sangat membutuhkan santri. Maka dari itu santri harus bersiap.”
§  “ Habib juga sangat menekankan kepada santri untuk mengatur waktu, barangsiapa yang mengatur waktu dengan baik, maka akan mendapatkan apa yang diinginkan. Sedangkan yang menyia-nyiakan waktu maka akan menjadi orang yang merugi. Beliau juga berpesan, agar santri membuat jadwal untuk hari ini dan hari esok, karena jabatan setinggi apapun tidak mampu mengembalikan waktu.”
§  “ hal yang perlu diperhatikan adalah taqwa billah, serta adanya istiqamah. Karena dengan istiqamah akan memancarkan cahaya. Beliau mengambil sebuah kisah dari Imam Syafi’I dan Imam Malk, ketika Imam Syafi’I berusia 11 tahun, Imam Malik berkata : “ Aku melihat cahaya di wajahmu.” Maka dianjurkan kepada kita untuk istiqamah, karena dengan hal tersebut kita bisa seperti Imam Syafi’i.”
§  “ hal yang harus dilakukan juga adalah menghormati para guru.”
§  “ santri juga harus saling membantu. Ta’awun ‘alal birri wat taqwa (saling membantu dalam kebaikan dan taqwa). Karena dengan membantu akan menambah pengetahuan yang belum pernah diketahui.
§  “pentingnya bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Diantaranya dengan mempelajari pelajaran sebelum memulai pelajaran tersebut. Sehingga ketika guru memberikan materi, santri bisa memahami. Juga tawadhu’ kepada guru-gurunya dan mengulangi pelajaran seusai pelajaran. Baik di dalam kelas maupun diluar kelas. Serta menanyakan kepada guru, hal-hal yang tidak dipahami.”
§  “Menjaga shalat lima waktu, dan kebersihan diri baik secara dhahir maupun batin.”
§  “Senantiasa membaca al Qur’an dengan menggunakan ilmu tajwid. Karena al Qur’an adalah bahasa yang digunakan Rasul, shahabat dan orang-orang yang mengucapkan kalimat tauhid. Jika memungkinkan menghafal sebagian ayat al qur’an, minimal juz 30. Juga menghafalkan hadits, minimal hadits arba’in nawawi.”
Diakhir tausiyah, beliau menekankan lagi, untuk tidak menyia-nyiakan waktu, berijtihad, membaca al-Qur’an dan hadits. Mempelajari pelajaran sebelum dimulai, dan mengulanginya seusai pelajaran. Serta kasih sayang diantar teman, agar terpancar cahaya diberbagai hal.
Beliau menutup tausiyah disiang itu, dengan doa. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang, agar bisa senantiasa hadir di ondok pesantren ini dan memberikan seberkah cahaya kepada siapapun yang hadir. Amin. J


Selasa, 12 Mei 2015

pembagian maqashid syari'ah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Seseorang tidak dapat memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menciptakan nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nash-nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Dalam makalah ini nanti akan dibahas hal yang berhubungan dengan Maqasid al-Syariah, mengenai pengertian dan pembagian Maqasid al-Syariah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi Maqashid Syari’ah?
2.      Ada berapa pembagian Maqashid Syari’ah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud.[1] Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.[2] Namun, dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).[3]
Sedangkan kata asy syari’ah berasal dari kata  syara’a as-syai yang berarti menjelaskan sesuatu. Atau diambil dari kata asy-syara’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang kesana tidak memerlukan alat.[4] Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan,[5] dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan.Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.[6]
Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.[7]
Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (puasa, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain).[8] Sebagaimana firman Allah :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ
“ kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu)” (QS. Al Jatsiyah : 18)
Dengan mengetahui pengertian  maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau  tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid asy-syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. 
Menurut ‘Alal Al-Fasiy, maqashid Syari’ah adalah tujuan yang dikehendaki syara’ dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh syari’ (Allah) pada setiap hukum. Adapun inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.[9]
Dalam kitabnya maqashid Syari’ah Al-Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyataan bahwa maqashid syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan atau diperlihatkan oleh Allah swt. dalam semua atau sebagian besar syari’at-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syari’ah atau tujuan umumnya.[10]


B.     Pembagian Maqashid Syari’ah
Inti dari maqashid syari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan umat yang sebesar-besarnya, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.[11] Adapun tujuan syara’ yang harus dipelihara adalah sebagai berikut :
1.      Perlindungan terhadap agama
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas nama agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya untuk masuk Islam.[12] Dasar hak ini sesuai firman Allah :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“ tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah : 256)[13]
Asbabun Nuzul ayat ini (sebagaimana dikatakan para ulama alhi tafsir) menjelaskan kepada kita satu sisi mengagumkan agama ini (Islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan, ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada dirinya, bahwa bila dia dikaruniai anak, dia akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi (hal seperti ini dilakukan oleh para wanita dari kaum Anshar pada masa jahiliyah), lalu ketika muncul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum Anshar. Maka bapak-bapak mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami”; mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka memeluk agama Yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini,
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)[14]
Meski ada usaha memaksa dari pihak orangtua yang ingin menjaga anak-anak mereka agar tidak mengikuti musuh yang memerangi mereka, yang berbeda agama dan berbeda kaum, dan meski dalam keadaan khusus yang dihadapi anak-anak atau keturunan mereka, agama Yahudi adalah minoritas. Dan meski arus fanatik dan penindasan kepada orang yang berbeda madzhab mendominasi dunia saat itu, terlebih yang berbeda agama (seperti yang terjadi dalam madzhab pemerintahan Roma yang memberikan pilihan kepada rakyatnya, antara kaum Kristen atau dibunuh), akan tetapi, ketika madzhab Al-Malkani kuat, penyembelihan dilakukan atas orang-orang Nasrani dari golongan Yaqubian dan yang lainnya, yang tidak mau masuk dan mengikuti agamanya.[15]
Atas semua peristiwa yang telah terjadi ini, Al –Qur’an tetap menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi mata hatinya, lalu orang tersebut akan masuk Islam dengan bukti dan hujjah. Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mereka masuk Islam dalam keadaan dipaksa, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir.[16]
Islam menjaga tempat beribadatan orang – orang nonmuslim, menjaga kehormatan syiar mereka, bahkan Al-Qur’an menjadikan salah satu sebab diperkenankannya berperang adalah karena untuk menjaga kebebasan beribadah, dan hal ini tersirat dalam firman-Nya,
ذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا [الحج : 39 ، 40]
“ telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. AL Hajj : 39-40)[17]
Tak hanya nash – nash dalam al –Qur’an yang menjamin kebebasan beragama, Rasulullah dan para sahabatpun menghormati orang-orang nonmuslim dalam segala hal.
Sebagaimana janji Nabi saw. kepada penduduk Najran menyatakan bahwa mereka berada dalam perlindungan Allah dan tanggungan atau jaminan Rasulul-Nya untuk urusan harta, agama, dan baiat mereka.[18]
Pada suatu hari Umar bin Khattab melihat seorang kakek tua yang buta meminta-minta di sebuah pintu. Umar pun bertanya, dan dari situ dia tahu bahwa kakek tua itu adalah seorang Yahudi, lantas dia bertanya, “Apa yang membuatmu seperti ini?” si kakek menjawab, “Jizyah, kebutuhan, dan usia.” Mendengar jawaban itu, Umar menuntun kakek tersebut dan pergi ke rumahnya, lalu dia member uang yang mencukupi kebutuhannya saat itu. Setelah itu beliau mengirim surat kepada bendahara baitul mal, “Lihatlah! Demi Allah, tidak adil bila kita memakan dari (jerih payah) masa mudanya, lalu kita menelantarkannya saat dia tua.”
sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin.”
 Dan kakek ini termasuk salah satu orang miskin dari golongan ahli kitab.[19]
Maka jelaslah toleransi Islam dalam interaksinya yang baik, muamalahnya yang lembut, perhatiannya mengenai hubungan dengan tetangga, dan juga toleransi dalam masalah perasaan kemanusiaan yang besar, yakni dengan kebaikan, rahmat, dan kemurahan hati. Ini merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.[20] Islam mengajarkan bagaimana caranya memanusiakan manusia, apa pun agama, jenis, dan warna kulitnya. Sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ [الإسراء : 70]
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al – Isra’ : 70)[21]
Kemudian yang ditetapkan al-Qur’an ini menuntut adanya hak dihormati dan dilindungi bagi setiap manusia, dan satu keyakinan yang benar bahwa perbedaan agama manusia terjadi dengan kehendak Allah yang telah mengaruniakan kebebasan dan pilihan atas apa yang akan dilakukan atau ditinggalkan seorang manusia.[22]
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ [الكهف : 29]
“ Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (QS. Al-Kahfi : 29)[23]


2.      Perlindungan terhadap nyawa
Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak hidup, hak yang disucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliaannya. Manusia adalah ciptaan Allah,[24]
صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (88)  [النمل : 88]
“ dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka Dia tetap di tempatnya, Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml : 88)[25]
Adalah sangat jelas hikmah Allah dalam menciptakan manusia dengan fithrah yang diciptakan-Nya untuk manusia, lalu Dia menjadikan, menyempurnakan kejadian dan menjadikan (susunan tubuh) nya seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhnya.[26]
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ [المؤمنون : 14]
“Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al-Mu’minun : 14)[27]
Kemudian Allah mengaruniakan nikmat-nikmat-Nya, lalu memuliakan dan memilih manusia,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ [الإسراء : 70]
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra’ : 70)
Maka, tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan atau kehancuran.[28] Allah berfirman :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ  [البقرة : 195]
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah : 195)[29]
Islam melarang terjadinya pembunuhan. Baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain. Salah satu sabda Rasulullah yang menjelaskan dilarangnya bunuh diri :
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِى النَّارِ
“ Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan menggunakan sesuatu, dia akan disiksa dengan menggunakan sesuatu tersebut di dalam neraka.”(HR. Muslim)[30]
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda :
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ ، قَالَ : حَدَّثَنِي حَجَّاجٌ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنِ الْحَسَنِ ، حَدَّثَنَا جُنْدُبُ بْنُ عَبْدِ اللهِ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ وَمَا نَسِينَا مُنْذُ ، حَدَّثَنَا وَمَا نَخْشَى أَنْ يَكُونَ جُنْدُبٌ كَذَبَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ فَأَخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى بَادَرَنِي عَبْدِي بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
“ dalam golongan sebelum kalian ada seorang laki-laki yang memiliki luka, dia merasakan sakit dan mengeluh, lalu dia mengambil sebuah pisau, tangannya memotong luka itu dengan menggunakan pisau tersebut. Kemudian darah tidak kering (mengalir terus menerus) hingga dia mati. Allah pun berfirman, “Hamba-Ku telah mendahului diri-Ku dengan (mencabut) nyawanya. Aku haramkan surge baginya.” (HR. Al-Bukhari)[31]
Adapun larangan membunuh orang lain kecuali dengan alasan yang benar dijelaskan dalam banyak ayat al – Qur’an, diantaranya dalam QS. Al-An’am : 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ [الأنعام : 151]
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”(QS. Al – An’am : 151)[32]
Membunuh adalah menghancurkan bangunan iradah Allah dan melenyapkan nyawa si korban tanpa alasan yang benar, yang dilakukan oleh orang lain. Dalam perbuatan ini ada penganiayaan kepada keluarga atau ahli waris si korban, yakni mereka yang menjadi mulia karena keberadaan si korban, mereka yang dapat mengambil manfaat dari diri si korban, dan mereka yang akan sangat membutuhkan bantuan ketika si korban tidak lagi bersama mereka. Dalam masalah ini, membunuh orang muslim dan membunuh kafir dzimmi berhukum sama, yakni diharamkan.[33] Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو ، حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا.
“ Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surge, padahal bau itu sungguh dapat dirasakan dari(jarak) perjalanan empat puluh tahun.”(HR. Al-Bukhari)[34]
                 Dalam hal ini, pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qishas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga yang demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh juga akan mati, atau jika yang dibunuh mengalami cidera, maka dia juga akan cidera sesuai dengan perbuatannya.[35]
3.      Perlindungan terhadap akal
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah swt. disampaikan, dengannya pula manusia berhak menjadi pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya.[36] Allah swt. berfirman :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا  [الإسراء : 70]
“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS. Al-Isra’ : 70)[37]
Melalui akalnya, manusia mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, membawa kabar gembira untuk mereka dengan janji, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusia mengoperasikan akal mereka, mempelajari yang halal dan haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan buruk.[38]
Akal dinamakan عقل (ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Dinamakan demikian, karena akal pun menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu yang sudah tidak terkendali, sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari. Karena itulah Amir bin Abdul Qais berkata :
إذا عقلك عقلك عما لاينبغي فآنت عاقل
“Jika akal mengikatmu dari sesuatu yang tidak sepatutnya, maka Anda adalah orang yang berakal.”[39]
Islam memerintahkan untuk menjaga akal, mencegah segala bentuk penganiayaan yang ditujukan kepadanya, atau yang bisa menyebabkan rusak dan berkurangnya akal tersebut untuk menghormati dan memuliakan mereka, dan untuk merealisasikan semua kemaslahatan umum yang menjadi pondasi kehidupan manusia, yakni dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.[40]
Menjaga dan melindungi akal bisa dilaksanakan dengan penjagaan antara akal itu sendiri dengan ujian dan bencana yang bisa melemahkan dan merusakkannya, atau menjadikan pemiliknya sebagai sumber kejahatan dan sampah dalam masyarakat, atau menjadi alat dan perantara kerusakan di dalamnya.[41]
Diantara hal yang dapat merusak akal adalah mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat memabukkan. Sebagaimana sabda Rasulullah :
وَحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ كِلاَهُمَا عَنْ رَوْحِ بْنِ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ
« كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ».
“Setiap hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”(HR. Muslim)[42]
Keadaan mabuk menyebabkan padamnya bara api pikiran, meredupkan cahaya akal, membunuh kemauan, mematikan cita-cita, melemahkan karakter, menghilangkan akhlak mulia. Keadaan tersebut juga menyebabkan kehinaan, kemerosotan, hancurnya kekuatan, keroposnya bangunan tubuh, dan lemahnya anggota badan.[43]
Seringkali Islam mengingatkan tentang nilai dan eksistensinya, menyanjung orang-orang yang menggunakan akal dan kemampuan mereka dalam memperhatikan alam dengan segala ciptaan indah, makhluk yang mulia, dan keserasiannya.[44] Allah berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [آل عمران : 190 ، 191]
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”(QS. Ali ‘Imran : 190-191)[45]
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ [العنكبوت : 43]
“dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-Ankabut : 43)[46]
Al-Qur’an mencela orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka, tidak untuk berpikir, memperhatikan, dan merenung; mereka yang tidak memanfaatkan kemampuan (akal) yang dikaruniakan Allah (yang melalui akal tersebut Allah memuliakan mereka) untuk menyikapi kekuasaan Sang Pencipta, keagungan-Nya, dan kekuatan Sang Pemberi rezeki. Mereka tidak menuntunnya menuju dermaga iman dan kesempurnaan Islam, serta ketundukan kepada hal yang haq dan yang yaqin, bahkan mereka tidak menundukkan akal mereka ke dalam bidang kehidupan yang karenanya mereka diciptakan, juga untuk melakukan eksplotasi kekayaan, sumber daya alam, dan kekuatan yang sudah tersedia untuk kebahagiaan individu serta kemajuan umat dan bangsa-bangsa.[47] Allah berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (170) وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ [البقرة : 170 ، 171]
“ dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. mereka tuli, bisu dan buta, Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”(QS. Al-Baqarah : 170-171)[48]
Dan firman Allah dalam QS. Al-A’raf : 179,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ  [الأعراف : 179]
“ dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”(QS. Al-A’raf : 179)[49]
4.      Perlindungan terhadap kehormatan
Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan perhatian yang dapat digunakan untuk memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Perlindungan ini jelas terlihat dalam sanksi berat yang dijatuhkan dalam masalah zina, masalah menghancurkan kehormatan orang lain, dan masalah qaszaf. Islam juga memberikan perlindungan melalui pengharaman ghibah (menggunjing), mengadu domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga perlindungan-perlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia. Di antara bentuk perlindungan yang diberikan adalah dengan menghinakan dan memberikan ancaman kepada para pembuat dosa dengan siksa yang sangat pada hari kiamat.[50]
Para ulama mendefinisikan, bahwa zina adalah hubungan seksual yang sempurna antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diinginkan (menggairahkan), tanpa akad pernikahan sah ataupun pernikahan yang menyerupai sah.[51]
Sanksi perbuatan zina sudah diterangkan dalam syariat Islam dengan tahapan-tahapan berikut :
a.       Pada permulaan Islam, sanksi bagi wanita pezina adalah dengan dikurung di rumah keluarganya sampai mati atau sampai Allah memberikan jalan untuknya. Sedangkan sanksi bagi laki-laki pezina adalah dengan disiksa (ta’zir atau dipukul). Apabila setelah itu dia bertaubat dan perbaiki amalnya, maka harus dibiarkan.[52]
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا ( ) وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“ dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An – Nisa’ : 15-16)[53]
b.      Setelah itu turun ayat dalam surah An-Nur yang menghapus hukum dari dua ayat diatas. Ayat inilah yang menjadihukum sanksi pezina, yakni dengan pencambukan dan pengasingan ghairu muhshan (bagi pelaku yang belum menikah), dan dengan hukum rajam bagi yang muhshan, yakni laki-laki yang baligh dan berakal, yang berhubungan seksual melalui qubul seorang wanita, sedang dia memiliki pernikahan yang sah, meskipun perbuatan ini dilakukan hanya sekali.[54]
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ [النور : 2]
“ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur : 2)[55]
Karena sanksi zina sangat berat, maka syariah mewajibkan diberlakukannya sanksi tersebut dengan pengakuan, ditetapkan dengan adanya saksi yang harus memenuhi syarat-syarat berikut.
·         Saksi adalah empat orang laki-laki adil,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ  [النور : 4]
“ dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,” (QS. An-Nur : 4)[56]
·         Kesaksian harus dengan menjelaskan masuknya kemaluan laki-laki ke dalam lubang kemaluan wanita.
·         Kesaksian harus menggunakan ucapan jelas yang menyatakan perbuatan zina, bukan kinayah atau kiasan.
·         Tempat dan waktu kesaksian tidak boleh berbeda; kesaksian empat orang tersebut harus ada di satu majlis.
·         Kesaksian tidak diberikan setelah laporan sudah lama diajukan/berlalu.[57]
Islam juga mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, mencaci, memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun menghinakan orang yang melakukan dosa-dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang fasik.[58] Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12) يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13) [الحجرات : 12 ، 13]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al – Hujurat : 11-13)[59]
Islam juga menjaga kehormatan nasab, silsilah dalam sebuah keluarga. semisal status anak kandungn dan anak angkat. [60]Islam juga menetapkan, setelah menikah, nasab seorang wanita tidak akan mengalami perubahan. Setelah menikah, wanita muslimah namanya tetap terjaga, demikian juga nama keluarga dan nasab aslinya. Dia tidak akan membawa nama suaminya, betapapun tinggi kedudukan sang suami.[61]
Para ulama’ juga mengharamkan masturbasi (melampiaskan hasrat seksual dengan cara yang tidak syar’i, dan dikenal di kalangan pemuda sebagai ‘kebiasaan rahasia’)[62] dan juga mengharamkan homo seksual, hukum pengharaman ini terdapat penjagaan dan perlindungan yang diberikan Islam kepada para pemuda dari berbagai bahaya ‘kebiasaan rahasia’. Dalam Surah Al-Baqarah Allah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222) نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223)  [البقرة : 222 - 224]
“ mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 222-223)[63]
5.      Perlindungan terhadap harta benda
Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak akan bisa terpisah darinya.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا……. [الكهف : 46]
“ harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia ….”(QS. Al-Kahfi : 46)[64]
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu dengan yang lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, dll.[65]
Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan bekerja dan mewaris, maka seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil,[66] karena Allah berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة : 188]
“ dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah : 188)[67]
Harta yang baik pasti berasal dari tangan-tangan orang yang cara memilikinya berasal dari pekerjaan yang dianjurkan agama, seperti bekerja di sawah, pabrik, perdagangan, perserikatan dengan operasional yang syar’i, atau dari warisan dan hal sejenis.[68]


Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut.
Pertama, memiliki hak untuk dijaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum muslimin atau nonmuslim) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini tidak dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90)  [المائدة : 90]
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al-Maidah : 90)[69]
Diantara harta – harta haram adalah memakan harta anak yatim, melatih babi dengan tujuan untuk dijual, dan sebagainya.
Mengenai ajakan Rasulullah kepada hak Allah dan hak masyarakat, Allah berfirman,
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ  [الذاريات : 19]
“ dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 19)[70]
Allah melarang memboroskan harta dalam kebodohan, karena harta adalah sumber kekuatan hidup. Dalam firman-Nya disebutkan,
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا  [النساء : 5]
“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”(QS. An-Nisa’ : 5)[71]
Allah mengharamkan berlaku kikir dalam menafkahkan harta pada bidang yang semestinya, di proyek-proyek social dan proyek kesejahteraan. Allah berfirman,
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Ali ‘Imran : 180)[72]
Sangat jelas sekali bahwa harta tidak boleh diberdayagunakan untuk hal-hal yang haram. Melalui harta, jangan sampai berbuat suap atau kesaksian palsu, atau digunakan untuk mencari kesenangan yang haram, serta berbagai macam pekerjaan haram, seperti meminjamkannya dengan sistem riba, digunakan untuk membeli kertas-kertas lotre, bergabung dalam sebuah penggadaian yang haram, dan sebagainya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  [المائدة : 90]
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al-Maidah : 90)[73]
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an mencakup masalah harta dari semua aspek, agar harta bisa menjadi sumber kenikmatan dan kebahagiaan bagi masyarakat, menjauhkan kedengkian, ketamakan, dan eksplotasi sehingga kepercayaan dan ketenangan bisa mendominasi masyarakat. Kita tidak yakin bahwa ada pemikiran politik atau ekonomi yang mampu mencakup semua permasalahan harta seperti yang diterangkan agama Islam.[74]






BAB III
KESIMPULAN
Maqashid Syari’ah adalah hikmah-hikmah yang terdapat dalam setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Adapun pembagian Maqashid Syari’ah yang harus dilindungi syara’ sebagai berikut :
1.      Perlindungan terhadap agama
Setiap orang berhak memilih agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing, Allah melarang seseorang untuk memaksa orang lain masuk agama Islam.
2.      Perlindungan terhadap nyawa
Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang dapat menentukan. Jadi, Islam melarang seseorang membunuh tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan. Baik membunuh diri sendiri maupun membunuh orang lain.
3.      Perlindungan terhadap akal
Akal merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Maka, Allah melarang manusia untuk merusak akalnya. Seperti halnya dengan cara mengkonsumsi hal-hal yang memabukkan dan obat-obatan terlarang, yang mengakibatkan hilang dan rusaknya akal mereka.
Manusia yang baik adalah mereka yang menggunakan akalnya untuk memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah, sehingga menjadikan mereka lebih dekat dengan-Nya.
4.      Perlindungan terhadap kehormatan
Islam sangat menjaga kehormatan manusia, dan melarang segala sesuatu yang dapat merusak kehormatannya.
5.      Perlindungan terhadap harta benda
Hidup di dunia, pastilah membutuhkan harta benda. Namun, hakikatnya harta yang dimiliki manusia adalah milik Allah. Maka, manusia diperintahkan untuk mendapatkan dan menggunakan harta dengan cara yang benar.





























Daftar Pustaka
Lihasanah, Ahsan, al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi’,Mesir : Dar al-Salam, 2008
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990
Al-Qardhawi, Yusuf, Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007
Umar, Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta : Gaung Persada Press, 2007
Nursidin, Ghilman, konstruksi pemikiran maqashid syari’ah Imam Al-Haramain Al-Jiwaini,Tesis, IAIN WaliSongo Semarang, 2012
Al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad, MAQASHID SYARIAH, Terj. Khikmawati, Jakarta : AMZAH, 2010
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta : Depag RI,2009
Muslim bin Al-Hijaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Nisyaburi, Abul Husain, Al-Jami’ As-Shahih Al Musamma Shahih Muslim, Bairut : Dar Al-Afaq, T.Tb
Bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari,Muhammad, Shahih Bukhari, Al-Qahirah : Dar Asy-Sya’b, T.Tb
Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara,1992