Three Musketter and D’Argtanian on Pesantren
Ular-ularan waktu
Ularularan waktu
Waktuku berjalan
berularularan,
nasib hidupku
ulangmengulang
Harapan akan masa
depanku,
ditelan kekejaman
masa laluku.
(Sindhunata,
2000)
Masih di sudut masjid ba’da
dhuha, sambil menatap sengitnya awan yang berkejar-kejaran, sekilas bayang
putih abu-abu muncul di baliknya. Ah,, ngayal lagi deh…
Ya, sudah hampir setahun aku
tinggalkan baju putih abu-abuku, masih kangen, ketika harus berkejaran dengan
satpam, merayu guru seni agar dapat nilai 8, dan disembur guru Bahasa Indonesia
karena 1 semester hanya masuk 4 kali, hoahem, apanya yang dibanggakan cobak???
Tapi apapun itu, aku menikmati
masa-masa itu, dimana harus push-up 175 kali untuk tanda kecakapan bantara,
dimana harus lembur tiap malam demi tugas-tugas ilmu alam, dimana harus
berjalan sejauh satu kilometer hanya untuk menggoda penjaga perpustakaan, (?).
Sedang hari ini, ketika dhuha
mulai dirampas siang, aku harus berjibaku dalam kitab berwarna kuning dengan
huruf-huruf hija’iyah yang berkejaran tanpa harokat.
Em sebenarnya tempat ini tak
terlalu buruk untuk ditinggali, karena aku tidak sendiri, ada sya’dun dan ada
joni, senasib kita. Namun aku sedikit tragis memang. Kesini karena ditolak oleh
yang lain, dan tempat ini tak ubahnya adalah pelarianku sementara, sebuah alam
gelap dimana untuk sejenak aku memarkirkan mimpiku. Tragisnya tempat ini tak
seperti yang kubayangkan.
***
Aku hidup dari
waktuku,
lega, kendati kini
berada aku
dalam gelap
kekinian,
aku berjalan
dengan perut ular
mengelengsargelengsar
tanpa kemajuan,
terhenti di masa
kini, di dunia ini.
(Sindhunata,
2000)
Seribu sekian santri yang
numpang tidur ditempat ini, namun hanya beberapa biji yang niat nyantri,
selebihnya, tempat pelarian, pengasingan dan ada lagi yang menjadikan tempat
ini sebegai tempat penginapan. Joni dan badrun masuk kategori yang beberapa
biji sementara Aku dan sya’dun termasuk kategori selebihnya.
Di suatu pagi hari minggu saat
para santri lagi pesta bola, laskar three musketter sedang duduk setelah
muroja’ah tentang type Hp terbaru buat liburan besok, datanglah badrun yang
baru turun dari ngajinya, sambil mengamati santri yang kayaknya gag kenal
dengan yang namanya panas dan capek membaca mantralah dia
Qaala badrun : ape dadi opo
iki arek-arek, lek bengi cangkruk, lek shubuh ngantuk, bal-balan semangat, tapi
lek ngaji boyoe kumat, duh gusti mugi-mugi diparingi cepet sadar umat iki
Memang kalo diamati kadang sering
membuat tertawa sendiri, disini sudah mulai muncul dalil-dalil baru entah itu
dasarnya dari mana guna mendukung apa yang diperbuat mereka. Dalil pertama
“qiyamul lail huas syarobul kohwah wa nyedot rokok syamsu”, yup, dalil
ini dipakai bagi para pejuang malam, sebagian memang menghabiskan malamnya
dengan muroj’ah pelajaran, namun jumhurnya muraja’ah tentang kaum hawa sebelah,
type gadget terbaru atau tentang otomotif. Pertanyaan dari kang Pi’i
“terus pa bedanya pesantren sama giras
cobak???”
Dalil kedua “qara’al
Koran khoirun min qara’al qur’an”. Betapa tidak, setiap pagi ketika khataman
al Qur’an tak kurang 80-90% santri yang numpang disini tepar tak berdaya di masjid,
tapi begitu sampai di kamar ada koran apalagi babul kulit bundar, dan lagi
bahas el Clasico mata yang semula 5 watt jadi 100 watt. Wuihhh…..
Dalil ketiga, “yajibu
‘ala ahadukum li playing football, li annal football hua yashihul badan”.
Begini kalo jadi umat Imam Messi El Barca. Apalagi minggu pagi, kebijakan dari
pengasuh di pesantren kami adalah minggu sehat, kecuali ketika bebarengan
dengan acara istiqamah pesantren. Wal hasil this is the moment to show what
they have. Halaman pesantren dikapling sedemikian rupa, jadi arena mengolah
kulit bundar, yang paling unik adalah tak ada gawang peci pun jadi. So, peci
yang waktu sholat diletakkan di atas kepala, kini jadi pembatas gawang, (?)
ada-ada saja…
Sebenarnya sepakbola akan
diselingkuhin ketika hari jum’at sore, ya, jum’at sore juga jum’at sehat. Namun
akan lebih sehat, ketika kita berlama-lama di masjid, membaca al Qur’an atau
dzikir yang lainnya sambil sesekali menyeleksi bidadari yang lewat. Sejak
wafatnya pengasuh pesantren kami, setiap jum’at sore para santri putri
berziarah ke Maqabarah beliau, dan ini dimanfa’atkan dengan baik oleh kaum Adam
pesantren ini, mulai dari mencuci mata, sampek melepas kangen, dan sebagainya
lah… Asik,….
Kegiatan ini juga mulai jadi
istiqomah si Sya’dun, sejak pertemuan dengan siti Zulaikhanya. Maka dibelilah
al Qur’an seharga Rp. 30.000, katanya
“dan al Qur’an ini kan
menjadi saksi betapa tulusnya cintaku padanya, dan kelak akan kujadikan mahar
sebagai bentuk kesungguhanku untuk beribadah dengan menjadikannya ma’mumku
selamanya”…… halahhh…. Gomballle... gag nguati masse…
Disini hanya minoritas
orang-orang yang berusaha keluar dari gelap kekinian, malam belajar pagi baca
al qur’an siang sekolah, sementara
mayoritas punya keinginan, tapi hanya mengelengsar-gelengsar tanpa kemajuan, terhenti di masa kini, di dunia ini.
Salah siapa??? Em Tanya pada rumput yang bergoyang.
***
Hidupku menjadi
layang-layang,
benangnya putus,
dan aku terlempar.
Kini tak ingin aku
terbunuh lagi oleh
waktu.
(Sindhunata,
2000)
Sesal hanya akan jadi sesal,
tempat ini memang tak seperti yang kubayangkan, tapi toh aku tak
sendirian. Kadang memandang kebelakang
memang perlu tapi kalau terlalau terlena bisa terbunuh lagi oleh waktu. Wal
hasil kami mecoba merubah nasi yang terlanjur menjadi bubur, agar masih bisa
dinikmati oleh semua orang.
Bubur-bubur masalah ini harus
diberi bumbu agar masih ada konsumen yang mau. PR besarnya bagaimana yang 80%
ini menyusut sekian %???
Dan kami sadar tempat ini tak
seperti Hogwart, dimana mantera-mantera bisa dikeluarkan lewat tongkat sihir untuk merubah keadaan sekelebat
kilat. Dan di tempat ini kami belajar
bahwa hidup ini adalah proses, evolusi, dimana perubahan harus bertahap,
dengan alasan-alasan dan faktor yang tepat, yang jelas campur tangan dari Allah
lah yang menentukan segalanya. Maka kami mulai dari kami berempat, agar
bagaimana caranya tidak ikut tenggelam waktu shubuh, terasa berat memang bagi
sya’dun karena selama setahun ini tidur pagi sambil memegang al Qur’an adalah
istiqamahnya, tapi demi sedikit perubahan seniman yang nyantri ini memaksa
matanya agar melek di pagi.
Setelah sebulan kami hidup di
shubuh, perlahan kami tularkan virus kami ke santri sebelah kami. awalnya
banyak yang berontak, sampai ada yang nantang duel. Namun kata bang Rhoma bukan
perjuangan kalo gag disertai dengan
rintangan.
Kita hanya bisa berusaha untuk
membangunkan sekian persen mereka yang terjebak dalam mimpi shubuh,
mengembalikan memori mereka tentang betapa pentingnya membaca al Qur’an. Dan mengimbangkan
bahkan memberi kepahaman betapa pentingnya Ibadah dari bola.
***
Baru sekarang aku
rasakan
keabadian adalah
kekinian yang kekal
di dalamnya masa
laluku tertelan
dan masa depanku terkandungkan
aku bahagia, di
sini dan sekarang
(Sindhunata,
2000)
Kami mulai menikmati gerilya ini, kami hanya ingin
memberi sedikit sesuatu yang positif di pesantren kami. Dan sekali lagi kita
hanya berusaha hasilnya Allah know the best. Sementara hari ini, kami mulai
merekontruksi ulang mimpi kami, adapun besok entah apa yang akan terjadi , toh
kami hanya manusia…
12 Rabi’ul Awal
1454 H
en_dzu
tinggal di twitter @en_dzu