Selasa, 18 Februari 2014

Three Musketter and D’Argtanian on Pesantren



Three Musketter and D’Argtanian on Pesantren
Ular-ularan waktu

Ularularan waktu
Waktuku berjalan berularularan,
nasib hidupku ulangmengulang
Harapan akan masa depanku,
ditelan kekejaman masa laluku.
(Sindhunata, 2000)

Masih di sudut masjid ba’da dhuha, sambil menatap sengitnya awan yang berkejar-kejaran, sekilas bayang putih abu-abu muncul di baliknya. Ah,, ngayal lagi deh…
Ya, sudah hampir setahun aku tinggalkan baju putih abu-abuku, masih kangen, ketika harus berkejaran dengan satpam, merayu guru seni agar dapat nilai 8, dan disembur guru Bahasa Indonesia karena 1 semester hanya masuk 4 kali, hoahem, apanya yang dibanggakan cobak???
Tapi apapun itu, aku menikmati masa-masa itu, dimana harus push-up 175 kali untuk tanda kecakapan bantara, dimana harus lembur tiap malam demi tugas-tugas ilmu alam, dimana harus berjalan sejauh satu kilometer hanya untuk menggoda penjaga perpustakaan, (?).
Sedang hari ini, ketika dhuha mulai dirampas siang, aku harus berjibaku dalam kitab berwarna kuning dengan huruf-huruf hija’iyah yang berkejaran tanpa harokat.
Em sebenarnya tempat ini tak terlalu buruk untuk ditinggali, karena aku tidak sendiri, ada sya’dun dan ada joni, senasib kita. Namun aku sedikit tragis memang. Kesini karena ditolak oleh yang lain, dan tempat ini tak ubahnya adalah pelarianku sementara, sebuah alam gelap dimana untuk sejenak aku memarkirkan mimpiku. Tragisnya tempat ini tak seperti yang kubayangkan.
***

Aku hidup dari waktuku,
lega, kendati kini berada aku
dalam gelap kekinian,
aku berjalan dengan perut ular
mengelengsargelengsar tanpa kemajuan,
terhenti di masa kini, di dunia ini.
(Sindhunata, 2000)
Seribu sekian santri yang numpang tidur ditempat ini, namun hanya beberapa biji yang niat nyantri, selebihnya, tempat pelarian, pengasingan dan ada lagi yang menjadikan tempat ini sebegai tempat penginapan. Joni dan badrun masuk kategori yang beberapa biji sementara Aku dan sya’dun termasuk kategori selebihnya.
Di suatu pagi hari minggu saat para santri lagi pesta bola, laskar three musketter sedang duduk setelah muroja’ah tentang type Hp terbaru buat liburan besok, datanglah badrun yang baru turun dari ngajinya, sambil mengamati santri yang kayaknya gag kenal dengan yang namanya panas dan capek membaca mantralah dia
Qaala badrun : ape dadi opo iki arek-arek, lek bengi cangkruk, lek shubuh ngantuk, bal-balan semangat, tapi lek ngaji boyoe kumat, duh gusti mugi-mugi diparingi cepet sadar umat iki
Memang kalo diamati kadang sering membuat tertawa sendiri, disini sudah mulai muncul dalil-dalil baru entah itu dasarnya dari mana guna mendukung apa yang diperbuat mereka. Dalil pertamaqiyamul lail huas syarobul kohwah wa nyedot rokok syamsu”, yup, dalil ini dipakai bagi para pejuang malam, sebagian memang menghabiskan malamnya dengan muroj’ah pelajaran, namun jumhurnya muraja’ah tentang kaum hawa sebelah, type gadget terbaru atau tentang otomotif. Pertanyaan dari kang Pi’i
 terus pa bedanya pesantren sama giras cobak???
Dalil keduaqara’al Koran khoirun min qara’al qur’an”. Betapa tidak, setiap pagi ketika khataman al Qur’an tak kurang 80-90% santri yang numpang disini tepar tak berdaya di masjid, tapi begitu sampai di kamar ada koran apalagi babul kulit bundar, dan lagi bahas el Clasico mata yang semula 5 watt jadi 100 watt. Wuihhh…..
Dalil ketiga, “yajibu ‘ala ahadukum li playing football, li annal football hua yashihul badan”. Begini kalo jadi umat Imam Messi El Barca. Apalagi minggu pagi, kebijakan dari pengasuh di pesantren kami adalah minggu sehat, kecuali ketika bebarengan dengan acara istiqamah pesantren. Wal hasil this is the moment to show what they have. Halaman pesantren dikapling sedemikian rupa, jadi arena mengolah kulit bundar, yang paling unik adalah tak ada gawang peci pun jadi. So, peci yang waktu sholat diletakkan di atas kepala, kini jadi pembatas gawang, (?) ada-ada saja…
Sebenarnya sepakbola akan diselingkuhin ketika hari jum’at sore, ya, jum’at sore juga jum’at sehat. Namun akan lebih sehat, ketika kita berlama-lama di masjid, membaca al Qur’an atau dzikir yang lainnya sambil sesekali menyeleksi bidadari yang lewat. Sejak wafatnya pengasuh pesantren kami, setiap jum’at sore para santri putri berziarah ke Maqabarah beliau, dan ini dimanfa’atkan dengan baik oleh kaum Adam pesantren ini, mulai dari mencuci mata, sampek melepas kangen, dan sebagainya lah… Asik,….
Kegiatan ini juga mulai jadi istiqomah si Sya’dun, sejak pertemuan dengan siti Zulaikhanya. Maka dibelilah al Qur’an seharga Rp. 30.000, katanya
dan al Qur’an ini kan menjadi saksi betapa tulusnya cintaku padanya, dan kelak akan kujadikan mahar sebagai bentuk kesungguhanku untuk beribadah dengan menjadikannya ma’mumku selamanya”…… halahhh…. Gomballle... gag nguati masse…
Disini hanya minoritas orang-orang yang berusaha keluar dari gelap kekinian, malam belajar pagi baca al qur’an siang sekolah,  sementara mayoritas punya keinginan, tapi hanya mengelengsar-gelengsar tanpa kemajuan, terhenti di masa kini, di dunia ini. Salah siapa??? Em Tanya pada rumput yang bergoyang.
***

Hidupku menjadi layang-layang,
benangnya putus, dan aku terlempar.
Kini tak ingin aku
terbunuh lagi oleh waktu.
(Sindhunata, 2000)
Sesal hanya akan jadi sesal, tempat ini memang tak seperti yang kubayangkan, tapi toh aku tak sendirian.  Kadang memandang kebelakang memang perlu tapi kalau terlalau terlena bisa terbunuh lagi oleh waktu. Wal hasil kami mecoba merubah nasi yang terlanjur menjadi bubur, agar masih bisa dinikmati oleh semua orang.
Bubur-bubur masalah ini harus diberi bumbu agar masih ada konsumen yang mau. PR besarnya bagaimana yang 80% ini menyusut sekian %???
Dan kami sadar tempat ini tak seperti Hogwart, dimana mantera-mantera bisa dikeluarkan lewat  tongkat sihir untuk merubah keadaan sekelebat kilat. Dan di tempat ini kami belajar  bahwa hidup ini adalah proses, evolusi, dimana perubahan harus bertahap, dengan alasan-alasan dan faktor yang tepat, yang jelas campur tangan dari Allah lah yang menentukan segalanya. Maka kami mulai dari kami berempat, agar bagaimana caranya tidak ikut tenggelam waktu shubuh, terasa berat memang bagi sya’dun karena selama setahun ini tidur pagi sambil memegang al Qur’an adalah istiqamahnya, tapi demi sedikit perubahan seniman yang nyantri ini memaksa matanya agar melek di pagi.
Setelah sebulan kami hidup di shubuh, perlahan kami tularkan virus kami ke santri sebelah kami. awalnya banyak yang berontak, sampai ada yang nantang duel. Namun kata bang Rhoma bukan perjuangan kalo gag disertai dengan  rintangan.
Kita hanya bisa berusaha untuk membangunkan sekian persen mereka yang terjebak dalam mimpi shubuh, mengembalikan memori mereka tentang betapa pentingnya membaca al Qur’an. Dan mengimbangkan bahkan memberi kepahaman betapa pentingnya Ibadah dari bola.
***

Baru sekarang aku rasakan
keabadian adalah kekinian yang kekal
di dalamnya masa laluku tertelan
dan masa depanku terkandungkan
aku bahagia, di sini dan sekarang
(Sindhunata, 2000)
Kami mulai menikmati gerilya ini, kami hanya ingin memberi sedikit sesuatu yang positif di pesantren kami. Dan sekali lagi kita hanya berusaha hasilnya Allah know the best. Sementara hari ini, kami mulai merekontruksi ulang mimpi kami, adapun besok entah apa yang akan terjadi , toh kami hanya manusia…

12 Rabi’ul Awal  1454 H
en_dzu
tinggal di twitter @en_dzu

Re BUILD



Jangan pernah melupakan sejarah

Yuph, kalimat ini sangat benar, kebesaran sebuah bangsa dapat dilihat dari sejarahnya, begitupun juga sebuah agama. Islam, agama fenomenal di abad ke 7 masehi, yang dibawa oleh seorang utusan yang dikenal ummy, namun sebuah catatan penting, beliau dengan keummiyannya telah membuat agama ini menjadi agama yang Rahmatal Lil’ Alamin, dengan tujuan utama beliau untuk menyempurnakan akhlak. Berawal dari beliau sendiri yang kemudian menjadi rolmodel(baca: uswah) bagi keluarganya, teman dekat beliau, hingga meluas seluruh umat islam, bahkan sampai hari ini.

Itu dulu, sekarang Islam tengah mengalami krisis yang kritis, para alimnya telah terganti oleh orang-orang yang mengaku alim, dengan pengetahuan yang standard, dengan fatwa yang harus dikaji ulang. Mereka berfatwa dengan semangat ’45, namun tak banyak dari mereka yang mengamalkan fatwanya sendiri. Rahmatal lil’alamin kini hanya menjadi rahmatal lil muslimin, bahkan untuk penganutnya sendiri Islam terkesan kurang aman dan nyaman di mata non muslim. Akhlak yang telah dituntunkan oleh beliau kini banyak dicopy paste oleh orang-orang di luar Islam, sementara umat beliau malah mencopy paste style mereka yang terkesan absurd.

Sepertinya kalimat tadi perlu dilanjutkan…

***

Peristiwa sejarah selalu berulang dengan tempat dan waktu yang berbeda

Ada masa dimana Islam menjadi sebuah agama, yang umat dengan agama lain merasa nyaman dan aman di dalamnya. Namun ada masa dimana Islam seakan menjadi ancaman bagi mereka, atau mereka sendiri yang ingin meluluhkan Islam dengan dalih merasa terancam.

Di bumi arab di masa itu, dimana islam yang berawal dari minoritas, satu golongan, menyebar ke negara lain, hingga puncaknya sayap Islam sempat menaungi eropa. Adalah masa-masa damai, di mana mereka yang beragama lain, merasa nyaman dan aman berada di tanah islam. Dan setelah masa damai itu Islam mereka anggap sebagai ancaman, dan akhirnya darah harus bercecer dengan dalih agama, padahal di balik itu ada tujuan yang sangat jauh dari agama, yakni ambisi kekuasaan.

Di negeri ini, juga pernah mengalami hal serupa, di mana Islam juga minoritas pada masa itu, karena konsep dasar yang rahmatal lil’alamin, dan mengutamakan akhlak karimah, islam bukan hanya menjadi agama, tapi islam menjelma menjadi suatu budaya sehingga minoritas ini kini memenuhi status agama KTP sebagian besar penduduk negeri ini. Para pembawa islam di negeri ini, bukan hanya berbicara, tapi mereka bertindak, meniru apa yang telah dilakukan oleh junjungannya, menjadi rolmodel bagi bangsa ini. Dan fatwa mereka didasari kemampuan yang mumpuni bukan dengan alakadarnya seperti yang sering kita jumpai di layar kaca.

Namun, seperti di tanah asalnya, Islam di negeri ini mulai hilang  konsep dasarnya, agama yang damai ini terkesan menakutkan, dan mengancam orang-orang di luarnya, bahkan orang di dalam pun mulai tak nyaman. Akhlak karimah kini hanya menjadi slogan-slogan tanpa ada penerapan, cara-cara yang terkesan brutal lebih sering dipakai dalam mengahadapi permasalahan.

Dan kalimat ini masih butuh ending.

***

Sejarah adalah guru terbaik untuk berbenah

Masa lalu biarlah berlalu, masih ada hari ini esok dan hari setelah esok. Sekarang waktunya kita berbenah, ketika para Alim sudah mulai banyak yang berpulang, ketika agama telah menjadi tameng sebuah kepentingan, ketika akhlak hanya menjadi slogan. Masih ada waktu untuk berubah, dalam al Qur’an, Allah telah berpesan bahwa Dia tidak akan merubah kondisi suatu kaum sehingga kaum tersebut merubah sendiri kondisinya. Dalam sebuah tayangan di TV yang menampilkan sebuah tulisan di sebuah kafe di india “be change what yo want to see in the world”. Mengutip dawuh seorang Habib “zaman semakin menyeramkan, fitnah di sana sini, selamat kanlah keluargamu masing-masing, mulailah dari kamu, keluargamu dan orang terdekat kamu”

Dan minoritas yang mulai melangkah menuju mayoritas itu kini telah nyata muncul. Al Khidmah, yang pendirinya menjadi rolmodel bagi para muridnya, yang bukan hanya ucapannya, tapi tindak tanduknya yang bukan hanya orang biasa, tapi para habaib dan ulama’ yang sudah masyhur di masa ini turut mengakui keluhuran akhlaknya. Wadah yang beliau munculkan bukan hanya mengayomi muridnya, tapi juga orang-orang yang sebatas suka, dan punya i’tikad baik pada beliau. Tak hanya itu, wadah ini merupakan cerminan dari konsep “Rahmatal lil ‘Alamin” di mana, para pemuka dari non muslim berikut pengikutnya, ikut duduk dalam majlis yang diselenggarakan oleh wadah ini dan menerima dengan lapang adanya majlis seperti ini di wilayah yang notabene mereka adalah mayoritas. Beliau, mengawali dari dirinya sendiri, ke keluarganya, ke teman-temannya, hingga jadilah jama’ah ini menjadi seperti sekarang.

Waba’du: Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertemu dengan Muharram, sementara diluar sana ada orang-orang yang tak sempat bertemu Muharram, mari di tahun baru ini, kita membangun ulang niat kita, disertai dengan perbuatan sebagai wujud syukur atas nikmat tahun baru ini. Diawali dari kita masing masing, keluarga kita, teman-teman kita. Hingga Islam kembali ke sejarah yang pernah besar “rahmatal lil’alamin” dengan “kesempurnaan akhlak”, dengan apa yang telah dituntunkan oleh guru kita ra.
Allah has the best plan for us
en_dzu

ALTAR SENJA



ALTAR SENJA
Oleh: Dzulfikar Nasrullah

Aku melihatnya murung seminggu ini, raut wajahnya tak tenang, seakan ada masalah yang tak ingin dia bagi padaku. Sudah enam bulan sejak kehamilanku, kami pindah ke rumah orang tuaku, awalnya berat baginya untuk meninggalkan pekerjaan dan madrasah tempat dia mengabdikan diri. Namun Allah memang selalu punya rencana, disini pun dia masih bisa melakukan pekerjaan yang sangat disukainya itu, kabar baiknya dia diminta mengajar di almamater yang mempertemukan kisah ini.
***
Laki-laki memang tak sepandai wanita dalam menyembunyikan kegundahannya, bulan ini masuk bulan ke enam usia kehamilannya setelah empat tahun masa penantian kami. Dan malam ini untuk ketujuh kalinya mimpi itu berulang, seorang nenek dengan mukena kesayangannya, dan al Qur’an di pelukannya, menangis mengadu padaku. Setelah mimpi yang ketiga, bapak menelfonku, memintaku untuk pulang, karena ada masalah yang rumit di kampungku.
“makam nek Ijah hendak dibongkar”. Kata beliau dengan suara yang sangat berat.
***
Untuk pertama kalinya, pria yang hampir empat tahun ini menjadi imamku, menyembunyikan rahasia dariku. Di depanku dia mencoba mengkaburkan itu semua, tapi wanita selalu menang dalam menebak sikap kekasihnya.
Handpondnya sering berdering, dan selepas dia berkomunikasi dengan orang-orang yang menelfonnya, wajahnya akan nampak layu, seakan ada kekhawatiran yang berlebih, kekhawatiran yang tak ingin aku khawatiri.
Selepas isya’ setelah telfon-telfon itu datang, dia punya kebiasaan baru, kitab-kitab yang semula tersimpan rapi di rak dibukanya, layar komputernya, berisi tulisan-tulisan arab tanpa harokat yang aku kenal.
“ada kah yang bisa kubantu mas?” tanyaku malam itu, dengan tenang dia mengecup keningku, seakan dia berkata “tenanglah, semua baik-baik saja”.
***
“kini harapan kampung kami, adalah kamu dan sepupumu, aku sudah kalah, tapi kampung ini masih belum menyerah ada bapakmu, paklekmu, dan semua orang yang masih dengan keyakinan bahwa apa yang dituduhkan semua orang pada masyarakat kampung ini tidaklah benar”
Aku hanya diam mendengar dengan ta’dhim suara orang yang sudah sepuh ini
“aku mohon, sempatkanlah pulang di hari itu, kalau kamu masih punya kepedulian, demi nenek yang altarnya tinggal menunggu detik-detik pembongkaran”.
Kiyai Ma’mun menutup telfonnya dengan suara mengiba, aku  tak bisa bersuara. Mungkin kini sesal dan sesak mulai memenuhi hariku, ketika menghadapi pelik macam ini baru terasa betapa dulu sering main-main.
***
Ba’da shubuh pagi ini, dia langsung tertidur di tempat shalat, sudah lama aku tak melihatnya melakukan hal seperti ini, sementara di ruang kerjanya, kitab-kitabnya masib berserakan, komputernya masih menyala, entah kenapa rasa penasaranku membuatku berani untuk melihat apa yang sudah dikerjakannya.
Satau demi satu program yang menghiasi taskbar ku buka, sampai pada browser, yang salah tabnya memuat sebuah e-mail yang terbuka.

Assalamu’alaikum
Mas Fik yang kami hormati
Mungkin mas sudah mendengar ini dari bapak mas, atau dari orang-orang yang sudah memberi kabar pada mas.
Sebelumnya kami mohon ma’af karena mengabaikan peringatan mas, mas Mif, kyai Ma’mun dan juga sesepuh yang lain.
Kami tidak menduga akan terjadi seperti ini, lurah baru yang kami harap membawa perubahan malah membawa masalah bagi kampung kita, seperti yang pernah mas utarain, dia membawa kepentingan golongan dan politik yang menaunginya.
Kini harapan kami hanya pada jenengan dan mas Mif, kyai Ma’mun sudah kalah, walau beliau masih belum menyerah, argumen mereka lebih matang, kini pagar makam hanya tinggal dusun kita, bahkan separoh pemudanya sudah berhasil mereka rekrut, dusun sekitar beserta para tokohnya nampaknya sudah termakan doktrin dan uang mereka,  jum’at depan kami akan mengadakan debat terbuka,.
Wassalamu’alaikum
Zami
***
Ini adalah salah satu alasan kenapa aku mengabulkan pinta istriku untuk tinggal bersama orang tuanya selain janjiku apabila dia mengandung.
Setahun lalu kampung kami mengadakan pemilihan  lurah, diantara calonnya adalah menantu pak lurah yang lama, yang baru pulang dari merantau di kota, yang konon juga masih lulusan sebuah universitas ternama di negeri ini. Aku kenal betul dengan dia, karena masih teman seangkatanku waktu masih SMA, dan paham kami bertentangan.
Dia adalah aktifis di suatu ormas, yang membid’ahkan segala amalan yang telah diamalkan para orang tua kami dan kami, dan dia juga salah satu kader politik dari sebuah parpol yang besar di negeri ini.
Kedatangannya di kampung semula sangat mendukung kegiatan warga, bahkan dia turut andil dalam pembangunan makbarah nek Ijah. Namun itulah politik, selalu ada yang kejam dibalik sebuah uluran tangan.
Aku adalah orang yang paling keras menolak untuk mendukung orang ini, sebagian orang dekatku aku beritahu, tentang latar belakang pemuda itu, termasuk Zami, putra Kyai Ma’mun, namun semua malah mengucilkanku, mereka menganggap aku terlalu kolot, aku kurang berjiwa muda, lebih mendukung pak Syu’eb yang usianya sudah masuk kepala lima untuk menjadi lurah. Mungkin karena pak Syu’eb adalah paklekku, sehingga timbulah pemikiran mereka yang seperti ini.
Lurah muda ini memang memiliki mobilitas tinggi dalam menyebar doktrinnya, sekampung dia gratiskan sekolah, dan setiap sore, dia membuka pengajian gratis di rumahnya, yang pengajarnya dia datangkan dari luar kampung, katanya mereka lulusan dali luar negeri dan beberapa sarjana dari universitas ternama. Bagi dia uang adalah masalah sepele, karena ormas dan parpol yang menaunginya mendapat sokongan dana yang luar biasa dari timur tengah.
Sampai akhirnya, sebulan setelah dia menjadi lurah, serigala itu keluar dari jubah dombanya.
***
Terjawab sudah kemurungannya akhir-akhir ini, kekhawatiran yang pernah dia ceritakan kepadaku, tentang apa yang akan terjadi di kampung ini. Sebulan sebelum kami pindah, secara tiba-tiba masyarakat sekitar menyuruhnya berhenti dari mengajar di masjid, bukan hanya dia, mertuaku yang masih pendiri madrasah di masjid itupun disuruh berhenti oleh warga, berikut mas Mif. Dan peran kyai Ma’mun perlahan mulai tergantikan.
Makbarah nek Ijah, adalah tempat dimana mereka masih bisa menularkan ilmunya, awalnya banyak warga luar kampung kami yang belajar, namun perlahan semua luntur oleh doktrin ormas orang ini.
Sempat terdengar isu, bahwa apa yang selama ini diamalkan dan diyakini oleh para orang tua dan kami, adalah perbuatan sesat, mengagunggkan kuburan. Shalawatan di Masjid-masjid, mereka anggap menyukutukan Allah dengan Rasul-Nya, dan banyak fatwa yang mereka gencarkan dengan segala dalilnya untuk meruntuhkan apa yang kami yakini, dan ujungnya semua itu demi urusan politik.
Ya agama memang senjata yang paling pas, untuk peperangan politik dengan segala tipu muslihatnya di negeri ini.
***
Dan wanita selalu menang dalam menebak perasaan, minggu sore sepulang kami dari makbarah guru kami, dia menghampiriku dengan secangkir teh hangat. Selalu ada cara untuk menunjukkan betapa Allah telah memilihkan aku bidadari yang pas sebagai pendamping hidup.
“sudah siapkah mas?”
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“aku boleh ikut jum’at besok, calon bayi kita kangen kakek neneknya disana”
Aku hanya mengangguk, seperti biasa mulutku terkunci rapi saat melihat wajahnya dan iba suaranya.
Empat hari lagi entah yang akan terjadi, dua hari ini hpku seakan mengeluh karena seringnya telfon-telfon itu masuk, namun ada berita yang tidak bagus.
***
Sejak minggu sore itu dia mau berbagi resahnya padaku, beberapa kali kami sering membahas bersama masalah ini, pendapatku pun dipintanya dalam memahami ta’bir-ta’bir yang sudah didapatinya. Namun sore ini dia lebih gelisah dari biasanya.
Dugaannya benar, ini bukan hanya so’al agama yang digembar-gemborkan oleh lurah baru ini dan ormasnya, ini lebih mengarah ke urusan politik, dan kepentingan golongan.
Ketika makam nek Ijah dibangun oleh warga, warga melakukan penggalian untuk sumber air disekitar rumah nenek, dan yang mengejutkan, sumur yang digali itu bukan keluar air, tapi minyak. Konon setelah diteliti oleh sebuah universitas, dimana lurah muda ini juga terlibat dalam penelitian itu, minyak yang dihasilkan oleh galian ini memiliki kuailitas cukup bagus, dan menjanjikan. Namun warga sepakat untuk menutup sumur ini, karena takut terjadi sesuatu sebagaimana berita yang beredar tentang meluapnya sumber lumpur karena pengeboran minyak. Dan warga pun sepakat untuk menjaga rahasia ini.
Melalui salah satu rekannya yang juga politikus dan juga pegawai di PGN(perusahaan gas Negara), suamiku tahu bahwa politikus yang juga lurah nakal ini beserta para koleganya ingin menguasai makam nek Ijah, dan mengeksplorasi apa yang di dalamnya. Dan hal ini tak mungkin dilakukan tanpa pembongkaran makam itu.
***
Besok pagi entah apa yang terjadi, beberapa temanku bilang, ada beberapa perusahaan pengeboran yang sudah bercerita, bahwa akan ada proyek besar di kampungku. Aku terpaksa harus kagum dengan akselerasinya, networkingnya yang luar biasa, mulai dari jajaran pemerintah diatasanya, tokoh agama yang dibelakanganya, serta para militer yang siap melindunginya. Yang kusayangkan dua tokoh yang selama ini jadi panutan kampung kami mau terjerumus bersamanya.
Pak Hamid, mantan lurah, dan H. Daim pemilik seperempat tanah kampung kami, entah apa alasan mereka.
***
Aku hanya mendengar sekali adzan di masjid jum’at ini, kata ibu mertuaku sudah sejak Dzulqa’dah kemaren. Beliau bercerita bahwa sejak pulangnya H. Daim dari Makkah, struktur takmir masjid telah dirubah, tak ada lagi nama Kyai Ma’mun, yang ada hanya para cendikiawan pendatang baru yang disokong oleh lurah baru ini.
“katanya H. Daim, semua yang kita amalkan dikampung kita ini bid’ah, di Makkah tidak ada amalan seperti ini, dan Rasulullah juga tidak pernah menyuruh seperti ini, kitab-kitab yang dipakai anak-anak mengaji di masjid itu cuman karangan para pembohong”
Telingaku merasa panas, mendengar cerita ibu mertuaku, dari sudut mata beliau turun embun, ketika mendengar para pendukung lurah baru ini, menjelek-jelekkan bapak, pak lek Syu’eb, dan kyai Ma’mun.
***
Ba’da jum’atan di area makbarah nek Ijah, suasana panas seakan tak terbendung dengan adanya mendung yang memayungi makbarah nenek. Aku sadar ini bukan tentang masalah agama, tapi lebih ke duniawi yang diagamakan. Dan debat ini sebenarnya tak perlu dilakukan, karena kalaupun kami berhasil mempertahankan apa yang kami yakini, mereka akan menyusun rencana lain untuk tujuan asal meraka.
Inilah di depanku, para cendikiawan yang telah menundukkan dalil-dalil kyai Ma’mun, yang mengalihkan keyakinan kampung ini. Di meja, tempat aku dan Mif duduk, setumpuk kitab sudah siap kami susun menjadi tameng untuk membentengi keyakinan kami dan para orang tua kami.
“ingat, tak perlu kalian menyerang pemikiran mereka, ini bukan perang, cukup kalian ungkap ta’bir-ta’bir bahwa apa yang kita yakini dan kita amalkan itu benar dan sesuai dengan ajaran agama cukup.”
Pesan bapak pada ku dan Mif sebelum pemikiran kami dan mereka, berbenturan meledak bersinggungan berhamburan di tempat ini.
***
Aku di rumah bersama ibu mertuaku, suara suamiku yang terdengar lewat speaker masih selancar ketika dia mengucap ijab qabul padaku. Aku hanya berdo’a semoga apa yang dilakukannya, menjadi hal yang terbaik yang bisa menjadikan baik bagi kampung kami.
“nduk menurut kamu apa yang kita amalkan ini benarkan? Tidak beretentangan sama agama kan” tanya ibu mertuaku sembari mengusap butiran indah dipipinya.
Aku hanya menggangguk, sejak beberapa menit yang lalu huruf-hurufku entah kemana, saat ini aku hanya bisa diam menyimak peperangan huruf yang terdengar dari speaker.
***
Ashar hampir kabur, sa’at mereka kehabisan kata, jenggot-jenggot yang mereka pelihara seakan terbakar, muka mereka merah padam. Para cendikiawan yang diagung-agungkan oleh anak kampung akhir-akhir ini, harus merasakan panas dalam yang luar biasa oleh huruf-huruf yang kami kutib dari para maestro muslim yang sudah diakui keilmuannya.
Kami berdua adalah garis terakhir lulusan pesantren dari kampung ini, setelah kami, para orang tua lebih senang anaknya bergelar S yang berjubel. Semoga setelah hari ini semuanya berubah, kembali ke track asal, karena kampung ini masih butuh banyak penerus yang semacam kyai Ma’mun.
***
Ya, altar senja ini masih terjaga, untuk hari ini dan beberapa hari kedepan, Kyai Ma’mun yang sudah tidak difungsikan
di masjid, kini manjadi ketua cagar sejarah keagamaan kampung ini, beserta bapak, pak lek Syu’eb, dan Mif.
Sementara suamiku, aku ingin menikmati masa-masa damai menunggu bayiku bersamanya. Dan mereka semua mengizinkannya, setelah bayi ini  lahir, aku pasrahkan segala keputusan pada dia, aku hanya berdo’a dengan do’a yang sama - semoga manjadi hal yang terbaik yang bisa menjadikan baik bagi dia dan orang sekitarnya-.
***
Setelah berpamitan kami pulang, aku tahu, ini belum akhir, karena dunia tak akan selesai sebelum kiamat, sementara kami menikmati kedamaian yang sementara ini, awan hitam sedang berkumpul di sisi lain, dengan segala tipu dayanya, demi  kepentingan dunia yang menipunya.

26 Oktober 2013
Untuk: Maulidatun Nuril Fitriana