Selasa, 18 Februari 2014

ALTAR SENJA



ALTAR SENJA
Oleh: Dzulfikar Nasrullah

Aku melihatnya murung seminggu ini, raut wajahnya tak tenang, seakan ada masalah yang tak ingin dia bagi padaku. Sudah enam bulan sejak kehamilanku, kami pindah ke rumah orang tuaku, awalnya berat baginya untuk meninggalkan pekerjaan dan madrasah tempat dia mengabdikan diri. Namun Allah memang selalu punya rencana, disini pun dia masih bisa melakukan pekerjaan yang sangat disukainya itu, kabar baiknya dia diminta mengajar di almamater yang mempertemukan kisah ini.
***
Laki-laki memang tak sepandai wanita dalam menyembunyikan kegundahannya, bulan ini masuk bulan ke enam usia kehamilannya setelah empat tahun masa penantian kami. Dan malam ini untuk ketujuh kalinya mimpi itu berulang, seorang nenek dengan mukena kesayangannya, dan al Qur’an di pelukannya, menangis mengadu padaku. Setelah mimpi yang ketiga, bapak menelfonku, memintaku untuk pulang, karena ada masalah yang rumit di kampungku.
“makam nek Ijah hendak dibongkar”. Kata beliau dengan suara yang sangat berat.
***
Untuk pertama kalinya, pria yang hampir empat tahun ini menjadi imamku, menyembunyikan rahasia dariku. Di depanku dia mencoba mengkaburkan itu semua, tapi wanita selalu menang dalam menebak sikap kekasihnya.
Handpondnya sering berdering, dan selepas dia berkomunikasi dengan orang-orang yang menelfonnya, wajahnya akan nampak layu, seakan ada kekhawatiran yang berlebih, kekhawatiran yang tak ingin aku khawatiri.
Selepas isya’ setelah telfon-telfon itu datang, dia punya kebiasaan baru, kitab-kitab yang semula tersimpan rapi di rak dibukanya, layar komputernya, berisi tulisan-tulisan arab tanpa harokat yang aku kenal.
“ada kah yang bisa kubantu mas?” tanyaku malam itu, dengan tenang dia mengecup keningku, seakan dia berkata “tenanglah, semua baik-baik saja”.
***
“kini harapan kampung kami, adalah kamu dan sepupumu, aku sudah kalah, tapi kampung ini masih belum menyerah ada bapakmu, paklekmu, dan semua orang yang masih dengan keyakinan bahwa apa yang dituduhkan semua orang pada masyarakat kampung ini tidaklah benar”
Aku hanya diam mendengar dengan ta’dhim suara orang yang sudah sepuh ini
“aku mohon, sempatkanlah pulang di hari itu, kalau kamu masih punya kepedulian, demi nenek yang altarnya tinggal menunggu detik-detik pembongkaran”.
Kiyai Ma’mun menutup telfonnya dengan suara mengiba, aku  tak bisa bersuara. Mungkin kini sesal dan sesak mulai memenuhi hariku, ketika menghadapi pelik macam ini baru terasa betapa dulu sering main-main.
***
Ba’da shubuh pagi ini, dia langsung tertidur di tempat shalat, sudah lama aku tak melihatnya melakukan hal seperti ini, sementara di ruang kerjanya, kitab-kitabnya masib berserakan, komputernya masih menyala, entah kenapa rasa penasaranku membuatku berani untuk melihat apa yang sudah dikerjakannya.
Satau demi satu program yang menghiasi taskbar ku buka, sampai pada browser, yang salah tabnya memuat sebuah e-mail yang terbuka.

Assalamu’alaikum
Mas Fik yang kami hormati
Mungkin mas sudah mendengar ini dari bapak mas, atau dari orang-orang yang sudah memberi kabar pada mas.
Sebelumnya kami mohon ma’af karena mengabaikan peringatan mas, mas Mif, kyai Ma’mun dan juga sesepuh yang lain.
Kami tidak menduga akan terjadi seperti ini, lurah baru yang kami harap membawa perubahan malah membawa masalah bagi kampung kita, seperti yang pernah mas utarain, dia membawa kepentingan golongan dan politik yang menaunginya.
Kini harapan kami hanya pada jenengan dan mas Mif, kyai Ma’mun sudah kalah, walau beliau masih belum menyerah, argumen mereka lebih matang, kini pagar makam hanya tinggal dusun kita, bahkan separoh pemudanya sudah berhasil mereka rekrut, dusun sekitar beserta para tokohnya nampaknya sudah termakan doktrin dan uang mereka,  jum’at depan kami akan mengadakan debat terbuka,.
Wassalamu’alaikum
Zami
***
Ini adalah salah satu alasan kenapa aku mengabulkan pinta istriku untuk tinggal bersama orang tuanya selain janjiku apabila dia mengandung.
Setahun lalu kampung kami mengadakan pemilihan  lurah, diantara calonnya adalah menantu pak lurah yang lama, yang baru pulang dari merantau di kota, yang konon juga masih lulusan sebuah universitas ternama di negeri ini. Aku kenal betul dengan dia, karena masih teman seangkatanku waktu masih SMA, dan paham kami bertentangan.
Dia adalah aktifis di suatu ormas, yang membid’ahkan segala amalan yang telah diamalkan para orang tua kami dan kami, dan dia juga salah satu kader politik dari sebuah parpol yang besar di negeri ini.
Kedatangannya di kampung semula sangat mendukung kegiatan warga, bahkan dia turut andil dalam pembangunan makbarah nek Ijah. Namun itulah politik, selalu ada yang kejam dibalik sebuah uluran tangan.
Aku adalah orang yang paling keras menolak untuk mendukung orang ini, sebagian orang dekatku aku beritahu, tentang latar belakang pemuda itu, termasuk Zami, putra Kyai Ma’mun, namun semua malah mengucilkanku, mereka menganggap aku terlalu kolot, aku kurang berjiwa muda, lebih mendukung pak Syu’eb yang usianya sudah masuk kepala lima untuk menjadi lurah. Mungkin karena pak Syu’eb adalah paklekku, sehingga timbulah pemikiran mereka yang seperti ini.
Lurah muda ini memang memiliki mobilitas tinggi dalam menyebar doktrinnya, sekampung dia gratiskan sekolah, dan setiap sore, dia membuka pengajian gratis di rumahnya, yang pengajarnya dia datangkan dari luar kampung, katanya mereka lulusan dali luar negeri dan beberapa sarjana dari universitas ternama. Bagi dia uang adalah masalah sepele, karena ormas dan parpol yang menaunginya mendapat sokongan dana yang luar biasa dari timur tengah.
Sampai akhirnya, sebulan setelah dia menjadi lurah, serigala itu keluar dari jubah dombanya.
***
Terjawab sudah kemurungannya akhir-akhir ini, kekhawatiran yang pernah dia ceritakan kepadaku, tentang apa yang akan terjadi di kampung ini. Sebulan sebelum kami pindah, secara tiba-tiba masyarakat sekitar menyuruhnya berhenti dari mengajar di masjid, bukan hanya dia, mertuaku yang masih pendiri madrasah di masjid itupun disuruh berhenti oleh warga, berikut mas Mif. Dan peran kyai Ma’mun perlahan mulai tergantikan.
Makbarah nek Ijah, adalah tempat dimana mereka masih bisa menularkan ilmunya, awalnya banyak warga luar kampung kami yang belajar, namun perlahan semua luntur oleh doktrin ormas orang ini.
Sempat terdengar isu, bahwa apa yang selama ini diamalkan dan diyakini oleh para orang tua dan kami, adalah perbuatan sesat, mengagunggkan kuburan. Shalawatan di Masjid-masjid, mereka anggap menyukutukan Allah dengan Rasul-Nya, dan banyak fatwa yang mereka gencarkan dengan segala dalilnya untuk meruntuhkan apa yang kami yakini, dan ujungnya semua itu demi urusan politik.
Ya agama memang senjata yang paling pas, untuk peperangan politik dengan segala tipu muslihatnya di negeri ini.
***
Dan wanita selalu menang dalam menebak perasaan, minggu sore sepulang kami dari makbarah guru kami, dia menghampiriku dengan secangkir teh hangat. Selalu ada cara untuk menunjukkan betapa Allah telah memilihkan aku bidadari yang pas sebagai pendamping hidup.
“sudah siapkah mas?”
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“aku boleh ikut jum’at besok, calon bayi kita kangen kakek neneknya disana”
Aku hanya mengangguk, seperti biasa mulutku terkunci rapi saat melihat wajahnya dan iba suaranya.
Empat hari lagi entah yang akan terjadi, dua hari ini hpku seakan mengeluh karena seringnya telfon-telfon itu masuk, namun ada berita yang tidak bagus.
***
Sejak minggu sore itu dia mau berbagi resahnya padaku, beberapa kali kami sering membahas bersama masalah ini, pendapatku pun dipintanya dalam memahami ta’bir-ta’bir yang sudah didapatinya. Namun sore ini dia lebih gelisah dari biasanya.
Dugaannya benar, ini bukan hanya so’al agama yang digembar-gemborkan oleh lurah baru ini dan ormasnya, ini lebih mengarah ke urusan politik, dan kepentingan golongan.
Ketika makam nek Ijah dibangun oleh warga, warga melakukan penggalian untuk sumber air disekitar rumah nenek, dan yang mengejutkan, sumur yang digali itu bukan keluar air, tapi minyak. Konon setelah diteliti oleh sebuah universitas, dimana lurah muda ini juga terlibat dalam penelitian itu, minyak yang dihasilkan oleh galian ini memiliki kuailitas cukup bagus, dan menjanjikan. Namun warga sepakat untuk menutup sumur ini, karena takut terjadi sesuatu sebagaimana berita yang beredar tentang meluapnya sumber lumpur karena pengeboran minyak. Dan warga pun sepakat untuk menjaga rahasia ini.
Melalui salah satu rekannya yang juga politikus dan juga pegawai di PGN(perusahaan gas Negara), suamiku tahu bahwa politikus yang juga lurah nakal ini beserta para koleganya ingin menguasai makam nek Ijah, dan mengeksplorasi apa yang di dalamnya. Dan hal ini tak mungkin dilakukan tanpa pembongkaran makam itu.
***
Besok pagi entah apa yang terjadi, beberapa temanku bilang, ada beberapa perusahaan pengeboran yang sudah bercerita, bahwa akan ada proyek besar di kampungku. Aku terpaksa harus kagum dengan akselerasinya, networkingnya yang luar biasa, mulai dari jajaran pemerintah diatasanya, tokoh agama yang dibelakanganya, serta para militer yang siap melindunginya. Yang kusayangkan dua tokoh yang selama ini jadi panutan kampung kami mau terjerumus bersamanya.
Pak Hamid, mantan lurah, dan H. Daim pemilik seperempat tanah kampung kami, entah apa alasan mereka.
***
Aku hanya mendengar sekali adzan di masjid jum’at ini, kata ibu mertuaku sudah sejak Dzulqa’dah kemaren. Beliau bercerita bahwa sejak pulangnya H. Daim dari Makkah, struktur takmir masjid telah dirubah, tak ada lagi nama Kyai Ma’mun, yang ada hanya para cendikiawan pendatang baru yang disokong oleh lurah baru ini.
“katanya H. Daim, semua yang kita amalkan dikampung kita ini bid’ah, di Makkah tidak ada amalan seperti ini, dan Rasulullah juga tidak pernah menyuruh seperti ini, kitab-kitab yang dipakai anak-anak mengaji di masjid itu cuman karangan para pembohong”
Telingaku merasa panas, mendengar cerita ibu mertuaku, dari sudut mata beliau turun embun, ketika mendengar para pendukung lurah baru ini, menjelek-jelekkan bapak, pak lek Syu’eb, dan kyai Ma’mun.
***
Ba’da jum’atan di area makbarah nek Ijah, suasana panas seakan tak terbendung dengan adanya mendung yang memayungi makbarah nenek. Aku sadar ini bukan tentang masalah agama, tapi lebih ke duniawi yang diagamakan. Dan debat ini sebenarnya tak perlu dilakukan, karena kalaupun kami berhasil mempertahankan apa yang kami yakini, mereka akan menyusun rencana lain untuk tujuan asal meraka.
Inilah di depanku, para cendikiawan yang telah menundukkan dalil-dalil kyai Ma’mun, yang mengalihkan keyakinan kampung ini. Di meja, tempat aku dan Mif duduk, setumpuk kitab sudah siap kami susun menjadi tameng untuk membentengi keyakinan kami dan para orang tua kami.
“ingat, tak perlu kalian menyerang pemikiran mereka, ini bukan perang, cukup kalian ungkap ta’bir-ta’bir bahwa apa yang kita yakini dan kita amalkan itu benar dan sesuai dengan ajaran agama cukup.”
Pesan bapak pada ku dan Mif sebelum pemikiran kami dan mereka, berbenturan meledak bersinggungan berhamburan di tempat ini.
***
Aku di rumah bersama ibu mertuaku, suara suamiku yang terdengar lewat speaker masih selancar ketika dia mengucap ijab qabul padaku. Aku hanya berdo’a semoga apa yang dilakukannya, menjadi hal yang terbaik yang bisa menjadikan baik bagi kampung kami.
“nduk menurut kamu apa yang kita amalkan ini benarkan? Tidak beretentangan sama agama kan” tanya ibu mertuaku sembari mengusap butiran indah dipipinya.
Aku hanya menggangguk, sejak beberapa menit yang lalu huruf-hurufku entah kemana, saat ini aku hanya bisa diam menyimak peperangan huruf yang terdengar dari speaker.
***
Ashar hampir kabur, sa’at mereka kehabisan kata, jenggot-jenggot yang mereka pelihara seakan terbakar, muka mereka merah padam. Para cendikiawan yang diagung-agungkan oleh anak kampung akhir-akhir ini, harus merasakan panas dalam yang luar biasa oleh huruf-huruf yang kami kutib dari para maestro muslim yang sudah diakui keilmuannya.
Kami berdua adalah garis terakhir lulusan pesantren dari kampung ini, setelah kami, para orang tua lebih senang anaknya bergelar S yang berjubel. Semoga setelah hari ini semuanya berubah, kembali ke track asal, karena kampung ini masih butuh banyak penerus yang semacam kyai Ma’mun.
***
Ya, altar senja ini masih terjaga, untuk hari ini dan beberapa hari kedepan, Kyai Ma’mun yang sudah tidak difungsikan
di masjid, kini manjadi ketua cagar sejarah keagamaan kampung ini, beserta bapak, pak lek Syu’eb, dan Mif.
Sementara suamiku, aku ingin menikmati masa-masa damai menunggu bayiku bersamanya. Dan mereka semua mengizinkannya, setelah bayi ini  lahir, aku pasrahkan segala keputusan pada dia, aku hanya berdo’a dengan do’a yang sama - semoga manjadi hal yang terbaik yang bisa menjadikan baik bagi dia dan orang sekitarnya-.
***
Setelah berpamitan kami pulang, aku tahu, ini belum akhir, karena dunia tak akan selesai sebelum kiamat, sementara kami menikmati kedamaian yang sementara ini, awan hitam sedang berkumpul di sisi lain, dengan segala tipu dayanya, demi  kepentingan dunia yang menipunya.

26 Oktober 2013
Untuk: Maulidatun Nuril Fitriana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar