ALTAR SENJA
Oleh: Dzulfikar Nasrullah
Aku
melihatnya murung seminggu ini, raut wajahnya tak tenang, seakan ada masalah
yang tak ingin dia bagi padaku. Sudah enam bulan sejak kehamilanku, kami pindah
ke rumah orang tuaku, awalnya berat baginya untuk meninggalkan pekerjaan dan
madrasah tempat dia mengabdikan diri. Namun Allah memang selalu punya rencana,
disini pun dia masih bisa melakukan pekerjaan yang sangat disukainya itu, kabar
baiknya dia diminta mengajar di almamater yang mempertemukan kisah ini.
***
Laki-laki
memang tak sepandai wanita dalam menyembunyikan kegundahannya, bulan ini masuk
bulan ke enam usia kehamilannya setelah empat tahun masa penantian kami. Dan
malam ini untuk ketujuh kalinya mimpi itu berulang, seorang nenek dengan mukena
kesayangannya, dan al Qur’an di pelukannya, menangis mengadu padaku. Setelah
mimpi yang ketiga, bapak menelfonku, memintaku untuk pulang, karena ada masalah
yang rumit di kampungku.
“makam nek Ijah
hendak dibongkar”. Kata beliau dengan suara yang sangat berat.
***
Untuk
pertama kalinya, pria yang hampir empat tahun ini menjadi imamku,
menyembunyikan rahasia dariku. Di depanku dia mencoba mengkaburkan itu semua,
tapi wanita selalu menang dalam menebak sikap kekasihnya.
Handpondnya
sering berdering, dan selepas dia berkomunikasi dengan orang-orang yang
menelfonnya, wajahnya akan nampak layu, seakan ada kekhawatiran yang berlebih,
kekhawatiran yang tak ingin aku khawatiri.
Selepas
isya’ setelah telfon-telfon itu datang, dia punya kebiasaan baru, kitab-kitab
yang semula tersimpan rapi di rak dibukanya, layar komputernya, berisi
tulisan-tulisan arab tanpa harokat yang aku kenal.
“ada kah
yang bisa kubantu mas?” tanyaku malam itu, dengan tenang dia mengecup keningku,
seakan dia berkata “tenanglah, semua baik-baik saja”.
***
“kini
harapan kampung kami, adalah kamu dan sepupumu, aku sudah kalah, tapi kampung
ini masih belum menyerah ada bapakmu, paklekmu, dan semua orang yang masih
dengan keyakinan bahwa apa yang dituduhkan semua orang pada masyarakat kampung
ini tidaklah benar”
Aku hanya
diam mendengar dengan ta’dhim suara orang yang sudah sepuh ini
“aku mohon,
sempatkanlah pulang di hari itu, kalau kamu masih punya kepedulian, demi nenek
yang altarnya tinggal menunggu detik-detik pembongkaran”.
Kiyai Ma’mun
menutup telfonnya dengan suara mengiba, aku
tak bisa bersuara. Mungkin kini sesal dan sesak mulai memenuhi hariku,
ketika menghadapi pelik macam ini baru terasa betapa dulu sering main-main.
***
Ba’da shubuh
pagi ini, dia langsung tertidur di tempat shalat, sudah lama aku tak melihatnya
melakukan hal seperti ini, sementara di ruang kerjanya, kitab-kitabnya masib
berserakan, komputernya masih menyala, entah kenapa rasa penasaranku membuatku
berani untuk melihat apa yang sudah dikerjakannya.
Satau demi
satu program yang menghiasi taskbar ku buka, sampai pada browser, yang salah
tabnya memuat sebuah e-mail yang terbuka.
Assalamu’alaikum
Mas Fik
yang kami hormati
Mungkin
mas sudah mendengar ini dari bapak mas, atau dari orang-orang yang sudah memberi
kabar pada mas.
Sebelumnya
kami mohon ma’af karena mengabaikan peringatan mas, mas Mif, kyai Ma’mun dan
juga sesepuh yang lain.
Kami
tidak menduga akan terjadi seperti ini, lurah baru yang kami harap membawa
perubahan malah membawa masalah bagi kampung kita, seperti yang pernah mas
utarain, dia membawa kepentingan golongan dan politik yang menaunginya.
Kini
harapan kami hanya pada jenengan dan mas Mif, kyai Ma’mun sudah kalah, walau
beliau masih belum menyerah, argumen mereka lebih matang, kini pagar makam
hanya tinggal dusun kita, bahkan separoh pemudanya sudah berhasil mereka
rekrut, dusun sekitar beserta para tokohnya nampaknya sudah termakan doktrin
dan uang mereka, jum’at depan kami akan
mengadakan debat terbuka,.
…
Wassalamu’alaikum
Zami
***
Ini adalah
salah satu alasan kenapa aku mengabulkan pinta istriku untuk tinggal bersama
orang tuanya selain janjiku apabila dia mengandung.
Setahun lalu
kampung kami mengadakan pemilihan lurah,
diantara calonnya adalah menantu pak lurah yang lama, yang baru pulang dari
merantau di kota, yang konon juga masih lulusan sebuah universitas ternama di
negeri ini. Aku kenal betul dengan dia, karena masih teman seangkatanku waktu
masih SMA, dan paham kami bertentangan.
Dia adalah
aktifis di suatu ormas, yang membid’ahkan segala amalan yang telah diamalkan
para orang tua kami dan kami, dan dia juga salah satu kader politik dari sebuah
parpol yang besar di negeri ini.
Kedatangannya
di kampung semula sangat mendukung kegiatan warga, bahkan dia turut andil dalam
pembangunan makbarah nek Ijah. Namun itulah politik, selalu ada yang kejam
dibalik sebuah uluran tangan.
Aku adalah
orang yang paling keras menolak untuk mendukung orang ini, sebagian orang
dekatku aku beritahu, tentang latar belakang pemuda itu, termasuk Zami, putra
Kyai Ma’mun, namun semua malah mengucilkanku, mereka menganggap aku terlalu
kolot, aku kurang berjiwa muda, lebih mendukung pak Syu’eb yang usianya sudah
masuk kepala lima untuk menjadi lurah. Mungkin karena pak Syu’eb adalah paklekku,
sehingga timbulah pemikiran mereka yang seperti ini.
Lurah muda
ini memang memiliki mobilitas tinggi dalam menyebar doktrinnya, sekampung dia
gratiskan sekolah, dan setiap sore, dia membuka pengajian gratis di rumahnya,
yang pengajarnya dia datangkan dari luar kampung, katanya mereka lulusan dali
luar negeri dan beberapa sarjana dari universitas ternama. Bagi dia uang adalah
masalah sepele, karena ormas dan parpol yang menaunginya mendapat sokongan dana
yang luar biasa dari timur tengah.
Sampai akhirnya,
sebulan setelah dia menjadi lurah, serigala itu keluar dari jubah dombanya.
***
Terjawab
sudah kemurungannya akhir-akhir ini, kekhawatiran yang pernah dia ceritakan
kepadaku, tentang apa yang akan terjadi di kampung ini. Sebulan sebelum kami
pindah, secara tiba-tiba masyarakat sekitar menyuruhnya berhenti dari mengajar
di masjid, bukan hanya dia, mertuaku yang masih pendiri madrasah di masjid
itupun disuruh berhenti oleh warga, berikut mas Mif. Dan peran kyai Ma’mun
perlahan mulai tergantikan.
Makbarah nek
Ijah, adalah tempat dimana mereka masih bisa menularkan ilmunya, awalnya banyak
warga luar kampung kami yang belajar, namun perlahan semua luntur oleh doktrin
ormas orang ini.
Sempat
terdengar isu, bahwa apa yang selama ini diamalkan dan diyakini oleh para orang
tua dan kami, adalah perbuatan sesat, mengagunggkan kuburan. Shalawatan di
Masjid-masjid, mereka anggap menyukutukan Allah dengan Rasul-Nya, dan banyak
fatwa yang mereka gencarkan dengan segala dalilnya untuk meruntuhkan apa yang
kami yakini, dan ujungnya semua itu demi urusan politik.
Ya agama
memang senjata yang paling pas, untuk peperangan politik dengan segala tipu
muslihatnya di negeri ini.
***
Dan wanita
selalu menang dalam menebak perasaan, minggu sore sepulang kami dari makbarah
guru kami, dia menghampiriku dengan secangkir teh hangat. Selalu ada cara untuk
menunjukkan betapa Allah telah memilihkan aku bidadari yang pas sebagai
pendamping hidup.
“sudah
siapkah mas?”
Aku hanya
tersenyum menanggapinya.
“aku boleh
ikut jum’at besok, calon bayi kita kangen kakek neneknya disana”
Aku hanya
mengangguk, seperti biasa mulutku terkunci rapi saat melihat wajahnya dan iba
suaranya.
Empat hari
lagi entah yang akan terjadi, dua hari ini hpku seakan mengeluh karena
seringnya telfon-telfon itu masuk, namun ada berita yang tidak bagus.
***
Sejak minggu
sore itu dia mau berbagi resahnya padaku, beberapa kali kami sering membahas
bersama masalah ini, pendapatku pun dipintanya dalam memahami ta’bir-ta’bir
yang sudah didapatinya. Namun sore ini dia lebih gelisah dari biasanya.
Dugaannya
benar, ini bukan hanya so’al agama yang digembar-gemborkan oleh lurah baru ini
dan ormasnya, ini lebih mengarah ke urusan politik, dan kepentingan golongan.
Ketika makam
nek Ijah dibangun oleh warga, warga melakukan penggalian untuk sumber air
disekitar rumah nenek, dan yang mengejutkan, sumur yang digali itu bukan keluar
air, tapi minyak. Konon setelah diteliti oleh sebuah universitas, dimana lurah
muda ini juga terlibat dalam penelitian itu, minyak yang dihasilkan oleh galian
ini memiliki kuailitas cukup bagus, dan menjanjikan. Namun warga sepakat untuk
menutup sumur ini, karena takut terjadi sesuatu sebagaimana berita yang beredar
tentang meluapnya sumber lumpur karena pengeboran minyak. Dan warga pun sepakat
untuk menjaga rahasia ini.
Melalui salah
satu rekannya yang juga politikus dan juga pegawai di PGN(perusahaan gas
Negara), suamiku tahu bahwa politikus yang juga lurah nakal ini beserta para
koleganya ingin menguasai makam nek Ijah, dan mengeksplorasi apa yang di dalamnya.
Dan hal ini tak mungkin dilakukan tanpa pembongkaran makam itu.
***
Besok pagi
entah apa yang terjadi, beberapa temanku bilang, ada beberapa perusahaan
pengeboran yang sudah bercerita, bahwa akan ada proyek besar di kampungku. Aku
terpaksa harus kagum dengan akselerasinya, networkingnya yang luar biasa, mulai
dari jajaran pemerintah diatasanya, tokoh agama yang dibelakanganya, serta para
militer yang siap melindunginya. Yang kusayangkan dua tokoh yang selama ini
jadi panutan kampung kami mau terjerumus bersamanya.
Pak Hamid, mantan
lurah, dan H. Daim pemilik seperempat tanah kampung kami, entah apa alasan
mereka.
***
Aku hanya
mendengar sekali adzan di masjid jum’at ini, kata ibu mertuaku sudah sejak Dzulqa’dah
kemaren. Beliau bercerita bahwa sejak pulangnya H. Daim dari Makkah, struktur
takmir masjid telah dirubah, tak ada lagi nama Kyai Ma’mun, yang ada hanya para
cendikiawan pendatang baru yang disokong oleh lurah baru ini.
“katanya H. Daim,
semua yang kita amalkan dikampung kita ini bid’ah, di Makkah tidak ada amalan
seperti ini, dan Rasulullah juga tidak pernah menyuruh seperti ini, kitab-kitab
yang dipakai anak-anak mengaji di masjid itu cuman karangan para pembohong”
Telingaku
merasa panas, mendengar cerita ibu mertuaku, dari sudut mata beliau turun
embun, ketika mendengar para pendukung lurah baru ini, menjelek-jelekkan bapak,
pak lek Syu’eb, dan kyai Ma’mun.
***
Ba’da
jum’atan di area makbarah nek Ijah, suasana panas seakan tak terbendung dengan
adanya mendung yang memayungi makbarah nenek. Aku sadar ini bukan tentang
masalah agama, tapi lebih ke duniawi yang diagamakan. Dan debat ini sebenarnya
tak perlu dilakukan, karena kalaupun kami berhasil mempertahankan apa yang kami
yakini, mereka akan menyusun rencana lain untuk tujuan asal meraka.
Inilah di
depanku, para cendikiawan yang telah menundukkan dalil-dalil kyai Ma’mun, yang
mengalihkan keyakinan kampung ini. Di meja, tempat aku dan Mif duduk, setumpuk
kitab sudah siap kami susun menjadi tameng untuk membentengi keyakinan kami dan
para orang tua kami.
“ingat, tak
perlu kalian menyerang pemikiran mereka, ini bukan perang, cukup kalian ungkap
ta’bir-ta’bir bahwa apa yang kita yakini dan kita amalkan itu benar dan sesuai dengan
ajaran agama cukup.”
Pesan bapak
pada ku dan Mif sebelum pemikiran kami dan mereka, berbenturan meledak
bersinggungan berhamburan di tempat ini.
***
Aku di rumah
bersama ibu mertuaku, suara suamiku yang terdengar lewat speaker masih selancar
ketika dia mengucap ijab qabul padaku. Aku hanya berdo’a semoga apa yang
dilakukannya, menjadi hal yang terbaik yang bisa menjadikan baik bagi kampung
kami.
“nduk
menurut kamu apa yang kita amalkan ini benarkan? Tidak beretentangan sama agama
kan” tanya ibu mertuaku sembari mengusap butiran indah dipipinya.
Aku hanya
menggangguk, sejak beberapa menit yang lalu huruf-hurufku entah kemana, saat
ini aku hanya bisa diam menyimak peperangan huruf yang terdengar dari speaker.
***
Ashar hampir
kabur, sa’at mereka kehabisan kata, jenggot-jenggot yang mereka pelihara seakan
terbakar, muka mereka merah padam. Para cendikiawan yang diagung-agungkan oleh
anak kampung akhir-akhir ini, harus merasakan panas dalam yang luar biasa oleh
huruf-huruf yang kami kutib dari para maestro muslim yang sudah diakui
keilmuannya.
Kami berdua
adalah garis terakhir lulusan pesantren dari kampung ini, setelah kami, para
orang tua lebih senang anaknya bergelar S yang berjubel. Semoga setelah hari ini
semuanya berubah, kembali ke track asal, karena kampung ini masih butuh banyak
penerus yang semacam kyai Ma’mun.
***
Ya, altar
senja ini masih terjaga, untuk hari ini dan beberapa hari kedepan, Kyai Ma’mun
yang sudah tidak difungsikan
di masjid,
kini manjadi ketua cagar sejarah keagamaan kampung ini, beserta bapak, pak lek Syu’eb,
dan Mif.
Sementara
suamiku, aku ingin menikmati masa-masa damai menunggu bayiku bersamanya. Dan
mereka semua mengizinkannya, setelah bayi ini
lahir, aku pasrahkan segala keputusan pada dia, aku hanya berdo’a dengan
do’a yang sama - semoga manjadi hal yang terbaik yang bisa menjadikan baik bagi
dia dan orang sekitarnya-.
***
Setelah
berpamitan kami pulang, aku tahu, ini belum akhir, karena dunia tak akan
selesai sebelum kiamat, sementara kami menikmati kedamaian yang sementara ini,
awan hitam sedang berkumpul di sisi lain, dengan segala tipu dayanya, demi kepentingan dunia yang menipunya.
26 Oktober
2013
Untuk: Maulidatun Nuril Fitriana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar