Selasa, 18 Februari 2014

Three Musketter and D’Argtanian on Pesantren



Three Musketter and D’Argtanian on Pesantren
Ular-ularan waktu

Ularularan waktu
Waktuku berjalan berularularan,
nasib hidupku ulangmengulang
Harapan akan masa depanku,
ditelan kekejaman masa laluku.
(Sindhunata, 2000)

Masih di sudut masjid ba’da dhuha, sambil menatap sengitnya awan yang berkejar-kejaran, sekilas bayang putih abu-abu muncul di baliknya. Ah,, ngayal lagi deh…
Ya, sudah hampir setahun aku tinggalkan baju putih abu-abuku, masih kangen, ketika harus berkejaran dengan satpam, merayu guru seni agar dapat nilai 8, dan disembur guru Bahasa Indonesia karena 1 semester hanya masuk 4 kali, hoahem, apanya yang dibanggakan cobak???
Tapi apapun itu, aku menikmati masa-masa itu, dimana harus push-up 175 kali untuk tanda kecakapan bantara, dimana harus lembur tiap malam demi tugas-tugas ilmu alam, dimana harus berjalan sejauh satu kilometer hanya untuk menggoda penjaga perpustakaan, (?).
Sedang hari ini, ketika dhuha mulai dirampas siang, aku harus berjibaku dalam kitab berwarna kuning dengan huruf-huruf hija’iyah yang berkejaran tanpa harokat.
Em sebenarnya tempat ini tak terlalu buruk untuk ditinggali, karena aku tidak sendiri, ada sya’dun dan ada joni, senasib kita. Namun aku sedikit tragis memang. Kesini karena ditolak oleh yang lain, dan tempat ini tak ubahnya adalah pelarianku sementara, sebuah alam gelap dimana untuk sejenak aku memarkirkan mimpiku. Tragisnya tempat ini tak seperti yang kubayangkan.
***

Aku hidup dari waktuku,
lega, kendati kini berada aku
dalam gelap kekinian,
aku berjalan dengan perut ular
mengelengsargelengsar tanpa kemajuan,
terhenti di masa kini, di dunia ini.
(Sindhunata, 2000)
Seribu sekian santri yang numpang tidur ditempat ini, namun hanya beberapa biji yang niat nyantri, selebihnya, tempat pelarian, pengasingan dan ada lagi yang menjadikan tempat ini sebegai tempat penginapan. Joni dan badrun masuk kategori yang beberapa biji sementara Aku dan sya’dun termasuk kategori selebihnya.
Di suatu pagi hari minggu saat para santri lagi pesta bola, laskar three musketter sedang duduk setelah muroja’ah tentang type Hp terbaru buat liburan besok, datanglah badrun yang baru turun dari ngajinya, sambil mengamati santri yang kayaknya gag kenal dengan yang namanya panas dan capek membaca mantralah dia
Qaala badrun : ape dadi opo iki arek-arek, lek bengi cangkruk, lek shubuh ngantuk, bal-balan semangat, tapi lek ngaji boyoe kumat, duh gusti mugi-mugi diparingi cepet sadar umat iki
Memang kalo diamati kadang sering membuat tertawa sendiri, disini sudah mulai muncul dalil-dalil baru entah itu dasarnya dari mana guna mendukung apa yang diperbuat mereka. Dalil pertamaqiyamul lail huas syarobul kohwah wa nyedot rokok syamsu”, yup, dalil ini dipakai bagi para pejuang malam, sebagian memang menghabiskan malamnya dengan muroj’ah pelajaran, namun jumhurnya muraja’ah tentang kaum hawa sebelah, type gadget terbaru atau tentang otomotif. Pertanyaan dari kang Pi’i
 terus pa bedanya pesantren sama giras cobak???
Dalil keduaqara’al Koran khoirun min qara’al qur’an”. Betapa tidak, setiap pagi ketika khataman al Qur’an tak kurang 80-90% santri yang numpang disini tepar tak berdaya di masjid, tapi begitu sampai di kamar ada koran apalagi babul kulit bundar, dan lagi bahas el Clasico mata yang semula 5 watt jadi 100 watt. Wuihhh…..
Dalil ketiga, “yajibu ‘ala ahadukum li playing football, li annal football hua yashihul badan”. Begini kalo jadi umat Imam Messi El Barca. Apalagi minggu pagi, kebijakan dari pengasuh di pesantren kami adalah minggu sehat, kecuali ketika bebarengan dengan acara istiqamah pesantren. Wal hasil this is the moment to show what they have. Halaman pesantren dikapling sedemikian rupa, jadi arena mengolah kulit bundar, yang paling unik adalah tak ada gawang peci pun jadi. So, peci yang waktu sholat diletakkan di atas kepala, kini jadi pembatas gawang, (?) ada-ada saja…
Sebenarnya sepakbola akan diselingkuhin ketika hari jum’at sore, ya, jum’at sore juga jum’at sehat. Namun akan lebih sehat, ketika kita berlama-lama di masjid, membaca al Qur’an atau dzikir yang lainnya sambil sesekali menyeleksi bidadari yang lewat. Sejak wafatnya pengasuh pesantren kami, setiap jum’at sore para santri putri berziarah ke Maqabarah beliau, dan ini dimanfa’atkan dengan baik oleh kaum Adam pesantren ini, mulai dari mencuci mata, sampek melepas kangen, dan sebagainya lah… Asik,….
Kegiatan ini juga mulai jadi istiqomah si Sya’dun, sejak pertemuan dengan siti Zulaikhanya. Maka dibelilah al Qur’an seharga Rp. 30.000, katanya
dan al Qur’an ini kan menjadi saksi betapa tulusnya cintaku padanya, dan kelak akan kujadikan mahar sebagai bentuk kesungguhanku untuk beribadah dengan menjadikannya ma’mumku selamanya”…… halahhh…. Gomballle... gag nguati masse…
Disini hanya minoritas orang-orang yang berusaha keluar dari gelap kekinian, malam belajar pagi baca al qur’an siang sekolah,  sementara mayoritas punya keinginan, tapi hanya mengelengsar-gelengsar tanpa kemajuan, terhenti di masa kini, di dunia ini. Salah siapa??? Em Tanya pada rumput yang bergoyang.
***

Hidupku menjadi layang-layang,
benangnya putus, dan aku terlempar.
Kini tak ingin aku
terbunuh lagi oleh waktu.
(Sindhunata, 2000)
Sesal hanya akan jadi sesal, tempat ini memang tak seperti yang kubayangkan, tapi toh aku tak sendirian.  Kadang memandang kebelakang memang perlu tapi kalau terlalau terlena bisa terbunuh lagi oleh waktu. Wal hasil kami mecoba merubah nasi yang terlanjur menjadi bubur, agar masih bisa dinikmati oleh semua orang.
Bubur-bubur masalah ini harus diberi bumbu agar masih ada konsumen yang mau. PR besarnya bagaimana yang 80% ini menyusut sekian %???
Dan kami sadar tempat ini tak seperti Hogwart, dimana mantera-mantera bisa dikeluarkan lewat  tongkat sihir untuk merubah keadaan sekelebat kilat. Dan di tempat ini kami belajar  bahwa hidup ini adalah proses, evolusi, dimana perubahan harus bertahap, dengan alasan-alasan dan faktor yang tepat, yang jelas campur tangan dari Allah lah yang menentukan segalanya. Maka kami mulai dari kami berempat, agar bagaimana caranya tidak ikut tenggelam waktu shubuh, terasa berat memang bagi sya’dun karena selama setahun ini tidur pagi sambil memegang al Qur’an adalah istiqamahnya, tapi demi sedikit perubahan seniman yang nyantri ini memaksa matanya agar melek di pagi.
Setelah sebulan kami hidup di shubuh, perlahan kami tularkan virus kami ke santri sebelah kami. awalnya banyak yang berontak, sampai ada yang nantang duel. Namun kata bang Rhoma bukan perjuangan kalo gag disertai dengan  rintangan.
Kita hanya bisa berusaha untuk membangunkan sekian persen mereka yang terjebak dalam mimpi shubuh, mengembalikan memori mereka tentang betapa pentingnya membaca al Qur’an. Dan mengimbangkan bahkan memberi kepahaman betapa pentingnya Ibadah dari bola.
***

Baru sekarang aku rasakan
keabadian adalah kekinian yang kekal
di dalamnya masa laluku tertelan
dan masa depanku terkandungkan
aku bahagia, di sini dan sekarang
(Sindhunata, 2000)
Kami mulai menikmati gerilya ini, kami hanya ingin memberi sedikit sesuatu yang positif di pesantren kami. Dan sekali lagi kita hanya berusaha hasilnya Allah know the best. Sementara hari ini, kami mulai merekontruksi ulang mimpi kami, adapun besok entah apa yang akan terjadi , toh kami hanya manusia…

12 Rabi’ul Awal  1454 H
en_dzu
tinggal di twitter @en_dzu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar