Jangan pernah
melupakan sejarah
Yuph, kalimat ini sangat benar, kebesaran sebuah bangsa
dapat dilihat dari sejarahnya, begitupun juga sebuah agama. Islam, agama
fenomenal di abad ke 7 masehi, yang dibawa oleh seorang utusan yang dikenal
ummy, namun sebuah catatan penting, beliau dengan keummiyannya telah membuat
agama ini menjadi agama yang Rahmatal
Lil’ Alamin, dengan tujuan utama beliau untuk menyempurnakan akhlak.
Berawal dari beliau sendiri yang kemudian menjadi rolmodel(baca: uswah)
bagi keluarganya, teman dekat beliau, hingga meluas seluruh umat islam, bahkan
sampai hari ini.
Itu dulu, sekarang Islam tengah mengalami krisis yang
kritis, para alimnya telah terganti oleh orang-orang yang mengaku alim, dengan
pengetahuan yang standard, dengan fatwa yang harus dikaji ulang. Mereka
berfatwa dengan semangat ’45, namun tak banyak dari mereka yang mengamalkan
fatwanya sendiri. Rahmatal lil’alamin kini hanya menjadi rahmatal lil muslimin,
bahkan untuk penganutnya sendiri Islam terkesan kurang aman dan nyaman di mata
non muslim. Akhlak yang telah dituntunkan oleh beliau kini banyak dicopy paste
oleh orang-orang di luar Islam, sementara umat beliau malah mencopy paste style
mereka yang terkesan absurd.
Sepertinya kalimat tadi perlu dilanjutkan…
***
Peristiwa sejarah
selalu berulang dengan tempat dan waktu yang berbeda
Ada masa dimana Islam menjadi sebuah agama, yang umat dengan
agama lain merasa nyaman dan aman di dalamnya. Namun ada masa dimana Islam
seakan menjadi ancaman bagi mereka, atau mereka sendiri yang ingin meluluhkan
Islam dengan dalih merasa terancam.
Di bumi arab di masa itu, dimana islam yang berawal dari
minoritas, satu golongan, menyebar ke negara lain, hingga puncaknya sayap Islam
sempat menaungi eropa. Adalah masa-masa damai, di mana mereka yang beragama
lain, merasa nyaman dan aman berada di tanah islam. Dan setelah masa damai itu
Islam mereka anggap sebagai ancaman, dan akhirnya darah harus bercecer dengan
dalih agama, padahal di balik itu ada tujuan yang sangat jauh dari agama, yakni
ambisi kekuasaan.
Di negeri ini, juga pernah mengalami hal serupa, di mana Islam
juga minoritas pada masa itu, karena konsep dasar yang rahmatal lil’alamin, dan mengutamakan akhlak karimah, islam bukan hanya menjadi agama, tapi islam
menjelma menjadi suatu budaya sehingga minoritas ini kini memenuhi status agama
KTP sebagian besar penduduk negeri ini. Para pembawa islam di negeri ini, bukan
hanya berbicara, tapi mereka bertindak, meniru apa yang telah dilakukan oleh
junjungannya, menjadi rolmodel bagi bangsa ini. Dan fatwa mereka didasari
kemampuan yang mumpuni bukan dengan alakadarnya seperti yang sering kita jumpai
di layar kaca.
Namun, seperti di tanah asalnya, Islam di negeri ini mulai
hilang konsep dasarnya, agama yang damai
ini terkesan menakutkan, dan mengancam orang-orang di luarnya, bahkan orang di dalam
pun mulai tak nyaman. Akhlak karimah kini hanya menjadi slogan-slogan tanpa ada
penerapan, cara-cara yang terkesan brutal lebih sering dipakai dalam
mengahadapi permasalahan.
Dan kalimat ini masih butuh ending.
***
Sejarah adalah guru
terbaik untuk berbenah
Masa lalu biarlah berlalu, masih ada hari ini esok dan hari setelah
esok. Sekarang waktunya kita berbenah, ketika para Alim sudah mulai banyak yang
berpulang, ketika agama telah menjadi tameng sebuah kepentingan, ketika akhlak
hanya menjadi slogan. Masih ada waktu untuk berubah, dalam al Qur’an, Allah
telah berpesan bahwa Dia tidak akan merubah kondisi suatu kaum sehingga kaum
tersebut merubah sendiri kondisinya. Dalam sebuah tayangan di TV yang menampilkan
sebuah tulisan di sebuah kafe di india “be change what yo want to see in the
world”. Mengutip dawuh seorang Habib “zaman semakin menyeramkan, fitnah di sana
sini, selamat kanlah keluargamu masing-masing, mulailah dari kamu, keluargamu
dan orang terdekat kamu”
Dan minoritas yang mulai melangkah menuju mayoritas itu kini
telah nyata muncul. Al Khidmah, yang pendirinya menjadi rolmodel bagi para muridnya,
yang bukan hanya ucapannya, tapi tindak tanduknya yang bukan hanya orang biasa,
tapi para habaib dan ulama’ yang sudah masyhur di masa ini turut mengakui
keluhuran akhlaknya. Wadah yang beliau munculkan bukan hanya mengayomi
muridnya, tapi juga orang-orang yang sebatas suka, dan punya i’tikad baik pada
beliau. Tak hanya itu, wadah ini merupakan cerminan dari konsep “Rahmatal lil ‘Alamin” di mana, para
pemuka dari non muslim berikut pengikutnya, ikut duduk dalam majlis yang
diselenggarakan oleh wadah ini dan menerima dengan lapang adanya majlis seperti
ini di wilayah yang notabene mereka adalah mayoritas. Beliau, mengawali dari
dirinya sendiri, ke keluarganya, ke teman-temannya, hingga jadilah jama’ah ini
menjadi seperti sekarang.
Waba’du: Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertemu
dengan Muharram, sementara diluar sana ada orang-orang yang tak sempat bertemu Muharram,
mari di tahun baru ini, kita membangun ulang niat kita, disertai dengan
perbuatan sebagai wujud syukur atas nikmat tahun baru ini. Diawali dari kita
masing masing, keluarga kita, teman-teman kita. Hingga Islam kembali ke sejarah
yang pernah besar “rahmatal lil’alamin” dengan “kesempurnaan akhlak”, dengan
apa yang telah dituntunkan oleh guru kita ra.
“Allah has the best plan for us”
en_dzu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar